Sabtu, 08 Maret 2008

Peran Politik Perempuan dalam Kacamata ICT

PERAN POLITIK PEREMPUAN
DALAM KACAMATA ICT
Oleh. Moh. Roqib *


I. PENDAHULUAN
Kenyataan saat ini bisa jadi adalah impian masa lalu. Orang bisa berbicara dan melihat kawan bicaranya dari jarak ribuan kilometer, jika dinalar pada masa Majapahit, prilaku ini adalah mustahil dan yang melakukannya dianggap ”kejinen” kemasukan jin alias gila. Membuat KTP atau KTM (kartu Tanda Mahasiswa) baru cuma 10 menit? Membayar SPP dan melihat nilai untuk mahasiswa tidak perlu ke kampus? Bimbingan dan pembelajaran jarak jauh bisa dilakukan? dulu mustahil untuk dikatakan sekalipun, saat ini yang menanyakannya dianggap ”orang yang dilahirkan terlambat” mestinya sudah lahir pada jaman bahola, jaman Mataram kuno. Saat ini semua bisa cepat dengan kualitas prima seakan permainan sulap hanya dengan ”abagedabra”, uang yang dinginkan segera diproses lewat mesin ATM dan ”jreng”, uang pun keluar.
Inilah keajaiban masa lalu dan kenyataan saat ini. Meski saat inipun masih ada pejabat, pimpinan perusahaan, pimpinan dan aktivis politik yang berwatak dan berkualitas masa lalu, gagap teknologi sementara dirinya berdampingan dengan multimedia. Multimedia masih asing bagi dirinya dan belum mampu menggunakan atau memanfaatkannya.
Kecanggihan ini berkat kemajuan Information and Communication Tecnologi (ICT), sebuah teknik atau cara untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, menggunakan, menganalisa, menyebarkan / menyajikan informasi dan komunikasi. Teknik atau cara seperti ini berada pada disiplin ilmu elektronika, komputasi, dan pemograman. Wujud nyata dari teknologi ini adalah komputer beserta peralatan pendukungnya seperti seperangkat komputer, telepon, internet, piranti perangkat lunak dan lainnya. Pada perkembangan terakhir peralatan sistem telekomunikasi yang semula terpisah dari kelompok komputer saat ini telah berkonvergensi membentuk jaringan komunikasi data serta aplikasi multimedia.[1] Dalam konteks multimedia ini, ICT ini diperbincangkan.
Kamajuan ini dirasakan dan dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk membantu kemudahan, kecepatan, ketepatan, dan kualitas hasil kerjanya. ICT hanya dirasakan oleh mereka yang berpendidikan cukup dan berpengalaman. Bagaimana dengan masyarakat pedesaan yang minkin, berpendidikan rendah, dan jauh dari jangkauan jaringan telepon atau sinyal telepon genggam. Berbicara tentang kelemahan ini yang paling ”mrinding” adalah kaum perempuan yang oleh masyarakat patrialkal diposisikan sebagai jenis makhlu kedua dan mendapatkan gilirah paling akhir jika ada jatah memperoleh ”kenikmatan”, mendapatkan tugas pertama dalam mendidik anak dan generasi bangsa, dan menjadi pilihan darurat dalam pemilihan pemimpin baik di eksukutif, legislatif, maupun Yudikatif. Merana.
Daam konteks politik, bagaimana kecanggihan ICT tadi berkolaborasi dengan kepentingan politk perempuan yang sebagian masih dimarjinalkan dalam lingkup sosial secara umum. Di kantor, sekolah, kampus, dan dunia pemerintahan dirasa sudah banyak kemajuan tentang keadilan dan kesetaraan tetapi di wilayah publik yang lebih luas mereka masih mencicipi yang serba singkat. Bisakah ICT ini menjadi media perpolitik yang efektif bagi perempuan Indonesia sebagaimana multimedia ini dimanfaatkan secara efektif di Amerika.[2]
Tulisan ini hendak membincang peran politik perempuan dengan fokus tugas kepemimpinan secara umum. Terkait dengan tugas berat kepemimpinan (politik), perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk itu sementara semua kalangan meyakini ada ”makhluk ajaib” yang bernama ICT atau multimedia tadi yang bisa membantu cukup efektif bagi kerja-kerja politik perempuan. Lalu apalagi yang dipersoalkan. Pada tulisan ini, penulis sisi penting yang tidak perbincangkan adalah dasar teologis-keagamaan tentang dalil-dali teks kitab sucinya. Penulis hanya akan mengungkap realitas tugas, kewajiban secara global, dan bagaiamana ICT membantunya sehingga ada keterkaitan logis antara keduanya. Di panggung politik secara riil ditemukan dalam sejarah ada Ratu Bilqis pada jaman Nabi Sulaiman, [3] Ratu Sima di Jawa Tengah yang makmur, Aisyah yang memimpin perang Jamal melawan Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, Ratu Elisabeth, Presiden Benazer Butho, dan presiden Megawati yang menggantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan sederetan pemimpin perempuan lain.
Secara faktual data historis ini tidak mungkin diingkari, karenanya perbincangan dari aspek dalil dan legalitas teologis sudah jelas meski masih menyisakan perdebatan. Tulisan ini hendak mengkaji problem dan dilema perempuan yang secara sosiologis dinyatakan sebagai manusia kedua di bawah laki-laki[4] dengan menggunakan kacama ICT. Dengan tulisan ini diharapkan akan memperjelas posisi politik perempuan dan meminimalkan kegamangan sebagian orang terhadap kepemimpinan perempuan. Meski demikian, sejak awal harus diingatkan bahwa kualitas tetap menjadi kata kunci, bukan karena perempuan bisa menjadi pemimpin kemudian menurunkan kualitas kepemimpinan tersebut.

II. KEKALAHAN POLITIK PEREMPUAN
Kakalahan terkadang meluruhkan keyakinan yang tertanam dalam diri seseorang. Untuk mengembalikan keyakinan tersebut membutuhkan waktu dan bukti yang mampu meneguhkan kembali keyakinan yang hilang, affirmative action. Sebagai contoh, peran perempuan dalam masyarakat patriarkhis jika dilepas tanpa kebijakan yang mengukuhkan bahwa demi keadilan harus ada keberpihakan kepada yang lemah dan dilemahkan. UU Pemilu yang disepakati DPR pada tanggal 3 Maret 2008 memuat sejumlah materi baru di antaranya 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon anggota DPR/DPRD. Setiap 3 nama calon terdapat sekurang-kurangnya 1 calon perempuan.[5] Penentuan kuota seperti ini menunjukkan fakta kekalahan politik perempuan dalam pentas perpolitikan di negari ini, karena kekuatan mereka harus ditopang oleh undang-undang dan jika dibebaskan diyakini tidak akan mendapatkan posisi dan peran itu. Sebagai langkah awal dan affirmative action, hal ini bisa diterima meski harus cepat-cepat diprogram untuk dihilangkan jika kesadaran akan keadilan dan kualitas sudah menjadi standar dalam pemilihan calon legislatif. Yang terpenting untuk dilakukan adalah melakukan pemberdayaan perempuan di segala bidang secara integral dan komprehensip.
Contoh pemilu Bupati Banyumas yang menampilkan empat pasang calon di antaranya pasangan calon yang wakil bupatinya adalah perempuan yaitu pasangan calon Singgih Wiranto – Laely Sofiah Manshur. Laely sebagai ketua Muslimat NU maju sebagai calon Bupati karena ada tawaran dari beberapa calon Bupati yang kesemuanya adalah laki-laki. Dalam internal NU, sejak awal muncul pro dan kontra tentang legalitas (menurut agama) perempuan maju menjadi pemimpin politik kabupaten. Yang setuju karena perbincangan tentang pemimpin perempuan dalam NU itu sudah tuntas saat Munas Alim Ulama di Lombok Nusa Tenggara Barat beberapa tahun yang lalu, jika saat ini diungkit diyakini karena tendensi politik dari orang tertentu yang tidak mengharapakan Laely maju dan jadi wakil bupati. Yang kontra menggunakan dasar klasik tentang keabsahan pemimpin poltik atau negara perempuan dengan menyatakan ayat “Arrijalu Qawwamuna ‘alannisa’”, laki-laki adalah pemimpin perempuan dan Hadits yang menyatakan bahwa kaum yang dipimpin perempuan tidak akan sejahtera.[6] Pada pertemuan 50 Kyai yang diprakarsai oleh Tim Siyasah NU,[7] pendapat pro-kontra ini bisa diselesaikan dan Laely Manshur bisa dipahami untuk maju, meski belum mendapatkan dukungan riil dari para kyai NU.[8] Reaksi terhadap Laely tersebut menunjukkan bahwa di NU sendiri kepemimpinan perempuan belum dipahami secara baik oleh kyai-kayi di beberapa daerah,[9] dan pasangan calon tersebut belum mampu memberikan informasi yang mampu meyakinkan para ulama yang berseberangan.
Berbeda dengan kabupaten tetangga, Kebumen yang pasangan perempuan, bupati Rustiningsih mampu memimpin sampai dua kali dengan menggandeng ulama NU dan didukung oleh mayoritas ulamanya. Dukungan ulama yang lemah, pemanfaatan ITC dan media massa terutama cetak yang tidak dikelola dengan baik, serta jaringan yang kurang solid pasangan calon bupati Singgih Wiranto dan Laely Mansyur mengalami kekalahan dan menduduki urutan ketiga setelah pasangan Bambang Priyono-Tossy Ariyanto.[10] Ia kalah dengan kekuatan pasangan lain yang memanfaatkan ICT, jaringan, dan ”kekuatan lain”. Kekalahan ini memperkuat pandangan sebagian orang bahwa agama belum bisa menerima pemimpin perempuan.
Secara nasional, kehadiran perempuan dalam kancah politik belum menggembirakan. Sebagai contoh hanya beberapa nama yang menjabat sebagai menteri, satu orang gubernur propinsi Banten, tiga bupati di Jawa Tengah. Keinginan kuota 30 % masih jauh dari kenyataan. Jika 30 % untuk anggota legislatif tidak diikuti oleh kualitas perempuan yang memadai dan mampu bersanding sejajar dengan politisi laki-laki maka ini adalah kekalahan berikutnya yang diderita perempuan.

III. MEMBACA HAKEKAT KEPEMIMPINAN
Al-Qur’an mengajar membaca sejak awal. Kepemimpinan (termasuk di bidang politik) harus dibaca dengan adil, jika aspek jenis kelamin tidak dibutuhkan maka menjadi tidak adil jika mempersyaratkannya. Tambahan yang tidak dibutuhkan seringkali bertendensi yang dikemas dalam sebuah kalimat undang-undang atau aturan.
Kepemimpinan, imamah, imarah, ziamah, khilafah, atau leadership memiliki arti akatifitas (seni) seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang diharapkan atau ditetapkan. Kepemimpinan mengandung maksud suatu tindakan yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain menuju pencapaian harapan dan cita-cita.[11] Dalam kepemimpinan ada unsur kemampuan dan aktifitas mempengaruhi, mengajak, mengarahkan, menciptakan, meyakinkan, saling mempengaruhi antar pribadi, bekerjasama, hubungan dan pemeliharaan struktur, hubungan kekuasaan, seni mengkoordinasi dan memotivasi, aktifitas yang memudahkan kelompok, membuat orang lain mengerjakan sesuatu, menggunakan wewenang, dan mengambil keputusan.
Kepemimpinan yang positif akan bergerak untuk mewujudkan kesejahteraan bersama [12] dan dilakukan dengan bekerjasama. Berbeda dengan kepemimpinan yang negatif. Kepemimpinan yang baik menggunakan standar ahlak utama dalam memperoleh, menggunakan, dan mempertanggung-jawabkan kekuasaannya. Pemimpin yang baik tidak melakukan sesuatu dengan menghalalkan segala cara.
Untuk menggapai kesejahteraan hidup yang merata dalam kehidupan masyarakat tersebut, seorang pemimpin diharuskan memiliki kualifikasi seperti memiliki ilmu yang memadai tentang pemerintahan, pengalaman dalam kepemimpinan,[13] sehat jasmani dan ruhani, visioner. Tidak ada syarat laki-laki seperti yang sering diperbincangkan tersebut.[14] Jika berorientasi pada definisi kepemimpinan tersebut tidak ada syarat yang dipatok pada jenis kelamin laki-laki, tetapi pada kemampuan untuk berkomunikasi efektif demi kesejahteraan warga negara. Penyebutan syarat laki-laki tersebut karena budaya patrialkal yang kuat yang berimplikasi politik pada keputusan bahwa putra mahkota dan raja harus laki-laki. Untuk kepentingan ini dibutuhkan aturan legalitasnya.[15]
Proses mensejahterakan warga harus dilakukan oleh pemimpin baik laki-laki maupun perempuan di antaranya dengan memanfaatkan kemampuan jaringan yang luas. Di sisi ini kemampuan komunikasi dan loby menjadi amat penting baik kepada sesama pemimpin juga loby kepada semua potensi yang bisa memberikan kontribusi bagi kesejahteraan warga seperti pengusaha untuk penguatan ekonomi, cendekiawan untuk peningkatan dunia pendidikan, ilmu, dan teknologi, militer atau kepolisisan untuk menjaga stabilitas keamanan, dan potensi lain yang dibutuhkan oleh warga bangsa menuju kesejahteraan hidupnya.
Dengan bahasa lain, formula kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kompetensi diri ditunjang dengan agresi-kreatif dan kekuasaan (power). Ketiganya, kata Dorothy W. Cantor, Tony Bernay, bersama Jeans Stoess, ditemukan dalam kepemimpinan perempuan Barbara Gallagher, seorang politikus yang berhasil. Kompetensi dibutuhkan sebagai dasar kemampuan untuk memegang tampuk kepemimpinan agar mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya. Agresi berarti ada agresifitas dan keberanian untuk bersaing. Meski terkadang agresi perempuan ini dipersepsi negatif tetapi agresi yang bisa diterima[16] adalah kemampuan untuk bekerja, mempunyai sifat inisiatif; berusaha keras; menyelesaikan pekerjaan sampai tuntas; mempunyai ambisi (positif); mempunyai prinsip hidup; membela diri bila diserang; mempunyai pandangan orisinal dan berani mengemukakannya; mempunyai tujuan hidup dan mampu membuat rencana berdasarkan tujuan tersebut. Ambisi meskipun positif dalam konteks sosial, perempuan yang ambisi tidak disukai oleh masyarakat.
Kreatifitas bagi calon pemimpin dimaksudkan bahwa seorang yang menjadi pemimpin harus memiliki kecerdasan secara komprehensip (intelektual, emosional, dan spiritual/ IESQ) sehingga mampu memecahkan berbagai masalah (problem solving) khususnya yang terkait dengan problem kenegaraan seperti sosial, ekonomi, dan keamanan. Tentang hal ini pemimpin harus belajar tentang epistemologi pemecahan masalah agar kebijakan yang diambil menyentuh dasar dan inti permasahan yang dihadapi.[17] Untuk meningkatkan daya kreatif, pendidikan menjadi media utama termasuk bagi perempuan yang menginginkan jabatan kepemimpinan. [18]
Kekuasaan perempuan adalah kekuasaan yang digunakan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik, gemah ripah loh jinawe tata tentrem kerta raharja, cukup sandang-pangan-papan, tentram, dan bahagia. Seperti cerita Barbara, ia mengawali karier politiknya sebagai relawan pendidikan, menjadi pelobi pendidikan, dan kemudian menjadi pemimpin sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memperbaiki sistem pendidikan.[19] Pendidikan sebagai media yang memproduksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi diyakini sebagai soft power, yang memiliki kekuatan besar dan mampu mengalahkan hard power manapun. Peningkatan SDM lewat pendidikan menjadi alternatif kuat untuk pemberdayaan perempuan dan manusia.[20]
Pelibatan seluruh komponen untuk tujuan dan kepentingan kesejahteraan bersama ini yang menunjukkan ciri kepemimpinan demokratis. Dari, oleh, dan untuk rakyat. Untuk optimalisasi peran ini sifat-sifat pemimpin yang ideal untuk mengemban tugas kemaslahatan rakyat secara global meliputi[21] : a) Personality Traits (sifat-sifat kepribadian) seperti: strong will (kemauan keras), optimism, courage (berani), Fair (adil), having high integraty (memiliki kejujuran yang tinggi), self-assurance (ketenangan diri), individuality (kepribadian), b) Abilities (kemampuan) meliputi : Intelegence (kecerdasan), inisiative, perspective (pandangan), originality (keaslian), understanding (pengertian), knowledgeable in general (memiliki pengetahuan umum), knowledgeable about particular job (banyak mengetahui tentang pekerjaan khusus), c) Social skills (kemahiran sosial) meliputi: communicative ability (kemampuan berkomunikasi),[22] a sense of fair play (perlakuan yang adil), human understanding (manusiawi), supervisory ability (kemampuan mengawasi), being a leader and being a delegator (sebagai pemimpin dan sebagai delegator), dan lain-lain.
Dengan kualifikasi tersebut diharapkan pemimpin mampu meningkatkan kesejahteraan dan membenamkan kemiskinan di masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan semakin meningkat dengan kebijakan yang belum jelas dan belum tentu ujung pangkalnya. Pemimpin harus memahami apa penyebab kemiskinan ini menjadi karut marut untuk memperkuat penyelesaian problem yang ada.[23] Selain problem kemiskinan, problem lain yang seringkali muncul adalah konflik sosial, maka kemahiran dalam memahami anatomi konflik dan melakukan manajemen konflik harus dipersiapkan bagi seorang pemimpin. Mengelola konflik itu penting agar konflik menjadi memiliki makna bagi kemajuan dan kesejahteraan warganya.[24] Sebab, konflik dalam perjalanan kemanusiaan sudah ada sejak nabi Adam yaitu pertikaian antara Kabil dan Habil (Kain dan Abel), saudara kandung sendiri karena memperebutkan gadis cantik. Menghindari konflik mustahil bisa dilakukan, yang harus dilakukan adalah memanaj konflik agar konflik berujung pada kebaikan dan kemaslahatan rakyat, tidak menjadi keburukan sebab dibiarkan atau dikelola secara serampangan atau asal-asalan.
Dalam kosmologi Cina kuno perbedaan bisa disingkronkan dan saling membantu dan bukan menimbulkan konflik, dengan simbol Yin dan Yang. Simbol pertama mewakili bayangan, sisi feminin, dan rembulan sedang yang kedua mewakili cahaya, sisi jantan, dan matahari. Daya Yin bersifat pasif dan Yang bersifat aktif. Yin dan Yang saat ini sering digunakan sebagai representasi keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan. Kedua pihak terkadung dalam satu lingkaran untuk menunjukkan bahwa daya-daya yang bertentangan saling mengandung satu bagian dari yang lain. Keduanya bergantung dan tidak antagonistik. [25] Yin – Yang menjadi simbol kebersamaan meski dalam perbedaan, saling membutuhkan, melengkapi, dan menggantikan dalam upaya menciptakan dunia yang damai dan sejahtera.[26]

IV. PENDELEGASIAN KEWENANGAN
Pemimpin yang demokratis adalah pemimpin yang mampu mendelegasikan sebagian tugasnya pada bawahannya. Hal ini menjadi ciri kepemimpinan gaya demokratis[27] yang lebih menekankan pada kebersamaan. Ciri kepemimpinan gaya demokratis yaitu wewenang pimpinan tidak mutlak dan ia bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan, keputusan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan, komunikasi berlangsung imbal balik, prakarsa bisa dari pimpinan maupun bawahan, pujian dan kritikan seimbang, pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas kemampuan masing-masing, terdapat suasana saling percaya, menghormati, dan menghargai, serta tenggungjawab keberhasilan organisasi dipikul bersama pimpinan dan bawahan.
Kekuasaan di dalam negara demokratis dibagi menjadi tiga, kekuasaan ekskutif sebagai pelaksana pemerintahan, kekuasaan legislatif yang memproduk aturan dan hukum, dan kekuasaan yudikatif yang memegang kekuasaan kehakiman atau pengadilan. Di Indonesia mengikuti azas Trias Politika yang membagi kekuasaan pada tiga lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan tidak menyatu dalam satu kekuasaan tunggal yang absolut sebagaimana dalam negara monarchi absolut. Negara demokrasi yang pada masa Orde Lama disebut demokrasi terpimpin, pada masa Orde Baru disebut demokrasi Pancasila, dan setelah reformasi menuju demokrasi yang sesungguhnya.
Pembagian tugas dari tiga lembaga yang ada dalam pemerintahan juga semakin spesifik. Sebagai contoh, pembagian tugas di wilayah peradilan selain dilaksanakan oleh penegak hukum yang selama ini telah dikenal seperti kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan advokat atau pengacara, pasca reformasi ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diberi kewenangan menggelendeng para koruptor di negeri ini [28] serta lembaga atau tim lain yang dibutuhkan dengan tugas yang berbeda.
Dengan pendelegasian tugas yang semakin spesifik berarti pertanggungjawaban pemimpin kepada publik juga semakin mudah dan ringan. Setiap lembaga jika berfungsi normal sesuai tupoksinya dapat dipastikan proses pelaksanaan tugas kolektif pemerintahan akan berjalan lancar. Apalagi dengan adanya kecenderungan pembentukan panitia Adhoc dan Tim akan mempermudah tugas yang variatif dan berat tersebut. Tugas, kewajiban, dan tanggungjawab tersebut akan semakin ringan lagi jika dilihat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

V. FUNGSI ICT DALAM POLITIK PEREMPUAN
Sebagaimana telah disebutkan, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, Information and Communication Tecnology (ICT) mampu mendekatkan belahan dunia yang berjauhan dengan cepat dan mudah. ICT membuat berita yang terjadi di benua Amerika bisa disaksikan di Indonesia dalam waktu yang bersamaan. Setiap hari bisa disaksikan Break News di stasion TV yang menampilkan berbagai berita di belahan bumi pada saat itu juga. Siaran langsung sepak bola dunia menjadi bukti paling mudah ditangkap oleh pemirsa TV sampai di pelosok desa. Komunikasi yang menampilkan suara dan gambar sekaligus juga bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Yang menjadi kebiasaan harian masyarakat Indonesia adalah sms lewat HP antar kawan dan chating lewat internet.
Kemajuan ini secara politis bisa didesain oleh pemiliki sumber informasi dan yang menguasai ICT untuk mempengaruhi, menggerakkan, memotivasi, dan memprovokasi orang lain untuk kepentingan politiknya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa kepemimpinan berfungsi untuk melakukan penggalangan massa dengan pembentukan opini dan lainnya untuk mempengaruhi, mendorong, dan mengerakkan orang lain agar berkenan melakukan sesuatu sesuai dengan target yang diharapkan oleh pimpinan.
Teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah menjadi dewa dan nabi yang mampu mengubah dunia seperti bermain sulap yang bisa mengubah sesuatu dalam hitungan detik. Massa atau publik dapat dibentuk atau dipengaruhi sesuai dengan keinginan pemilik modal dan penguasa. Penerapan teknologi tersebut telah menciptakan manusia mesin (l’homme machine) dalam masyarakat modern. Melalui perjalanan yang panjang ICT membentuk prilaku manusia mesin yang hidupnya hanya didasarkan pada stimulus (S) dan response (R) sebagaimana yang digambarkan dalam psikologi Behaviorism. Pribadi yang asalnya bebas, utuh, dan rasional bisa tenggelam dalam satuan yang disebut masyarakat massa. Massa menjadi satu-satunya entitas yang harus diperhitungkan. Manusia mesin serta manusia dan masyarakat massa itu menghasilkan budaya massa. Budaya massa itu adalah produk dari mayoritas yang ”tak berbudaya”, berbeda dengan budaya adiluhung yang dihasilkan oleh elit.[29] Elit dalam masyarakat seperti cendekiawan, budayawan, dan ulama akan menciptakan budaya adiluhung tersebut meski akan terpinggirkan oleh budaya massa. Budaya massa ini dieksperesikan dalam bentuk kesenian, buku-buku, elektronika, barang konsumsi, dan alat kebijakasanaan populer seperti bahasa gaul. Budaya massa telah menjadi komoditas, suatu commodity fethism, yang lebih menekankan selera kebutuhan konsumen. Budaya hidonisme, pemuja kenikmatan akan semakin memanfaatkan ICT ini sesuai dengan selera mereka.
Kecenderungan penganut hidonis lewat budaya massa yang mempola dengan sangat jenius terhadap prilaku manusia. Terkait dengan komunikasi antara laki-laki dan perempuan yang telah memanfaatkan kemajuan teknologi ini, pendidikan seks diperlukan diberikan sejak dini karena terkait dengan libido seksual manusia itu sendiri yang dieksploitasi dengan transparan dan bebas. Meski tendensi anak-anak untuk bermain-main terhadap alat kelaminnya tidak manifestasi seksual yang terlalu dini tetapi sebagai ”kesenangan fisik mendasar” yang sangat mengatur kehidupan kanak-kanak seperti lewat isapan, buang air, stimulasi kulit, masturbasi, dan kesenangan untuk telanjang[30] ini jangan sampai “salah urus” dan berkembang negatif untuk itu harus dikawal dan dibimbing oleh orang tua secara bijak agar tidak termakan oleh kemajuan ICT lewat TV atau bacaan porno yang merusak anak-anak dan generasi muda.
Perhatian untuk menjaga agar kemajuan teknologi ini ramah sosial dan spiritual harus ditingkatkan karena setiap individu semenjak membuka mata di pagi hari sampai memejamkan mata kembali di malam hari tidak bisa lepas dari komunikasi.[31] Lewat komunikasi setiap orang akan terpola. Upaya memperkuat posisi membutuhkan komunikasi ini.
Kekuatan politik bisa memanfaatkan media cetak dan elektronik untuk mengangkat reputasi seseorang dan juga bisa menjatuhkan orang yang lain untuk kepentingan kekuasaan. Perselingkuhan Bill Clinton, Vidio mesum anggota DPR RI, dan poligami da’i kondang dimuat di media secara sepektakuler menunjukkan bagaimana media yang memanfaat kecanggihan teknologi mampu berbuat dan berpengaruh lebih banyak dari yang disangka publik.
Yang menarik adalah kecanggihan ICT dirasa lebih sedap jika memerankan perempuan dan kasus di seputar perempuan sebagai bumbunya. Batang rokok yang diselipkan di bibir merah seorang perempuan dilayar kaca akan lebih menarik pemirsa iklan rokok tersebut. Perempuan, kekuasaan, dan ekonomi yang terkait erat memperkuat asumsi bahwa perempuan (wanita) adalah penggoda laki-laki di samping kekuasaan (tahta, jabatan), dan harta (kakayaan ekonomi). Mengemas perempuan di multimedia untuk kepentingan politik dirasa cukup efektif.
Perempuan yang secara sosial dimasukkan dalam katagorikan penggoda dan komoditi, mempersulit proses negosiasi jabatan politik yang telah diganjal lebih dulu oleh dasar teologis tentang keharaman pemimpin perempuan oleh sebagaian tokoh agama. Apalagi jika konstruksi dan lebelisasi diskriminasi terhadap perempuan ini dikemas lewat media cetak dan elektronik maka kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan politik semakin berat untuk direalisasikan atau dibuktikan.
Pemimpin politik harus menguasai teknologi informasi dan komunikasi sebagai pelengkap terhadap kekuatan kompetensi, agresi-kreatif, dan kekuasaan yang telah dimiliki. Dengan kekuatan teknologi beserta kekuatan sifat-sifat potensi diri yang positif, kemampuan diri, dan keahlian sosial, sebagaimana yang telah disebutkan, perempuan akan mampu bersaing ketat dengan laki-laki karena berkualitas. Suatu hal harus diingat menurut Arnold Pacey,[32] bahwa kehadiran teknologi agar bisa efektif implementasinya di masyarakat harus didukung oleh tiga elemen yaitu aspek teknis, organisasi, dan budaya. Secara teknis harus terpenuhi kelengkapan perangkat teknologi yang digunakan. Secara organisatoris harus ada policy yang mengatur pemanfaatan teknologi pada masyarakat, sementara budaya adalah tradisi yang dimiliki oleh masyarakat dalam pemanfaatan ICT.
Terkait dengan budaya ini, masyarakat Indonesia akan semakin mendekat pada budaya ITC ini dan akan memanfaatkannya secara efektif. Pemimpin politik bisa memanfaatkannya untuk mendapatkan tempat di hati masyarakat. Hal ini dapat diketahui lewat kedudukan media massa yang semakin dominan dalam pembentukan opini publik (public opinion) dan terakumulasinya kepemilikan media massa yang sudah tentu memanfaatkan teknologi, oleh beberapa kelompok pengusaha dan penguasa.[33] Pemilik modal media massa tersebut dapat dipastikan memiliki agenda yang terkait oleh bisnis, politik, atau ideologi. Pertarungan media massa ini akan semakin kuat pada era yang akan datang karena ada pandangan umum yang berkembang di kalangan para kandidat (jabatan politik) bahwa “penguasaan” terhadap media massa (cetak dan elektroni) merupakan salah satu jaminan akan lancar menuju kekuasaan. Untuk kekuasaan mereka akan melakukan eksploitasi total atas sumber-sumber dan akses pembentukan opini publik.
Tradisi baru yang menggunakan kekuatan ICT akan menggantikan tradisi lama, dan budaya patrialkal akan diganti oleh budaya baru yang egaliter dan demokratis. Kekuasaan akan mudah diraih oleh siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin yang memiliki kualitas memadai dan daya saing tinggi. Jika sedah demikian dalam konteks hukum Islam kemungkinan adanya ijtihad baru tentang kepemimpinan perempuan yang sah tak tergugat menjadi niscaya. Ijitihad baru dengan prinsip evolusioner seperti yang digagas oleh Mahmoud Muhammad Toha akan mudah dipahami. Sebagai contoh jaman dahulu perempuan bisa diwarisi, kemudian pada jaman Nabi perempuan bisa mendapatkan warisan satu banding dua, saat ini perempuan telah diperlakukan sama oleh orang tuanya dan mendapatkan harta waris yang sama dengan saudaranya yang laki-laki, ia juga memperoleh kesempatan yang sama pada wilayah publik seperti dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.[34]
Teknologi membuat segala impian menjadi kenyataan. Siapa pun tidak bisa membatasi gerak langkah kreatif seseorang. Pembatasan kreatifitas hanya akan membebani diri dan memasung kemanusiaan. Biarkan dunia berbicara dengan bahasa dan caranya selama untuk kemasalahatan bersama. Teknologi merupakan karunia Tuhan yang membebaskan selama dalam kerangka positif ia dikembangkan dan dimanfaatkan oleh siapa pun, di mana, dan kapan pun juga.

VI. PENUTUP
Kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi mampu mempermudah tugas dan kewajiban pemimpin. Lewat ICT ini pemimpin bisa melakukan komando, pembagian tugas, memotivasi, menggerakkan, dan memberi hukuman dalam waktu yang cepat dan mudah. Dalam melaksanakan tugasnya, pemimpin mampu melakukan secara massal apa yang ia harapkan agar mendapatkan respon dari rakyat atau bawahannya. Dengan ICT dapat diciptakan media massa yang mampu mempengaruhi dan mengubah pandangan masyarakat yang dipimpinnya.
Bantuan ITC membuat segalanya jadi mudah, cepat, dan berkualitas. Di negara monarchi absolut yang kekuasaannya terpusat saja dimungkinkan akan mudah melaksanakan tugas kepemimpinan apalagi dalam negara demokrasi yang ada pembagian tugas dan kewenangannya sampai pada wilayah yang sangat spesifik. Pembagian tugas ini berimplikasi pada pembagian wewenang dan pertanggungjawaban. Akurasi data dan peristiwa yang terkait dengan pelaksanaan tugas, meski telah terbagai-bagi tetap mudah untuk dikumpulkan dan direplay dengan bantuan ICT, dan dapat ditampilkan ulang sehingga akurasi data benar-benar mudah dicapai dan disaksikan bersama.
Pelaksanaan tugas yang serba mudah, akan berimplikasi pula pada perubahan hasil ijtihad tentang persyaratan pemimpin yang harus laki-laki karena pertimbangan kekuatan fisiknya dan pengetahuan yang lebih luas karena diperkenankan belajar ke luar rumah sementara anak perempuan dipingit dan diyakini memiliki kelemahan fisik sehingga ia tidak mampu menjadi pemimpin perang. Syarat ini menjadi gugur karena illat yang mendasari telah berubah.
Dengan kecanggihan teknologi semuanya dapat dilakukan oleh siapa saja yang menguasainya baik dalam menjalankan tugas kepemimpinan untuk kesejahteraan rakyat maupun di saat ada peperangan yang bisa dilakukan hanya dengan menekan tombol alat kontrol persenjataan yang semuanya serba digital dan akan berjalan sesuai programnya. Komputerisasi dan digitalisasi sebagai hasil dari kemajuan teknologi ini menempatkan perempuan semakin sejajar dengan laki-laki selama kemampuan dalam bidang keilmuan dan teknologinya juga setara. Kendala fisik tidak lagi bisa dipersoalkan oleh siapun yang mengerti tentang teknologi. Tinggal bersaing pada kualitas, siapa di antara laki-laki dan perempuan yang akan sukses dan akan memimpin dunia. Fastabiqul khairat ! Wallahu a’lam bisshawab.
DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Syafrudin Syahri, Teknologi Informasi sebagai Agen Pengubah Paradigma di Sektor Pemerintahan dalam http://plasmedia.com/articles/asp.

Alfonso Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, (Jakarta: Gramedia, 1989.

Ariel Haryanto, dkk., Bahasa dan Kekuasaan: Poltik Wacana di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan, 1996.

Dorothy W. Cantor, Tony Bernay, dan Jeans Stoess, Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS, 2004.

Hoda Lacey, How to Resolve Conflict in the Workplace: Mengelola Konflik di Tempat Kerja, terj. Bern. Hidayat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.

http://maswig.blogspot.com/ dengan judul Pemanfaatan Tenologi Informasi dalam Mendukung Aktivitas Parta Politik.

http://xananang.multiply.com/journal/item/1/ dengan judul Kepentingan Berita: Sebuah Telaah.

Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan dalam http://islamlib.com/id.

Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosdakarya, 1994.

Kenneth Wolker, The Handbook of Sex: Kitab Seksualitas yang Menjadikan Manusia Lebih Manusiawi. terj. Ahmad Faidi dan Abdul Hamid. Jogjakarta: Diva Press, 2005.

Kompas, Selasa 19 Pebruari 2008.

_______, Rabu 5 Maret 2008.

_______, Sabtu 8 Maret 2008.

Kuntowijoyo, Maklumat Satra Profetik. Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006.

an-Naim, Abdullah Ahmad. Dekosntruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.

Mahbu ul Haq, Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga. Terj. Masri Maris. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983.

al-Mawardi, Imam. al-Ahkam al-Sulthaniyah. Bairut: Dar al-Fikr, tt.

Michel Foucoult, Power/Knowledge: Wacana Kuasa/ Pengetahuan, terj. Yudi Santoso. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002.

Moh. Roqib, Laporan Tim Siyasah atau Politik Warga NU. Banyumas: PCNU, 2007.

__________, Pendidikan Perempuan. Yogyakarta: STAIN Press & Gama Media, 2003.

Muhadi Zainuddin dan Abdul Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam (Telaah Normatif & Historis) dengan Kata Pengantar Mahfud MD. Yogyakarta: Al-Muhsin Press, 2002.

Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, terj. Toni B. Febriantono. Surabaya: Pustaka Promethea, 2003.

Siti Musdah Mulia, Nabi Sulaiman pun Iri pada Ratu Bilqis, dalam http://islamlib.com/id.

Sutarto, Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

al-Suyuthi, Jalal al-Din Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’. Surabaya: al-Hidayah, 1965.

* Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.
[1] Penjelasan lebih luas dalam http://maswig.blogspot.com/ dengan judul Pemanfaatan Tenologi Informasi dalam Mendukung Aktivitas Parta Politik, hlm. 1.
[2] Survey yang dilakukan oleh George Washington University, menunjukkan bahwa elektronic mail (e-mail) telah menjadi sarana komunikasi politik yang cukup ampuh dan populer di Amerika selama putaran pemilu 2002 untuk memilih senator. Selanjutnya baca ibid, hlm. 2.
[3] Kejayaan yang diraih oleh Ratu Bilkis membuat nabi Sulaiman cemburu dan melakukan negosiasi untuk mempersatukan kedua kerajaan. Sulaiman berhasil dan al-Qur’an mengabadikan Ratu Bilkis sebagai contoh pemimpin peremuan yang mampu membuat kerajaannya makmur dan maju. Informasi tentang perbincangan perempuan menjadi pemimpin ini bisa dilacak dalam Siti Musdah Mulia, Nabi Sulaiman pun Iri pada Ratu Bilqis, http://islamlib.com/id.
[4] Uraian amat mendalam tentang liku-liku dilemtis tersebut dalam fakta dan mitologi kemanusiaan bisa ditemukan dalam Simone de Beauvoir, Second Sex: Fakta dan Mitos, terj. Toni B. Febriantono, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2003). Perjalan sejarah yang panjang dan berliku-liku dari sejarah awal kemanusiaan sampai jaman pasca revolusi Perancis dan modern.
[5] Ada 10 materi baru yang dihimpun Kompas, Rabu 5 Maret 2008 hlm. 4 yaitu jumlah dan alokasi kursi DPR, pemilih, pemungutan suara, cara memberikan suara, keterwakilan perempuan, ambang batas, perhitungan dan rekapitulasi suara, penentuan calon terpilih, partisipasi masyarakat, terakhir pelanggaran dan perselisihan hasil.
[6] Argumen tersebut sudah banyak diperbincangkan dalam perspektif agama seperti kajian Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999) dan referensi lain. Dalam tulisan ini penulis tidak membahas dalam perspektif ini.
[7] Tim Siyasah atau Politik Warga NU kabupaten Banyumas ini dibentuk pada 14 Nopember 2006, penulis sebagai Ketua Tim. Tim ini dibentuk untuk menjaring aspirasi warga NU, membuat kriteria ideal, dan membuat laporan ke PCNU Banyumas. Tim Siyasah bukan tim pemenangan salah satu pasangan calon tertentu. Tim berakhir pada 19 Nopember 2007 setelah melaksanakan ketiga tugas di atas dan sudah ada kejelasan empat pasangan calon yang kesemuanya background nya adalah nahdliyyin. Selanjutnya, baca Laporan Tim Siyasah Warga NU Banyumas tahun 2007.
[8] Pada pemilu tahun 1999 sebagian besar ulama NU dan tokoh PKB mendukung pencalonan presidan perempuan. Mereka tidak mempermasalahkan gender untuk jabatan presiden. Sebalik dengan berbagai alasan, kelompok modernis tidak menyetujui pencalonan presiden perempuan. Para tokoh dari beberapa partai Islam dengan alasan Syari’at berusaha menjegal kemunculan presiden perempuan di Indonesia. Penolakan terhadap media dikemas sedemikian rupa oleh media sebagai orang yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik untuk itu poros tengah mengusung Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Saat kepemimpinan Gus Dur tidak mampu mendukung kepentingan “Poros Tengah”, kelompok ini pula yang menjatuhkan Gus Dur dari kursi kepresidenan dan lupa terhadap fatwa “haram” presiden perempuan yang dulu pernah dikemukakan. Data media terkait dengan hal ini dapat dibaca Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2004).
[9] Pada pertemuan 50 kyai Banyumas pada tanggal 2 September 2007 reaksi penolakan tersebut muncul meski kemudian dapat menerima karena hal tersebut sudah ada keputusannya dalam Munas Alim Ulama.
[10] Hasil perhitungan suara berdasarkan sumebr KPU Banyumas, pasangan Marjoko – Ahmad Husein yang diusung oleh PKB mendapat 321.106 suara (36.34%), pasangan Singgih Wiranto-Laily Sofiyah Mansyur yang diusung oleh Partai Golkar dan PAN mendapat 210.719 suara (23,85%), pasangan Bambang Priyono – Tossy Aryanto yang diusung oleh PPP, Partai Demokrat, dan PKS, mendapat 255.185 suara (28,85%), sedang pasangan Aris Wahyudi- Asroru Maula yang diusung oleh PDIP mendapat 96.493 suara (10.92%). Jumlah suara sah 883.503. Jumlah suara tidak sah 25.559. Total suara 909.62. Pemenang pemilu adalah pasangan Marjoko-Ahmad Husein dari PKB. Kompas, Selasa 19 Pebruari 2008.
[11] Ada 40 definisi tentang kepemimpinan yang dikutip oleh Sutarto dalam Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), hlm. 12-23. dalam konteks Islam ada definisi dan pembahasan lain tentang kepmimpinan seperti dalam Muhadi Zainuddin dan Abdul Mustaqim, Studi Kepemimpinan Islam (Telaah Normatif & Historis) dengan Kata Pengantar Mahfud MD, (Yogyakarta: Al-Muhsin Press, 2002).
[12] Sebagaimana kaidah ushul fiqh, Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manutun bi al-maslahah, tugas pemimpin terhadap rakyatnya adalah menciptakan kesejahteraan dan kedamaian (maslahah) hidup mereka. Penjelasan lebih jauh dalam Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, (Surabaya: al-Hidayah, 1965), hlm. 83-84
[13] Pengalaman kepemimpinan diraih secara gradual dari tingkat bawah ke atas. Jika seseorang dinominasikan jadi presiden maka ia harus memiliki pengalaman kepemimpinan nasional dengan mobilitas internasional. Tidak ideal jika pemimpin nasional “datang tiba-tiba” tanpa melalui jalur kaderisasi yang alami yaitu melalui tahapan-tahapan edikatif dan yang rasional.
[14] Pendapat ulama tentang syarat laki-laki ini bisa dilacak dalam Imam al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah (Bairut: Dar al-Fikr, tt) saat mebicarakan tentang syarat-syarat pemimpin.
[15] Pada awal abad 20, sejumlah negara Islam telah menggeliat menggugat otoritas patriarkhis ini. Peminggiran perempuan di ruang publik dan politik disadari telah merugikan semua orang. Perubahan status hukum perempuan ini dimulai dari Kesultanan Turki Usmaniyah (1917) diikuti oleh negara Islam lain seperti Syuriah (1953 dan 1975) dan Indonesia. Lebih lengkap baca Husein Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan dalam http://islamlib.com/id.
[16] Dikutip dari pendapat Karen Horney oleh Dorothy W. Cantor, Tony Bernay, bersama Jeans Stoess dalam Women in Power: Kiprah Wanita dalam Dunia Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 34.
[17] Sebagai pegangan awal bisa dipelajari misalnya Alfonso Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper, (Jakarta: Gramedia, 1989).
[18] Tentang sisi penting pendidikan bagai perempuan secara umum baca buku penulis Pendidikan Perempuan, (Yogyakarta: STAIN Press & Gama Media, 2003).
[19] Dorothy W. Cantor, Tony Bernay, dan Jeans Stoess dalam Women in Power, hlm. 36.
[20] Terkait dengan ini di antaranya baca Michel Foucoult, Power/Knowledge: Wacana Kuasa/ Pengetahuan, terj. Yudi Santoso, (Jogjakarta: Bentang Budaya, 2002).
[21] Ada lima belas buku yang mengemukakan sifat-sifat kepemimpinan ini, lebih lengkap baca, Sutarto, Dasar-dasar, hlm. 38-51.
[22] Sebagai gambaran tentang sisi strategis komunikasi dengan menggunakan bahasa yang efektif-politis dan relasinya dengan kekuasaan baca Ariel Haryanto, dkk., Bahasa dan Kekuasaan: Poltik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996).
[23] Kasus kemiskinan di negara-negara berkembang atau dunia ketiga masih sangat rumit dan perlu penganan serius karena ada dosa-dosa perencanaan pembangunan. Untuk hal ini uraian Mahbu ul Haq dalam Tirai Kemiskinan: Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga, Terj. Masri Maris, (Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1983).
[24] Mempelajari buku-buku tentang manajemen konflik dan berorganisasi merupakan langkah menuju pemimpin profesional. Tentang mengelola konflik ini baca di antaranya Hoda Lacey, How to Resolve Conflict in the Workplace: Mengelola Konflik di Tempat Kerja, terj. Bern. Hidayat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
[25] Saling membutuhkan tersebut berarti antara keduanya bisa saling melengkapi dan pada wilayah publik seperti kepemimpinan atau politik, bisa saling menggantikan sesuai dengan kompetensi dan kesempatannya masing-masing. Tentang simbol Yin dan Yang tergambar dalam Hoda Lacey, How to Resolve Conflict, hlm. 19.
[26] Dengan pertimbangan pada pemaknaan filosofis tersebut symbol tersebut, Penulis sebagai sebagai pembantu Ketua bidang akademik dan mantan Ketua USG senang dan setuju terhadap nama Jurnal Yin Yang yang diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Purwokerto.
[27] Hoda Lacey, How to Resolve Conflict, hlm. 75-77. Kepemimpinan demokratis ini berbeda dengan kepemimpinan otoriter yang memiliki wewenang, keputusan, kebijakan, ptrakarsa, dan tanggungjawab terpusat pada dan dipikul pimpinan. Berbeda lagi dengan kepemimpinan liberal yang menyerahkan berbagai kegiatan kepada bawahan. Wewenang, keputusan, kebijaksanaan, dan prakarsa diserahkan pada bawahan. Pimpinan berkomunikasi hanya jika diperlukan oleh bawahan. Tanggungjawab organisasi dipikul oleh orang perorang.
[28] Kasus korupsi di Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) misalnya, yang melibatkan orang-orang kelas berat dengan tersangka antara lain Arthalita Suryani yang memberi suap 660.000 dollar Amerika Serikat kepada Jaksa Urip Tri Gunawan bisa ditangkap tangan oleh KPK. Kompas, Sabtu 8 Maret 2008, hlm. 1. Pembagian tugas yang semakin spesifik berarti tugas pemimpin semakin ringan dengan catatan dilaksanakan dengan baik dan kompak.
[29] Kuntowijoyo, Maklumat Satra Profetik, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006), hlm. 9-12.
[30] Kenneth Wolker, The Handbook of Sex: Kitab Seksualitas yang Menjadikan Manusia Lebih Manusiawi, terj. Ahmad Faidi dan Abdul Hamid, ( Jogjakarta: Diva Press, 2005), hlm. 150-151.
[31] Tentang nilai strategis komunikasi dalam kehidupan, baca Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 1994).
[32] Ahmad Syafrudin Syahri, Teknologi Informasi sebagai Agen Pengubah Paradigma di Sektor Pemerintahan dalam http://plasmedia.com/articles/asp. hlm. 1.
[33] Tentang kecenderungan ini baca, Kepentingan Berita: Sebuah Telaah dalam http://xananang.multiply.com/journal/item/1/, hlm. 1.
[34] Prinsip Evolusioner ini jika diterapkan akan berpengaruh pada, diskriminasi perempuan seperti penghapusan terhadap poligami, perkawinan, dan penghapusan terhadap diskriminasi non-muslim dalam perkawinan dalam arti seorang Muslim atau Muslimah diperbolehkan menikah dengan non Muslim karena kekhawatiran sosio-teologis yang ada pada masa lalu saat ini sudah tridak ada dan tidak aktual lagi. Tentang pemikirannya ini baca Abdullah Ahmad An-Naim, Dekosntruksi Syari’ah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994. hlm. 335-346.

Tidak ada komentar: