Sabtu, 08 Maret 2008

Tim Verifikasi dan Uji Kompetensi Poligam

TIM VERIFIKASI DAN
UJI KEMPETENSI DALAM POLIGAMI
Oleh. Moh. Roqib *


I. Pendahuluan
Menegakkan keadilan itu berat. Demikian pendapat orang seakan memberikan kata sepakat terhadap kesulitan menegakkan keadilan di belahan bumi manapun. Keadilan yang didamba semua orang ternyata seringkali harus dibenamkan dalam realitas kehidupan karena fenomena sosial menunjukkan “sisi berat” yang tak tertahankan. Perasaan berat ini muncul disebabkan oleh “buntut” bahwa upaya pencarian keadilan sering menimbulkan konflik (internal baik antara bawahan yang meluruskan dengan atasannya, antara istri yang memohon keadilan dengan suami yang dicintainya) sementara, setiap konflik di masyarakat Indonesia dalam bentuk apapun harus dihindari karena dianggap “aib” bagi keluarga atau kantor tempat kerja.[1] Karena dianggap aib, maka yang dipilih adalah sikap “diam”, membisu dari realitas sambil berusaha tetap tabah menghadapi penderitaan yang entah kapan penderitaan dan ketidakadilan itu akan berakhir. Memendam kepedihan yang panjang berakibat pada imunitas mereka terhadap sikap ketidakadilan itu dan lambat laun ketidak adilan itu dianggapnya sebagai hal biasa dan wajar dalam hidup yang tidak perlu lagi dirisaukan dan diberantas. Ketidakadilan akhirnya mereka terima sebagai bagian dari perjalanan hidup.
Sikap hidup fatalis seperti ini akan membuat ketidakadilan semakin merajalela dan berakibat pula pada kontrol yang semakin melemah dan tak berdaya. Pemberdayaan dan penyadaran merupakan langkah pertama untuk menanggulanginya. Sadar bahwa sikap hidup fatalis akan membuat “kebahagiaan semu” yang merugikan diri dan semua komunitasnya. Kelemahan dan keterpurukan individu yang fatalis ini akan berdampak sosial dan mengancam ketentraman hidup sosial. Kemiskinan, kebodohan, ketakberdayaan harus segera diatasi sebagai bagian dari tuntutan nilai religius dan kemanusiaan.[2]
Usaha pemberdayaan dan penyadaran yang dilakukan oleh individu atau kelompok akan menemukan kendala dan bahkan ancaman dari individu atau komunitas yang didampingi untuk diberdayakan dan disadarkan. Melakukan penyadaran terkadang dianggap sebagai orang yang anti kemapanan dan akan merubah stabilitas kekuasaan elit yang telah sekian lama mereka genggam. Untuk keberhasilan semua gerakan penyadaran harus dilakukan secara holistik-integratif dengan perencanaan yang matang, memperhatikan nilai budaya yang ada, menggunakan bahasa yang kemonukatif dan tidak asing.
Di antara problem sosial yang sering diperbincangkan dan menjadi polemik panjang adalah poligami.[3] Poligami[4] diperdebatkan antara lain karena ada pengaruh kesadaran akan keadilan yang dicampakkan oleh sebagian laki-laki poligam atau oleh istri barunya yang tidak shalihah. Kesadaran tentang pemikiran keadilan dalam poligami ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Barat[5] yang masuk dan mengilhami para pemikir-cendekiawan Muslim untuk melakukan kajian ulang terhadap poligami. Perbedaan hukum pun muncul di kalangan ulama bahwa poligami itu dilarang (haram),[6] atau mubah sebagaimana pendapat mayoritas ulama dengan syarat calon poligam harus mampu secara finansial dan adil,[7] dan ada mengatakan bahwa poligami itu sunnah[8] yang berarti laki-laki sebaiknya poligami dan jika tidak mampu baru monogami.
Tulisan berikut tidak membicarakan tentang kajian tafsir, hadis, dan fikih atau hukum yang telah banyak dilakukan. Kajian ini mengfokuskan pembahasannya pada alternatif kebijakan yang akan menjadi mediasi bagi hakim pengadilan agama dan pemerintah dalam memposisikan poligami sebagai realitas sosial yang karenanya lebih bersifat sosiologis dan membutuhkan alternatif pemecahan. Poligami yang telah menjadi bagian dari realitas sosial ini tidak mungkin dihapus,[9] apalagi ada ulama yang menggunakan pijakan normatif dalam kitab suci bahwa poligami adalah mubah bahkan sunnah meskipun banyak juga yang menggugat dan mengatakannya haram. Sebagai jalan tengah dan alternatif, gagasan ini diperlukan untuk perbaikan dalam pelaksanaan poligami agar keadilan gender bisa dijaga dan poligami tidak menjadi bahan “uji coba kenikmatan” bagi laki-laki atau juga istri yang dipoligami. Lembaga ini dapat berfungsi sebagai pemberi rekomendasi dan kontrol yang memiliki tugas spesifik untuk itu yaitu “Tim Verifikasi dan Uji Kompetensi Poligami”. Nama ini terlihat formalis tetapi ini penting untuk dikemukakan dalam rangka untuk melengkapi dan tindak lanjut dari kajian poligami yang telah ada. Karena bukan kajian tafsir, hadis, dan fikih atau hukum dalam tulisan ini tidak mengulas lebih jauh tentang dalil-dalil agama dan peraturan undang-undangan. Lembaga kontrol yang penulis ajukan ini sebagai tawaran solusi bukan dukungan terhadap perbedaan yang telah ada, baik yang melarang atau mengharamkan poligami, membolehkan, atau menganjurkan. Lembaga yang jika dianggap positif perlu disempurnakan agar lebih fungsional.

II. Poligami sebagai Wilayah Privat atau Publik ?
Da’i kondang karena berpoligami telah menggegerkan dan mendominasi pemberitaan di media massa pada awal tahun 2007 lalu.[10] Diberitakan bahwa sang dai sekitar dua bulan, baru memproklamirkan pernikahannya di hadapan public umatnya. Publik pun gempar, terutama ibu-ibu yang menjadi mayoritas jamaahnya, seakan tidak percaya tokoh idolanya telah berpoligami. Pertanyaannya mengapa baru di-i’lankan atau dipublikasikan setelah polgami berlangsung? Bisa ditebak bahwa penundaan bahkan penyembunyian poligami dikarenakan masih kuat anggapan bahwa pernikahan dan poligami itu masalah privat karenanya dalam pelaksanaannya bisa secara sembunyi-sembunyi, yang terpenting adalah memenuhi syarat-syarat pernikahan.[11] Padahal jika dilihat dari beberapa aspek, pernikahan termasuk poligami lebih menunjuk pada wilayah publik, dalam arti poligami memang pada intinya merupakan kontrak antara satu individu laki-laki dengan individu perempuan yang bersifat privat tetapi dalam pelaksanaan kontrak atau akad tersebut mensyaratkan adanya wali dan saksi yang berarti melibatkan orang lain dan berkembang dari wilayah privat ke wilayah publik sehingga poligami tidak lagi menjadi persoalan pribadi tetapi persoalan publik.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang biasanya disembunyikan rapat-rapat agar tidak “terendus” oleh orang lain adalah dampak pemahaman bahwa pernikahan adalah wilayah privat yang jika ada konflik harus disembunyikan. Kekerasan yang akhirnya “mbrojol” keluar, diyakini oleh keluarga tersebut sebagai “aib” yang memalukan. Padahal problem keluarga adalah problem sosial karenanya jika tidak bisa diselesaikan diperlukan orang yang mampu mengishlahkan, atau mendamaikan di antara kedua belah pihak. Problem keluarga, termasuk kekerasan yang terjadi dalam keluarga, tidak selayaknya disembunyikan dengan alasan bahwa kasus ini kategori privat dan aib jika diketahui oleh orang lain. Di antara hal-hal yang mendukung bahwa pernikahan --termasuk poligami-- merupakan wilayah publik adalah :
1. Pernikahan mensyaratkan ada wali dan dua orang saksi yang menunjukkan adanya keterlibatan dan kontrol publik terhadap keluarga terkait dengan pelaksanaan dan tanggunjawab rumah tangga. Suami yang telah memproklamirkan diri bersedia untuk hidup berdampingan dengan istrinya dan berjanji akan membangun keluarga maslah}ah (sakinah, mawaddah, rahmah, ilmiyah) tidak boleh berbuat lalim atas nama apapun dan jika terjadi kasus kedlaliman maka wali dan saksi sebagai wakil dari unsur masyarakat wajib mengingatkan dan melakukan kontrol.
2. Pernikahan yang dilakukan, dianjurkan untuk dipublikasikan dengan mengadakan tasyakkruran (wali>mah al-‘ursy) yang melibatkan dan mengundang berbagai pihak agar kontrak yang berdimensi ritual tersebut disaksikan dan dikuatkan oleh publik.[12] Persaksian ini sekaligus berarti memberikan peran baru bagi publik untuk melakukan kontrol agar kemaslahatan dalam pernikahan tersebut diperkuat dan ketidakadilan bisa dikontrol dan dihilangkan.
3. Pernikahan merupakan kontrak individual dan kontrak publik, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi. Pernikahan dapat berfungsi untuk mempererat jalinan antar keluarga (besar), suku, dan antar negara jika dilakukan oleh elit politik sebuah negara. Dengan pernikahan menunjukkan ada perdamaian di antara kedua belah pihak. Petengkaran di antara kedua pasangan suami istri bisa menimbulkan pertengkaran dan bahkan peperangan di antara kedua kelompok ini.[13]
4. Seorang suami yang melakukan poligami berkewajiban untuk menggilir (melakukan hubungan seksual) atau menginap di rumah istri-istrinya secara adil. Persoalan sosial pun muncul yaitu jika suami adalah seorang pejabat seperti wakil presiden, wakil ketua DPR, atau semacamnya yang dalam perjalanannya untuk menggilir istrinya itu membutuhkan pengawalan dan keamanan khusus yang berarti dapat mengganggu kelancaran lalu-lintas dan kenyaman publik. Menghentikan pengguna jalan untuk sementara waktu karena ada pejabat (poligam) lewat telah mengurangi sebagian hak publik dan ini berarti poligami menjadi bagian dari penyebabnya.
5. Apabila suami dan istri bertengkar karena ada problem yang tidak bisa diselesaikan, maka dalam Islam dianjurkan untuk mencari seseorang yang mampu mendamaikan atau mengislahkan. Sekali lagi, keluarga membutuhkan orang lain dan ini legal dalam agama.
6. Jika salah satu atau kedua mempelai ini meninggal ada hak waris yang melibatkan keluarga keduanya, baik karena ikatan musha>harah, pernikahan atau karena ikatan darah. Semakin banyak istri bagi suami yang meninggal, semakin banyak orang yang akan terkait dengan pembagian waris.
Jika pernikahan adalah wilayah privat apa fungsi wali, saksi, dan resepsi pernikahan (wali>mah al-‘ursy) yang hukumnya sunnah,[14] dalam keterkaitan dengan lingkungan sosial tersebut? Ini adalah di antara argumen mengapa pernikahan dan poligami merupakan wilayah publik. Syarat-syarat pernikahan dan poligami yang ditetapkan atau diperdebatkan memperkuat wilayah publik ini, semisal poligami diperbolehkan jika istri dalam keadaan sakit sehingga tidak mampu lagi berperan sebagai istri khususnya dalam pelayanan seksual. Dalam konteks ini suami membutuhkan bukti surat keterangan dokter yang jujur dan saat semua persyaratan sudah dipenuhi selanjutnya adalah proses pengadilan dan seterusnya yang tidak lepas dari keterlibatan orang lain.

III. Verifikasi dan Uji Kompetensi Poligami
Poligami yang akan dilakukan oleh suami, menurut UU Perkawinan (pasal 4 ayat 1), harus didahului oleh permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikaan ijin kepada seorang suami tersebut apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri,
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketiga kondisi fisik tersebut bisa dijadikan dasar suami mengajukan poligami yang secara moral suami sebelumnya telah berusaha melakukan pengobatan yang serius dan intensif tetapi hasilnya tetap nihil baik melalui dokter maupun terapi alternatif. Perkawinan merupakan kontrak yang kuat dan bernilai psikis-spiritual sehingga tidak mudah digugurkan karena hal-hal yang bersifat fisik semata. Apabila terjadi keterbatasan dan kelemahan fisik istri yang mengganggu perjalanan pernikahan, karena pertimbangan dan telah memenuhi syarat-syarat terutama adil dan mampu, maka poligami baru “berbicara” sebagai jawaban meskipun kesabaran menerima “cobaan” itu menjadi prioritas utama bagi suami. Pengajuan suami yang akan poligami perlu pembuktian yang didahului melalui diagnosa dokter ahli dan data-data seperti portofolio beserta bukti fisiknya yang terkait dengan usaha penyembuhan istri yang telah dilakukan suami selama ini.
Hasil diagnosa dokter spesialis dan data portofolio yang disertai bukti fisik tersebut sebagai dasar awal “bukti” bahwa suami bertanggungjawab terhadap istri dan telah benar-benar dilaksanakan dengan baik selama ini. Selanjutnya pada pasal 5 ayat I UU Perkawinan menyatakan: Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.
2. Adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Spirit UU perkawinan ini adalah monogami, sebagaimana Islam yang menempatkannya sebagai salah satu asasnya meskipun poligami diperbolehkan sebagai pintu darurat. Istilah darurat digunakan untuk menunjuk adanya ancaman terhadap al-dharu>ra>t al-khams, lima hal yang harus dilindungi yaitu agama, jiwa-nyawa, akal, kehormatan-keturunan, dan harta benda. Dalam UU tersebut disyaratkan tiga hal penting yaitu persetujuan istri, kemampuan materi suami dan jaminannya terhadap kebutuhan istri-istri dan anak-anak, dan suami menjamin akan berlaku adil.
Persetujuan istri / istri-istri menyentuh wilayah psikologis bukan sekedar persetujuan verbal legal-formal lewat secarik kertas, yang lebih dari itu adalah verifikasi terhadap interaksi dan kecintaan yang selama ini berkembang di antara mereka. Apakah suami (juga istri) dalam perjalanan rumah tangga telah menunjukkan rasa cinta yang matang,[15] ada semacam paradok dalam cinta yakni: fenomena di mana dua sosok menjadi satu namun tetap dua (became one and yet remain two)” yang menurut Erich Fromm memiliki indikator pertama, cinta adalah suatu kegiatan (activity) bukan afeksi pasif, kedua, cinta selalu memuat elemen dasar perhatian, tanggungjawab, penghargaan, dan pemahaman, ketiga, cinta itu terutama memberi bukan menerima, keempat, cinta itu memberikan sesuatu yang berharga dalam hidupnya, memberi kegembiraan, humor, juga kesedihannya untuk meninggikan rasa hidup diri dan orang lain, kelima, cinta adalah suatu kekuatan yang menghasilkan cinta, membangkitkan semangat serta memajukan orang lain dan menjadikan diri menjadi pibadi yang dicintai. [16] Persetujuan istri hendaknya didasarkan pada komunikasi efektif dan rasa cinta yang matang di antara keduanya.
Kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka menunjukkan aspek kesejahteraan suami sehingga memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk keperluan primer, skunder dan tertier keluarga. Jaminan ini harus dibuktikan dengan survey dan verifikasi kekayaan suami. Tingkat jaminan juga bisa dilihat lewat tabungan dan asuransi.
Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka harus dibuktikan dengan melihat track record keadilan yang dilakukan suami yang dimuat dalam poortofolio dengan bukti fisik dari RT, RW, Kepala desa/kelurahan, dan kepolisian. Apakah suami pernah melakukan penipuan dan tindak kriminal. Sedang kejujuran dan keadilan sehari-hari bisa diperoleh dari istri/istri-istri, anak-anak, tetangga, dan keluarga.
Verifikasi atau pembuktian terhadap kondisi fisik istri/ istri-istri dan pemenuhan suami terhadap syarat-syarat tersebut harus dilakukan agar poligami tidak dilakukan “sembarangan” dan publik mengetahui kemampuan suami secara obyektif sehingga penyalahgunaan poligami dapat diminimalkan. Keterbukaan poligami ini untuk membuat poligami bukan hal yang harus disembunyikan tetapi terbuka di hadapan publik penuh tanggungjawab dan siap menerima kontrol dari masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa obyek yang harus diverifikasi dan dilakukan uji kompetensi adalah :
No.
Obyek
Materi Uji
Keterangan
1
Kondisi fisik istri
1. Frigiditas istri
2. Cacat atau penyakit kronis istri
3. Kemandulan istri
Diverifikasi apakah hal tersebut bisa disembuhkan atau sudah permanen.
2.
Persetujuan Istri
1. Hubungan suami-istri
2. Cinta suami-istri
Diverifikasi apakah persetujuan tersebut didasarkan oleh komunikasi efektif atau pemaksaan dan karena rasa cinta atau kebencian.
3.
Ekonomi suami
1. Kondisi pekerjaan
2. Penghasilan
3. Kebutuhan suami, istri, dan anak-anak yang meliputi primer, transpotasi, komunikasi, pendidikan, rekreasi, kesehatan.
4. Tabungan dan hutang
Diverifikasi apakah cukup atau kurang dengan pertimbang tentang kontinyuitas pekerjaan, penghasilan bersih-kotor, dan jaminan masa depan keluarga seperti kesehatan dan biaya pendidikan keluarga (pembelian buku, transport, dan lainnya)
4.
Keadilan suami
Keadilan:
1. Ekonomi/ nafkah
2. Hubungan seks
3. Cinta (melalui lima indikatornya)
Dilakukan uji kompetensi apakah suami mampu berbuat adil dalam hal ekonomi, seks, dan cinta dengan beberapa indikatornya. Indikatornya bukan hanya bisa tetapi mampu/ kuat.

Verifikasi ini diperlukan untuk nomor 1 sampai 3 sebagai pertimbangan bagi hakim sehingga memungkinkan untuk mempertimbangkan secara obyektif terhadap kondisi riil calon poligam. Hal ini perlu dilakukan karena silang pendapat poligami selain dikarnakan aspek hukumnya dalam Islam, juga karena dalam realitasnya poligami seringkali menunjukkan adanya perbedaan (baca: pertentangan) antara syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon pelaku poligami dengan kenyataannya yang ada sehingga keharmonisan rumahtangga benar-benar terganggu.
Sedang uji kompetensi diperlukan untuk nomor 4 yang terkait dengan keadilan suami di bidang pemberian nafkah, hubungan seks, dan cinta. Pemberian nafkah perlu diuji kompetensinya dalam proses pencaharian penghasilan bukan saja kondisi riil saat ini, karena bisa jadi seorang laki-laki yang pada awal menjelang melakukan poligami berkecukupan bisa menjadi bangkrut karena di PHK atau tidak mampu lagi bekerja. Sifat kontinyuitas penghasilan ini penting untuk dipertimbangkan. Kemampuan seks juga demikian perlu dilakukan uji kompetensi yang meliputi kesehatan dan stamina tubuhnya. Kekuatan karena bantuan obat atau minuman suplemen seperti “Irex” tidak bisa dijadikan dasar “kuat”. Jika kekuatan laki-laki pengaju poligami dinyatakan kurang dari standar untuk melayani istri lebih dari seorang istri maka pengajuannya bisa dibatalkan karena laki-laki lemah akan mengalami kesulitan untuk adil “di atas ranjang”. Cinta juga perlu dilakukan uji kompetensi yaitu berupa uji kemampuan terhadap lima indikator cinta,[17] jika kelima indikator cinta matang atau dewasa terpenuhi maka ia dinyatakan memiliki kompetensi bercinta dewasa yang menjadi dasar poligami.

IV. Tim Verifikasi dan Uji Kompetensi Poligam
Klaim bisa berbuat adil akan keluar dari lisan laki-laki yang akan poligami. Hakim tidak begitu saja menerimanya sebagai kejujuran sebelum mendapatkan data yang valid tentang keadilan itu. Keadilan tersebut harus diuji dengan bantuan media atau tenaga ahli yang mampu menguji kejujuran tersebut dan dengan pengumpulan data lewat wawancara dan dokumen yang ada. Wawancara dapat dilakukan dengan keluarga, teman dekat, dan tetangga calon poligam sedang dokementasi diperoleh dari dokumen tempat bekerja, RT, kantor desa atau kelurahan, dan kepolisian. Jika dalam dokumen tersebut ditemukan ia pernah melakukan tindak kriminal berarti kejujurannya cacat yang perlu dipertimbangkan bagi hakim dalam memberikan persetujuan poligami. Mungkinkah hakim dan proses peradilan mampu berbuat sejeli itu? Hakim mungkin akan mengambil jalan legal-formal yang menjadi tugasnya untuk memutus perkara berdasarkan keyakinan yang dimiliki berdasarkan data-data formal yang ada.
Untuk menjembatani keterbatasan hakim dalam proses peradilan, tim verifikasi dan uji kompetensi ini bisa dijadikan mediasi untuk mengatasi keterbatasan yang selama ini dirasakan. Tim yang dibentuk ini terdiri dari unsur pengadilan agama, tenaga ahli (seperti dokter dan psikolog) dan tokoh masyarakat setempat yang memiliki kompetensi menilai kelima obyek dan materi uji di atas. Tim ini setelah menunaikan kerjanya memberikan rekomendasi tertulis dengan bukti fisik keterangan dari beberapa sumber yang diperlukan dan meungkin bisa menggunakan portofolio.
Tim verifikasi dan uji kompetensi ini juga melakukan pembuktian untuk mempertegas tingkat tanggungjawab laki-laki yang akan berpoligami. Kebiasaan laki-laki yang mengajukan poligami tersebut dilihat dan dipertimbangkan terutama yang terkait dengan poligami sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an yaitu tentang anak yatim dan janda :
1. Memberikan kasih sayang dan santunan terhadap anak yatim-piatu yang selama ditinggal orang tuanya ia kehilangan kasih-sayang dan kehangatan hidupnya. Semangat untuk memberikan kasih sayang bagi laki-laki yang akan berpoligami ini antara lain merupakan bagian dari indikator telah ada tanggungjawab sosial dalam dirinya yang perlu dipertimbangkan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap pengajuan calon poligam.
2. Memberikan perhatian dan santunan kepada ibu-ibu janda tua yang membutuhkan yang secara fisik mereka sudah tidak menarik lagi sehingga perhatian terhadapnya dimungkinkan tidak didasarkan oleh motivasi seksual.
Kedua perhatian terhadap anak yatim dan janda tua merupakan bagian dari bukti riil adanya tanggungjawab orang tersebut terhadap lingkungan sosialnya. Jika orang yang telah memiliki tradisi menyantuni anak yatim dan janda tua ini berpoligami dimungkinkan akan lebih mudah dipahami bahwa ia memiliki kemampuan ekonomi dan berpotensi adil saat berpoligami. Tanggungjawab sosial membutuhkan latihan dan pembiasaan, sehingga klaim-klaim sepontan bahwa ia tanggungjawab terhadap mereka tetap dipertanyakan jika sebelumnya tidak melakukannya dengan baik terhadap anak yatim dan janda-janda.
Upaya pendampingan terhadap perempuan akan berkurang saat perempuan (Muslim) telah berdaya karena memiliki pendidikan, pengalaman, dan keterampilan yang memadai.[18] Perempuan saat telah berdaya tim verifikasi dan uji kompetensi menjadi tidak layak lagi untuk dikemukakan karena perempuan telah mampu memilih dan melakukan negosiasi terhadap laki-laki tentang apa yang terbaik dalam hidupnya.


V. Penutup
Demikian kajian terhadap alternative, jalan tengah kontroversi poligami yang dilakukan oleh laki-laki Muslim. Menolak terhadap realitas sosial poligami seakan mimpi tetapi membiarkannya “liar tanpa kendali” berarti mendukung kedloliman merenbak dalam lingkungan sosial Muslim. Tawaran ini sulit untuk dilakukan tanpa polical will dari pemegang kebijakan termasuk pihak pengadilan agama yang selama ini telah diberikan mandat untuk ini. Tawaran ini mungkin kurang menarik karena hakim harus memperhatikan data dan rekomendasi di luar acara pengadilan yang selama ini sudah berjalan dan dianggap baku, apalagi bagi kebanyakan laki-laki yang berkecenderungan untuk berpoligami karena tertarik pada “nikmatnya” menu baru yang variatif. [19]
Di sisi lain, bagi para muballigh, ustadz, dan lainnya yang setuju atau telah berpoligami mungkin merasa bahwa harga diri dan privasinya “diobok-obok” dengan pemikiran ini, dan mempertanyakan “mengapa menjalankan agama saja kok pakai disurvey dan diuji kompetensi segala”. Kelegaan berbagai pihak memungkinkan untuk mempersiapkan keadilan agar benar-benar terwujud. Meski demikian tidak ada satupun yang berani menjamin bahwa yang telah lulus survey dan uji kompetensi benar-benar akan bertanggungjawab dengan penuh keadilan saat dia berpoligami.
Tim bekerja sebagai bagian dari ikhtiar penegakan keadilan, hasilnya merupakan proses yang harus didukung berbagai pihak, termasuk pelaku poligam itu sendiri. Tim wajib menjaga kejujuran agar keputusannya dapat diterima oleh masyarakat. Problem sosial selama ini berawal dari hancurnya kejujuran dalam masyarakat. Kejujuran menjadi barang langka di negara yang disebut demokratis dengan mayoritas penduduk Muslim ini.
Sebagai gagasan awal, penulis menyadari bahwa gagasan ini perlu disempurnakan dan diperkuat dengan argumen dan pemikiran yang lebih jelas dan aplikatif. Tetapi sebagai pancingan awal untuk keluar dari kemelut kontroversi poligami yang biasa dikaji dalam perspektif tafsir, hadis, dan fikih sebagaimana berjalan selama ini, tulisan ini semoga memiliki fungsi alternatif dan jalan tengah. Jalan tengah biasanya lebih baik dan nikmat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

* Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

[1] Konflik secara tradisional diyakini negatif yang semestinya bisa berpotensi positif untuk peningkatan motivasi, mempererat persatuan, dan menggerakkan kelompok atau organisasi menuju satu fokus program dan prestasi. Konflik keluarga atau lembaga tidak perlu dijadikan momok yang dihindari tetapi dihadapi dengan kedewasaan untuk menjadi media problem solving.
[2] Membunuh satu orang sama dengan membunuh semua orang. Mengangkat martabat satu orang berarti mengangkat martabat semua orang. Demikian lekat hidup individu dengan komunitas sosial. Dalam konteks Islam, ajaran shalat secara sosial berarti menjalin persatuan (jama>’ah) dan keselamatan atau kesejahteraan hidup (yaitu dengan salam sambil menoleh ke kanan dan kiri), menunaikan zakat secara sosial berarti pemerataan kemakmuran dan mengangkat hidup kaum mustadz’afi>n. Puasa meningkatkan rasa empati kepada kehidupan sesama, dan haji penyempurnaan diri untuk selalu berjuang dengan semua potensi yang dimiliki untuk meninggikan agama Allah.
[3] Poligami lebih tepat disebut poligini, tetapi sering dikatakan dengan poligami. Poligini terdiri atas dua kata yaitu “poly” yang berarti banyak dan kata “gyny” yang berarti wanita. jadi kata poligini berarti banyak istri atau nyai, Osman Rabili, Kamus Internasional, cet.III, (Jakarta, Bulan Bintang 1982), hlm 416 yang dalam Kamus Umum Bahasa Indomesia, (Jakarta PA. Pustaka, 1976), hlm 763 Porwadarminta menyebut poligami sebagai adat seorag laki-laki yang beristri lebih dari seorang. Menurut bahasa poligami berasal dari bahasa Yunani, dari etimologi “polus” yang berarti banyak dan “gamous” yang berarti perkawinan, Hassan Shadily, dalam Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta, Ikhtisar Baru –van Hoeve 1984),v hlm. 2736 yang berarti poligami adalah perkawinan yang banyak. Perkawinan yang banyak tersebut kemudian dimaknai dengan beristri lebih dari satu orang yang kalau dalam bahasa Indonesia disebut dengan permaduan, Nadimah Tanjung, Islam dan Perkawinan,cet,IV, (Jakarta: Bulan Bintang, tt.), hlm 84. Poligami dalam bahasa Arab disebut “ta’addud al-zauja>t” yang diambil dari kata “ta’addud” yang berarti berbilang atau banyak dan kata “al-zauja>t”, jama’ dari kata zaujah yang berarti istri-istri, Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan PP. al-Munawwir, 1984), hlm 970.
[4] Tentang sejarah panjang poligami pada masa pra Islam sampai pada masa kini diulas dengan seirus oleh Syed Ameer Ali, dalam Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. terj. H.B. Jassin (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 375-420 dan Sayyid Sa>biq, dalam Fiqh al-Sunnah, juz II, (Bairut; Dar al-Kita>b Al-Arabi>, 1973), hlm. 110.
[5] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, Syarif Hidyatullah (Yogyakarta: Tiara wacana, 1997), hlm. 148.
[6] Pendapat poligami haram ini didasarkan pada prinsip Evolusioner dalam berijtihad yang menganggap bahwa Islam menyempurnakan tradisi social yang paganis dan tidak adil secara bertahap karenanya diskriminasi dalam bentuk apapun secara bertajhap harus dihapus sesuai dengan aperkembangannya. Untuk itu diskriminasi perempuan harus dihapus seperti poligami dan pembagian mawaris yang sama antara laki-laki. Pendapat dengan prinsip evolusioner ini juga berlaku untuk penghapusan diskriminasi terhadap non-muslim dalam perkawinan dalam arti seorang Muslim atau Muslimah diperbolehkan menikah dengan non Muslim karena kekhawatiran sosio-teologis yang ada pada masa lalu (istri khawatir ditarik ke agama lain), saat ini sudah tidak ada dan tidak aktual lagi. Tentang pemikirannya ini baca Abdullah Ahmad An-Naim, Dekosntruksi Syari’ah, : Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994. hlm. 335-346. Pengharaman terhadap poligami ini juga disebabkan karena efeknya yang negatif dan mengakibatkan fitnah bagi keluarga sebagaimana pendapat al-Thahir al-Haddad, dalam Wanita dalam Syariat & Masyarakat, terj. M. Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hl. 78-79, baca pula Asghar Ali Engeneer, Matinya Perempuan: Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, terj. Ahmad Affandi, Muh. Ihsan, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 70.
[7] Pemikir Muslim kontemporer memposisikan keadilan ini sebagai persyaratan yang mutlak dan sampai pada kesimpulan yang cenderung “tidak mungkin” orang bisa berlaku adil, yang spiritnya adalah penekanan pada anjuran monogami, dalam arti anjuran substansial Islam adalah pernikahan monogami dan bukan poligami, karenanya poligami dipahami sebagai jalan lain jika “amat darurat”. Keadilan yang terdapat dalam Q.S an-Nisa’ (4):3 dan Q.s an-Nisa’ (4):129 menjadi landasan pendapat ini. Pendapat demikian dapat ditemukan dibeberapa buku para aktifis Muslim di antaranya Asghar Ali Enginer, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm 113 dan seterusnya, serta buku Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, (Yogyakarta, LKiS, 2003), hlm328 dan seterusnya. Penulis kedua buku ini, mengulas tentang perbandingan sejarah poligami, pendapat para mufassir, dan pendapat pemikir Muslim kontemporer tentang poligami yang bertitik tolak pada keadilan. Yang menarik dari pendapat ulama yang memperbolehkan poligami ini ada yang membolehkan poligami sampai sembilan istri dengan menambahkan hitungan 2 + 3 + 4 = 9. Pendapat ini juga didasarkan pada Qs. An-Nisa’ (4):3 di atas, selanjutnya baca, Ab al-Wali>d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusd al-Qurthubi> al-Andalusi>, Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtashid, juz, 2 (Surabaya: al-Hidayah, tt.), hlm, 31.
[8] Contoh factual terhadap pandangan ini adalah yang dilakukan oleh Puspowardoyo, yang berpendapat bahwa poligami itu dianjurkan karena perintah nikah dalam Qs. Al-Nisa (4): 3 itu empat, tiga, dan dua, baru kalau tidak bisa adil maka satu saja. Pendapat yang mengatakan poligami ini sunnah biasanya melakukan indoktrinasi kepada para istri agar sabar mendapat giliran dan sabar dengan kondisi suami. Dengan kesabaran ini, istri akan mendapatkan pahal berlipat dari Allah Swt. Sementara suami tidak dienjurkan dan diajarkan untuk bersabar. Untuk mencukupi kebutuhan dan praktik sabar, istri-istri membantu tugas suami dengan berbagi tugas seperti ada istri yang bertugas menjadi direktur “perdapuran”, manager rumah makan, dan lain-lain. Untuk suami yang mobilitanya tinggi, istri yang banyak berfungsi nuntuk maksimalisasi tugas suami saat ditempat tugas yang berbeda, agar tetap fresh, Pendapat seperti ini di antaranya diikuti oleh Gerakan Darul Arqam. Untuk memahami lebih jauh tentang gerakan ini baca, Khoiruddi Nasution, “The Phenomenon of Polygyny in Contemporary Malaysia: A Case Studi of the Darul Arqam Movement” dalam Jurnal al-Jami’ah : Journal of Islamic Studies, Volume 39. Number 1 January – June 2001, hlm. 34 – 61. Hukum sunnah poligami juga mendapatkan ulasan cukup memadai dalam buku Saiful Islam Mubarak, Poligami yang Dudambakan Wanita, (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003).
[9] Poligami memiliki sejarah yang panjang. Islam tidak memulai poligami, tidak memerintahkan, dan tidak melarang tetapi hanya membolehkan dengan syarat-syarat tertentu terutama mampu dan adil, selanjutnya baca Abbas Mahmoud al-Akkad, Wanita dalam al-Qur’an, terj. Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 131.
[10] Poligami yang ia lakukan telah membuahkan polemik terulang dan kekerasan secara psiko-sosial dapat dirasakan diri dan keluarganya dengan banyaknya opini yang ditulis dalam beberapa media cetak dan disiarkan di beberapa TV. Poligami juga diwacanakan sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga terutama kekerasan psikologis yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Di antara komentar dalam bentuk tulisan di media adalah artikel dalam Kompas tanggal 11 Desember 2006 hlm. 39 tentang “Wabah Itu Bernama Poligami”. Dalam perspektif gender, opini yang berkembang dimaksudkan untuk menciptakan keadilan gender yang selama ini disinyalir sering dilanggar dalam bangunan hidup keluarga poligam meskipun poligami itu dilakukan oleh tokoh publik seperti ulama, politisi, atau pejabat tinggi negara.
[11] Ada mempelai berdua, wali, dua laki-laki sebagai saksi, mahar, dan akad (kontrak perkawinan).
[12] Mempelai disunahkan untuk mengadakan resepsi sedang masyarakat yang diundang wajib untuk menghadiri resepsi tersebut kecuali yang berhalangan (‘udzur). Tentang dalil anjuran ini dapat dibaca dalam anotasi kitab al_Tadzhi>b fi> Adillah Matn al-Gha>yah wa al-Taqri>b karya Musthafa Dib al-Bigha (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 169-170.
[13] Tentang motivasi pernikahan Nabi dengan 9 istrinya setelah Khadijah wafat dapat ditemukan di antaranya dalam Ali al-Shabuni, Rawa>’i’ al-Baya>n Tafsir Aya>t al-Ahkam min al-Qur’a>n, Juz II (Bairut: Dar al-Fikr, tt.) pada bab poligami Nabi Saw. Motivasi yang didasari ketaatan terhadap Tuhan dengan pertimbangan sosiologis dan politis.
[14] Pandangan ini bagi Muslim Indonesia yang mayoritas bermadzhab (Syafi’i ) yang mensyaratkan wali dan saksi. Berbeda jika komunitas Muslim tersebut memakai pendapat bahwa wali dan saksi tidak menjadi syarat pernikahan, maka pernikahan lebih menujukkan pada wilayah privat. Atau mengikuti paham yang memperbolehkan nikah mut’ah atau kawin kontrak yang hanya mensyaratkan dalam pernikahan tersebut adanya wanita (muslimah atau ahli kitab), akad nikah, mahar atau maskawin, dan jangka waktu tertentu artinya berapa lama perkawinan mt’ah tersebut berlangsung. Tentang perkawinan mut’ah ini lebih lanjut baca, Azyumardi Azra, (pimred. peny.). Ensiklopedi Islam. jilid 2.(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 311-312.
[15] Erich Fromm, The Art of Love (Gaya Seni Bercinta) Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo. Dyatmika Wulan Merwati (Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2004), hlm. 32-33. Cinta disebut matang dan dewasa itu menenangkan dan mendamaikan sedang cinta kanak-kanak membuat seseorang terbelenggu oleh cintanya sendiri.
[16] Selanjutnya baca artikel penulis Rahasia cinta Seorang Poligam: Analisa Poligami dalam Perspektif Teori Cinta Erich Fromm” dalam Jurnal Yin Yang Volume I, Nomor 2, juli – Desember 2006, hlm. 129-131., dan secara lebih luas baca, Erich From, The Art, hlm. 37-56.
[17] Keadilan juga harus berikan secara adil dalam arti memenuhi indicator cinta sebagaimana yang digambarkan oleh Erich Fromm. Al-Qura’an Qs. Al-Nisa’ (4): 129 menyatakan bahwa laki-laki poligam tidak mungkin mampu berbuat adil terhadap para istri yang kemudian oleh para mufassir dimaknai bahwa ketidak mampuan itu pada bidang immaterial dan itu tidak mengapa karena manusiawi. Pendapat demikian menjadi kontradiktif karena keadilan menjadi dipilah-pilah tanpa setandar yang jelas. Untuk pendapat ini baca, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung:,Mizan, 1996), hlm. 199.
[18] Tentang pendidikan perempuan sebagai proses pemberdayaan baca buku penulis Pendidikan Perempuan, (Yogyakarta: Gama Media-STAIN Press, 2003).
[19] Sebagaimana pendapat Rasyid Ridha, dalam buku Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1986), hlm. 60. Kelaziman kaum pria berpoligami untuk mereguk kenikmatan seksual (sexual pleasure) tersebut dapat dilihat dari kecenderungan menikahi perawan-perawan muda bahkan ABG dari pada menikah dengan janda-janda yang memiliki anak-anak yatim.







DAFTAR PUSTAKA





Ali, Syed Ameer. Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. terj. H.B. Jassin. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

al-Akkad. Abbas Mahmoud. Wanita dalam al-Qur’an. terj. Chadijah Nasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

al-Andalusi>, Ab al-Wali>d Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Rusd al-Qurthubi>. Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtashid, juz, 2. Surabaya: al-Hidayah, tt.

Azra, Azyumardi (pim red. peny.). Ensiklopedi Islam. jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

al-Bigha>, Musthafa> Di>b al-Tadzhi>b fi> Adillah Matn al-Gha>yah wa al-Taqri>b. Bairut: Dar al-Fikr, 1983.

Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan. Yogyakarta: LKiS, 2003.

_________, Matinya Perempuan: Menyingkap Megaskandal Doktrin dan Laki-laki, terj. Ahmad Affandi, Muh. Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Fromm, Erich. The Art of Love (Gaya Seni Bercinta) Ed. A. Setiono Mangoenprasodjo. Dyatmika Wulan Merwati (Yogyakarta: Pradipta Publishing, 2004

al-Haddad, al-Thahir. Wanita dalam Syariat & Masyarakat, terj. M. Adib Bisri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan. Yogyakarta, LKiS, 2003.

Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, Syarif Hidyatullah Yogyakarta: Tiara wacana, 1997.

Kompas tanggal 11 Desember 2006.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir, Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan PP. al-Munawwir, 1984.

al-Naim, Abdullah Ahmad. Dekosntruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.

Nasution, Khoiruddin. “The Phenomenon of Polygyny in Contemporary Malaysia: A Case Studi of the Darul Arqam Movement” dalam Jurnal al-Jami’ah : Journal of Islamic Studies, Volume 39. Number 1 January – June 2001.

Rabili, Osman. Kamus Internasional, cet.III, Jakarta, Bulan Bintang 1982.

Ridha, Rasyid. Panggilan Islam Terhadap Wanita. terj. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka, 1986.

Roqib, Moh., “Rahasia cinta Seorang Poligam: Analisa Poligami dalam Perspektif Teori Cinta Erich Fromm” dalam Jurnal Yin Yang Volume I, Nomor 2, juli – Desember 2006.

________, Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: Gama Media-STAIN Press, 2003.

Mubarak, Saiful Islam. Poligami yang Dudambakan Wanita. Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indomesia, Jakarta PA. Pustaka, 1976.

Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, juz II. Bairut; Dar al-Kita>b Al-Arabi>, 1973.

al-Shabuni, Ali. Rawa>’i’ al-Baya>n Tafsir Aya>t al-Ahkam min al-Qur’a>n. Juz II. Bairut: Dar al-Fikr, tt.

Shadily, Hassan. Ensiklopedi Indonesia,`jilid v. Jakarta, Ikhtisar Baru –van Hoeve 1984.

Shihab. M. Quraish. Wawasan al-Quran. Bandung:,Mizan, 1996.

Tanjung, Nadimah. Islam dan Perkawinan, cet, IV. Jakarta: Bulan Bintang, tt.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tidak ada komentar: