Sabtu, 08 Maret 2008

Cinta Sang Pecinta

CERPEN : CINTA SANG PECINTA
Oleh. Moh. Roqib

Malam itu, di bulan Mei 2006, begitu dingin. Sabir seorang duda berusia 35 tahun terbangun oleh tangis anak keduanya yang masih berusia 2,5 tahun. Dalam kedinginan malam ia dengan sabar mengganti popok anaknya yang basah. Ngompol. Setelah mengelus-elus kening anaknya, Sabir mengambil air wudlu untuk Tahajjud. Inilah saat yang tepat untuk mengadu kepada Tuhan, setelah sekian lama ia meninggalkan shalat malam ini semenjak pernikahan dan terhimpit kesibukan kerja yang menumpuk. Setelah shalat, beberapa problem melayang dalam lamunannya. Dan yang sangat menyita fikirannya adalah problem bagaimana --setelah istrinya meninggal beberapa bulan yang lalu-- ia mampu mendidik anak-anaknya seorang diri.
“Apakah Wati perempuan yang tepat untuk mendidik kedua anakku dan apakah ia mau menjadi istri seorang duda dengan dua anak?”. Lamunnya. “Bagaimana caranya aku mengkomunikasikan hal itu kepada anak-anak dan mertua?” Tidakkah aku juga bisa mendidik anakku sendiri sebagai single parent sebagaimana yang biasa tuntutan masyarakat kepada para perempuan janda?” “Kau adalah seorang sarjana pendidikan, jika perempuan saat ini dituntut –terutama oleh aktivis feminisme-- agar mampu mendidik dan menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya, kenapa kamu tidak ?” “ Bukankah kau laki-laki yang biasanya merasa lebih kuat, lebih tegar, kenapa kau jadi amat cengeng hari ini”. “Bukan, ya bukan. Ini masalah kecintaanku pada anak-anakku berarti juga karena cintaku pada almarhumah istriku”. “ Apa ya.? Coba diraba hatimu lagi, apa bukan karena kecengenganmu dan gejolak nafsu seksualmu karena beberapa bulan ini tidak tersalurkan..?” Lamunan panjang Sabir berputar-putar.
“Aah pusing, kenapa ada orang lain yang ingin menikah lagi langsung saja menikah, tidak ambil pusing seperti aku. Jika mereka ingin melakukan hubungan seksual langsung mencari partner main, tanpa peduli dan berfikir berbagai macam seperti aku?” “Benar. Aku benar. Bukankah aku seorang sarjana, yang berkewajiban bertindak dari dasar fikir, hati nurani, dan juga keyakinan keagamaanku?” “Bagaimana kata anak-anak, mertua, dan orang-orang di sekitarku? Mereka biasanya suka membincang kelemahan orang lain dengan semangat tinggi dan cenderung lupa terhadap kondisinya sendiri yang belepotan”.
Kembali ia terbayang Wati, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria, sabar, suka dengan anak-anak, tubuhnya sedang, padat, segar, dan cantik. Sosok yang memenuhi idealitas calon istri bagai putri anggun beraroma bidadari. Dalam pikiran Sabir, sosok Wati adalah pengganti almarhumah istrinya yang paling tepat dibandingkan dengan perempuan lain yang “siap” menjadi istrinya selama ini. Seperti si Udah anak tetangga sebelah yang beberapa hari ini mencuri-curi pandang. Perawan berusia 27 tahun itu memperlihatkan tanda menyukai Sabir, seorang PNS, meski duda beranak dua, Sabir memiliki masa depan yang cemerlang dan berhati santun. Berbeda dengan pemuda lain seperti Joni yang meski lebih muda tetapi baru bekerja sebagai pedagang kaki lima di lingkungan kampus. Udah yang gemuk dan menor itu sering memberikan perhatian yang lebih dari cukup kepada Sabir, tetapi anehnya Sabir malah merasa risih. Dan jika Udah berkata dihadapannya dengan prilaku yang dibuat-buat apalagi membanding-bandingkan atau merendahkan pemuda lain, Sabir semakin menghindar darinya. Baginya orang memiliki prestasinya sendiri-sendiri dan menjadi kewajiban kita untuk mengapresiasi dan mengormati jalan hidup orang lain.
Berbeda dengan Wati, yang kepribadiaannya bagi Sabir dekat dengan sang Istri yang sabar, senang keindahan, masak, berbicara secukupnya, santun, dan tidak suka keluyuran. Dan tidak kalah menariknya, adalah senyumnya yang menawan, tumbuh dari kepribadian teguh dan tulus. Sikap Wati yang demikian menyebabkan ia menjadi perhatian banyak bujangan kampung dan mahasiswa di kampusnya.
“Assalamu’alaikum pak, pagi-pagi sudah tindak. Pergi kampus ya?“. Kata Wati menyapa Sabir yang pagi hari itu melintas di depan rumahnya. Seperti biasa, Wati menyapa dengan wajah menyimpan rasa malu karenanya ia sambil memainkan selang air yang ia pegang untuk menyiram bunga yang tertata rapi di depan rumahnya. “Wa’alaikum salam Wat. Biasa, mengajar. Aduuh rajin nian, pagi-pagi juga sudah menyiram bunga. Segar-segar dan indah lagi seperti yang menyiram”. Demikian kata Sabir,sambil menggoda Wati. Bagi Sabir, kata-pujian itu selama ini tersimpan di hati, bahkan ia ingin memuji dan berkata=kata lebih dekat dengannya. Memang, orang baik, jujur dan tulus dalam prilakunya, akan membuat orang di sekitarnya damai seteduh hatinya yang tulus. Orang yang tidak ingin dipuji pantas mendapat pujian setingkat dengan prestasi dan hatinya. Memang selama ini jarang orang mengapresiasi hati orang lain yang sederhana dan memegangi ketulusan hidup.
“Ah bapak, baru belajar pak, yaa biar nanti saya mampu jadi seorang ibu yang baik”. Jawab Wati sambil berfikir kenapa ia menjawab sampai ke rumah tangga segala? Bukankah pak Sabir seorang duda? Kalau diartikan ke sana bagaimana? Tapi sudahlah gak apa, kalau dimaknai aku senang juga jadi istri dan ibu anak-anaknya. Emm tapi…..
Dalam perjalanan menuju kampus, Sabir berfikir kembali “apakah kamu harus menikah lagi? Mana bukti rasa cintamu kepada almarhumah istrimu? Apakah cinta bisa digantikan? Kalau bisa apa mungkin secepat itu? Dan bagaimana caranya? Dengan Wati?”.
Sesampai di kampus ia berdiskusi dengan Rasyid, seorang teman yang selama ini ia ajak berbibacara berbagai masalah dengannya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan Sabir itu, Rasyid menjawabnya bagaikan seorang pujangga “ lho bukankah menikah itu merupakan wujud dari rasa cinta? Cinta itu seperti ijtihad, artinya cinta itu tidak bisa menggugurkan cinta sebelumnya aztau cinta yang lain. Maksud saya, kamu tetap mencintai almarhumah istrimu bersamaan dengan mencintai istrimu yang baru, juga mencintai semua orang yang mesti dicintai. Cinta bisa hadir kapan saja, di mana, dan kepada siapa saja. Tinggal kamu memanajnya agar sesama cinta bisa membawa dinamika hidup dan tidak bertabrakan atau saling menghancurkan”. Dengan jawaban itu sabir menyela “ sebentar, apa itu tidak berarti memainkan rasa cinta yang mestinya hanya “khusus” tertuju pada seseorang menjadi barang obralan, karena diberikan kepada siapa saja?”. “ha ha ha…, eh cinta itu kata orang dari mata turun ke hati. Selama mata masih bisa memandang dan membedakan keindahan maka cinta itu akan terus bertambah, merata ke alam semesta. Kamu nggak mungkin mampu membatasi apalagi membendung cinta. Baik buruk cinta itu bergantung pada dasar pijak rasa cinta itu sendiri, jika berpijak pada cinta ilahi dan hatu nurani pasti akan menumbuhkan kedamain bagimu dan bagi siapaun yang kamu cintai. Cinta demikian merupakan cinta yang memerdekakan, egaliter, tidak membebani, cinta yang membuat badan menjadi lebih segar karena hati terbuka dan nyaman. Tetapi kalau dasar cinta itu nafsu sahwat maka ia akan berusaha untuk menikmati, egois, menguasai, dan kasar. Cinta yang demikian tidak mungkin dimanaj, ditata. Cinta seperti ini akan menimbulkan kegalauan dan sesak dalam hidup. Ketentraman dan keindahan hanya sementara diraihnya sesudah itu menjadi bom waktu yang akan meledak menjatuhkan diri sendiri dan atau lingkungannya.”
Sabir mengangguk-anggukkan kepala, Bagi Sabir, demikian ini pula yang selama ini ia berusaha untu melakukannya. “tapi….. “ sela Sabir. “Aduuh kok kayak kuliah 4 sks nih, sekian dulu ya ngobrolnya saya mau ngajar, sory ya Om!!” kata Rasyid ke luar menuju kelas. Mengajar.
Sabir juga menuju kelas. Setelah mengajar ia segera pulang. Melihat anak-anak bermain sama pembantu, bik Sam, tetangganya sendiri itu ia terenyuh. “Kasihan anak-anakku, mestinya mereka dapat merasakan hangatnya cinta kedua orang tuanya, sekarang tinggal aku seorang”. “Benar kata kang Rasyid, saya harus mampu menganyam rasa cintaku agar saling mendukung, aku harus berkomunikasi dengan semua yang terkait dengan rasa ini sebaik-baiknya”. “ Wati adalah orang pertama yang harus saya ajak bicara, karena alternatifnya dia, baru anak-anak, mertua, dan bapak-ibu Wati sendiri”. Demikian rencana mantap Sabir di hati sambil menengadah ke langit berharab, Tuhan memberkahi langkahnya.
Setelah bergurau dengan anak-anak sehabis isyak dan mendampinginya belajar, Sabir menyertai anak-anak tidur. Secuil kisah Kamandaka, ia ceritakan sebagai pengantar tidur kedua anaknya yang lucu. Setelah anak-anaknya tertidur lelap, ia memandanginya dengan masgul sekaligus syukur. Masgul, betapa anak sekecil ini sudah tidak ditunggui ibunya. Tak terasa air matanya menetes. Syukur, karena anak-anak ini sehat, lucu, dan membanggakan. “Ya Allah berikan aku anak-anak yang shalih”. Sabir kembali ke kamar tidurnya dengan seribu pertanyaan dan agenda.
Setelah Subuh, ia mengirim sms ke Wati. “ Nanti jam 9 saya ingin berbicara denganmu di kampus”. Sabir memilih kampus sebagai tempat pertemuan untuk menghindari fitnah. Jika pertemuan dilakukan di kantin, rumah makan, atau tempat rekreasi pasti timbul persoalan baru meski di kantor pun memungkinkan orang mengomentarinya secara tidak sedap.
“Assalamu’alaikum !” Wati masuk ruangan. “Wa’alaikum salam”. “Ada sesuatu yang penting pak? Maaf saya nggak enak masuk ke sini, tapi tidak mengganggu ya pak”. “Tidak, tidak. Wong aku yang mengundangmu ke sini, sudah barang tentu tidak mengganggu”. Kata Sabir sambil berusaha meyakinkan diri bahwa Wati adalah seorang yang tepat untuk anak-anaknya dan ia juga tertarik kepadanya. Ia pandangi Wati sambil menggeser kursi agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Wat, apa kamu belum punya pacar”. “Be belum pak, emangnya ada apa pak”. “Terus terang ya, aku ini kan sudah menduda beberapa bulan ini, bagiku ada sesuatu yang kurang bagi anak-anakku dan aku jika aku tetap menduda”. “Benar pak, tapi kok ceritanya sama saya”. “Lha itu ada kaitannya dengan kamu. Begini, to the poin aja ya. Bagaimana jika kamu yang menjadi ibu dari anak-anakku. Setelah aku renungkan masak-masak, perempuan yang tepat adalah kamu. Tetapi itu jika kamu tidak keberatan.”
Hati Wati bergemuruh, antara senang dan bimbang. Kenapa mesti secepat ini pertanyaan itu muncul. “Aduh, gimana ya pak”. “Kamu tidak suka sama saya, dan berat dengan anak-anak saya?” “Saya senang sekali melihat anak-anak bapak, lucu-lucu dan baik,. Saya senang kepada mereka, jugaa ….”. “Sudahlah, begini saja, fikirkan dan musyawarahkan, kalau perlu shalat istikharah agar kamu mendapatkan keputusan yang mantap”.
Wati tertegun dengan kata-kata Sabir. Orang ini begitu bijak, berpendidikan, masa depannya jelas, anak-anaknya lucu. Dalam hati Wati terbersit kuat untuk mendampinginya. Tapi bagaimana kata orang, perawan yang didambakan banyak jejaka kok mau sama seorang duda beranak dua?. “Ya pak, saya akan mengikuti saran Bapak”.
Tiga hari berikutnya, Wati dan Sabir bertemu di tempat yang sama. Dengan hati mantap, Wati telah mempunyai keputusan. Sabirpun optimis bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Yakin. Setelah salam dan berbasa-basi seperlunya, Sabir memulai pembicaraan yang telah ditunggu jawabannya. “Bagaimana Wat, suda ada keputusan ?”. “Sudah pak, begini pak. Setelah musyawarah dengan orang tua, beliau menyerahkan semuanya kepada saya, agar difikirkan matang-matang. Pak Sabir itu baik, orang tua ok. Setuju. Tapi dia itu duda beranak dua jangan sampai saya kesulitan di belakang hari. Saya juga telah salat istikharah. Saya sesungguhnya mencintai anak-anak bapak, saya merasakan cukup dekat jika bertemu dengan mereka. Dengan bapak juga demikian. Ma’af ya pak..”. “Tidak apa-apa, katakana saja”. Kata Sabir dengan tenangnya.
“Pak, saya belum bisa menerima tawaran bapak, meskipun saya menyukai bapak”. Sebuah jawaban mantap meski amat berat untuk diucapkan Wati. Kekecewaan bercampur dengan perasaan lepas dari beban. Tetapi Wati bertekad dengan jawaban itu, sebagai bagian dari penghormatan terhadap orang yang dikagumi dan dicintainya juga. Jawaban yang jelas, bagi Wati adalah bagian dari penghormatan dan kasih sayang, karenanya Wati tidak suka dengan jawaban menggantung, tidak jelas. Wati belum siap menikah dengan usia 22 tahun dan kuliahnya yang belum tuntas, serta harus mendampingi seorang suami dengan 2 anak, meskipun ia juga sangat mencintai mereka.
“Begitu, ya aku paham dengan keputusanmu. Boleh aku meminta bantuan padamu?”. Kata Sabir, masih dalam ketenangan seorang yang benar-benar matang. Sementara Wati ragu, apa reaksi selanjutnya dari orang yang ia kagumi. “Mau pak, saya mau. Apa pak”. “Kalau kamu tidak berkenan padaku, tidak apa. Kamu saya akui sebagai adikku sendiri, toh aku juga tidak punya adik. Menurutmu, siapa yang tepat untuk mendampingiku juga anak-anakku?”. Wati tertegun heran sekaligus bangga dengan orang yang dicintainya itu. Setinggi itu dia memaknai cintanya pada seseorang. Cinta yang menghormati, menghargai, tidak melukai, dan cinta yang hidup sepanjang perjalanan hidupnya. Pecinta sang pecinta sejati. Dalam hati Wati bergumam: “Berbahagialah orang yang akan mendapatkanmu, Perempuan tersebut pasti bahagia. Dan aku akan berusaha mencarikamu seorang istri yang benar-benar mampu jadi istri terbaikmu, lebih baik dari aku sendiri”.
“Akan saya usahakan pak, insyaAllah saya bantu. Trimakasih atas pengakuan Bapak, saya sebagai adik Bapak dan trimakasih Bapak telah memberikan amanat itu. Akan saya usahakan, tapi maaf jika saya tidak mampu”. Kata Wati ragu. “Terimakasih, kamu tetap ideal di mataku. Selamanya. Kata Sabir mantap.
Kedua orang duduk dengan perasaan masing-masing. Yang jelas keduanya plong, lepas, terbuka, dan bebas mengekspresikan rasa cintanya dalam bingkai kejatian cinta yang sadar akan posisi dan kemampuan diri.

Purwokerto, 31 Agustus 2006

Tidak ada komentar: