Minggu, 09 Maret 2008

Pendidikan Inklusif (Jurnal Insania)

PENDIDIKAN INKLUSIF :
PLURALISME DALAM ISLAM
Oleh Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag. ٭٭

Abstrak

Dalam hubungan sosial dibutuhkan paham pluralisme di mana masing-masing etnisitas dalam masyarakat tetap memegang identitas kelompoknya, tetapi dalam beberapa hal ada identitas yang sama dan dikembangkan bersama-sama. Hal ini berbeda dengan etnosentrisme yang masing-masing masyarakat bersikukuh dengan identitas budayanya dan menolak campurtangan kebudayaan lain, juga berbeda dengan melting pot yang merupakan peleburan komponen-komponen etnis ke dalam hanya satu identitas baru.
Paham kemajemukan (pluralisme) merupakan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.
Pendidikan inklusif ini dimulai dari keluarga kemudian dikembangkan dalam komunitas lain yang lebih besar. Strategi untuk melakukan pendidikan inklusif di masyarakat adalah dengan berpegang pada prinsip 1) kalimat al-sawa’ (common platform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai interest masyarakat yang plural, 2) kebebasan berijtihad bagi intelektual Muslim yang telah mampu melakukannya, 3) pemahaman terhadap teks-teks (bahasa) agama yang sehat sehingga mampu melahirkan sikap dan pandangan yang integrativ, egaliter, inklusif, relatif, dan plural 4) melakukan penguatan metodologis tentang Islamic studies serta 5) mengembangkan musyawarah (dialog) yang merupakan sikap terbuka untuk mengakui dan menerima kelebihan atau kekurangan orang lain.


Kata Kunci: Pendidikan, Inklusif, Pluralisme, Islam.





I. PENDAHULUAN

Pendidikan (termasuk pendidikan Islam) adalah sebagaian institusi yang tergugat tatkala kerusuhan antara agama dan etnis muncul di beberapa tempat di Indonesia. Dengan tragedi tersebut pendidikan disinyalir kurang memberikan bekal yang cukup terhadap peserta didik tentang bagaimana mereka mengembangkan sikap toleran sejati sehingga mampu menerima keperbedaan dan keragaman yang akan dan atau telah ada di masyarakat. Kegelisahan ini dikaitkan dengan institusi kependidikan disebabkan karena lembaga pendidikan selama ini diyakini sebagai pencetak manusia yang berilmu, berbudipekerti luhur, dan profesional sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga pendidikannya.
Atas kegelisahan tersebut, Yayasan Swarahati Banyumas pada tanggal 18 Mei 2003 lalu menyelenggarakan Pelatihan Fasilitator tentang Pendidikan Inklusif yang di antara temanya adalah “Landasan Teologis Pluralisme dalam perspektif Islam Katolik, Kristen, Hindu, dan Konghucu” (dan kebetulan penulis diminta untuk menyampaikan untuk perspektif yang pertama).
Karena pemahaman tersebut amat luas, tulisan ini akan membahas serba singkat tentang pluralisme, realisasi dalam kesejarahan dan sikap, dan terakhir tentang konsep ajaran Islam terkait hal tersebut. Tulisan ini ditutup dengan pendekatan dalam pembelajaran tema-tema pluralisme tersebut.

II. SEKILAS TENTANG PLURALISME
Dalam Islam plural sama dengan jam’ atau majmu’ yang berarti lebih dari satu atau perkumpulan yang terdiri dari beberapa hal / sesuatu. Dalam bahasa Arab ada kata jama’ah yang menunjukkan arti kebersamaan atau untuk shalat (jamaah) berarti salat tersebut dilakukan secara bersama bersama antara imam (yang memimpin shalat) dan ma’mum yang mengikuti imam dalam shalat. Dalam konteks sosial ada kata Ijtima’iyah yang berarti sosial-kemasyarakatan.
Perkembangan Fiqh akhir-akhir ini juga bersentuhan dengan kehidupan sosial yang kemudian dikenal dengan sebutan fiqh ijtima’i atau fiqh sosial. Kajian fiqh dalam perspektif baru ini ini mendapatkan perhatian serius dari kalangan intelektual Muslim di antaranya oleh KH. Ali Yafie[1] dan KH. Sahal Mahfudz[2] dan juga oleh santri Ma’had Ali yang telah menerbitkan Fiqh Rakyat[3] yang di awal bab mengkaji tentang “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Pengembangan pemikiran fiqh sosial di atas mulai terbangun kuat dan berkembang pesat di pesantren-pesantren NU pada umumnya, sedangkan dalam konteks sosial yang lain seperti tauhid sosial lebih gencar digelindingkan oleh komunitas Muhammadiyah yang memang sejak awal tauhid sebagai pijakan dakwah perserikatan ini.
Sesuatu yang menarik dicermati dalam konteks ini adalah kecenderungan Kyai atau ulama yang tertarik fiqh dan tauhid sebagai pijakan awal berfikirnya. Kyai atau intelektual Muslim yang lebih mengedepankan aspek fiqh dalam pengembangan berfikirnya dikenal lebih mengembangkan watak akomodatif-kultural dalam dakwahnya sehingga tidak menimbulkan konflik dengan budaya lokal di mana Islam dikembangkan. Berbeda dengan tokoh atau intektual Muslim yang corak berfikirnya lebih teologis (aqidah) dikenal watak berfikir dan gerakan dakwahnya cenderung tegas dan legal-formal atau bahkan radikal tatkala menyapa kultur atau budaya setempat.
Istilah Fiqh sosial dan Tauhid sosial selama ini lebih tertuju pada sisi aplikatif nilai ajaran dalam kehidupan sosial. Pendekatan fiqh lebih dimungkinkan adanya pengembangan kedamaian hubungan antar agama dan sikap pural dibandingkan dalam pendekatan tauhid. Dalam konteks pendidikan inklusif hal demikian perlu didialogkan agar pemikiran yang berkembang dalam Islam tidak menimbulkan ekses negatif bagi umat Islam sendiri dan juga bagi umat lain. Islam yang dikenal sebagai rahmatan lil ‘alamin harus dibuktikan dalam kehidupan riil umat.
Berbicara tentang hubungan budaya dalam masyarakat majemuk ada tiga teori yang menunjukkan corak yang berbeda yaitu etnosentrisme, melting pot (peleburan), dan pluralisme.[4] Etnosentrisme terjadi bila masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, dan menolak campurtangan kebudayaan lain. Melting pot ialah peleburan komponen-komponen etnis ke dalam hanya satu identitas baru. Sementara pluralisme dimaksudkan bahwa masing-masing etnisitas tetap memegang identitas kelompoknya, tetapi dalam beberapa hal ada identitas yang sama.
Pluralisme (atau paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya,[5] bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.[6]
Pluralisme, dengan demikian, membutuhkan pengakuan, penerimaan, dan sikap tulus terhadap kemajemukan yang ada sebagai rahmat Allah SWT untuk membawa manusia ke akulturasi budaya dan peradaban yang tinggi dan dinamis (masyarakat mutamaddin atau civil society).
Pluralisme yang berkembang bisa menuju ke arah positif tetapi juga bisa negatif. Pluralisme menjadi positif apabila individu memahami di luar agamanya ada agama lain yang harus dihormati dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya yang berarti bersikap positif terhadap agamanya sendiri. Tetapi pluralisme akan negatif jika individu mengumpamakan agama seperti baju yang dengan mudah ia menggantinya sesuai dengan kondisi dan selera (kepentingan sesaat). Pluralisme negatif akan menimbulkan masalah baru yaitu ketersinggungan para pemeluk agama karena agamanya dibuat mainan dan kurang berarti.

III. SIKAP PLURAL DAN REALITAS HISTORISNYA
Konflik terjadi hampir di seluruh permukaan bumi termasuk Indonesia. Indonesia yang memiliki Pancasila dengan jargon Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, ternyata belum mampu menunjukkan ketangguhannya untuk meminimalkan sikap-sikap radikal dan ekstrim dari sebagian pemeluk agama.
Pada dasarnya, agama apapun memiliki kecenderungan untuk melakukan truth claim. Hal demikian terjadi karena agama sebagai nilai kepercayaan yang harus dipegang teguh pemeluknya. Sikap truth claim tersebut akan bernilai positif apabila hanya diorientasikan ke dalam (intrinsic orientation) dalam penghayatan dan aplikasinya, bukan untuk ke luar dirinya (extrinsic orientation). Jika demikian maka akan menimbulkan prasangka (negatif) bagi orang lain.[7] Agama intrinsik memenuhi seluruh hidup dengan motivasi dan arti sedang agama ekstrinsik agama diperbudak untuk mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi.
Sikap klaim kebenaran jika mencuat ke luar dirinya maka akan menimbulkan benturan dengan orang lain yang memiliki apresiasi, pengetahuan, pemahaman, dan ekspresi yang berbeda dengan dirinya walaupun orang tersebut sama agamanya. Pemeluk agama mendasarkan kehidupannya pada ayat-ayat suci sementara ayat-ayat yang sakral dan absolut tersebut tatkala masuk dalam diri individu maka akan profan, relatif dan tentative. Karenanya dalam bingkai agama yang sama sekalipun tetap akan menimbulkan pluralitas berfikir dan ekspersesi keagamaan yang sangat ragam. Apalagi dalam keberbedaan agama, suku, bangsa dan budaya.
Menginginkan pemahaman keagamaan yang seragam sama halnya meniadakan agama itu sendiri. Sebab sikap yang menginginkan serba sama akan menimbulkan konflik beruntun karena bertentangan dengan nilai kemanusiaannya sendiri. Dalam sejarah telah terbukti bahwa karena sikap-sikap eksklusif seperti itu mengakibatkan pertentangan dan atau peperangan oleh sesama pemeluk agama atau antar pemeluk agama.
Sikap menerima (toleran) mungkin dirasa oleh sebagian individu kurang nyaman, tetapi karena hal ini prinsip yaitu memegangi kebenaran.[8] Dengan kesadaran plural diharapkan tumbuh sikap toleransi sejati tidak hanya sikap prosedural-formal dan menjaga “nikmatnya” harmoni antar kelompok. Memahami toleransi (tasamuh) harus dimulai dari kesadaran bahwa toleransi merupakan prinsip ajaran dan kewajiban yang mesti dilaksanakan yang pada gilirannya akan bermanfaat untuk menumbuhkan tatacara pergaulan yanga baik, terbuka, dan sehat.
Secara faktual-historis sikap kemajemukan sampai saat ini eksistensinya diakui tetapi realitanya masih tersia-siakan. Konflik yang dilatarbelakangi sikap keberagamaan yang eksklusif dengan mudah dijumpai. Penghancuran beberapa tempat yang diyakini melanggar ajaran agama atau beda dengan agamanya sering dilakukan oleh pemeluk agama.
Sikap memusnahkan orang lain karena keterbedaan terjadi dalam komunitas Muslim tidak lama setelah Islam ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Saw. Menurut W. Cantwell Smith, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, ia mengatakan :
“Bahwa pada abad-abad pertama Islam konsep Syara’i ahkam (ketetapan-ketetapan hukum syara’) lebih bersifat moral daripada legal. Ahkam pada periode awal Islam masing-masing merupakan “tuntutan ilahiyah” yang diwajibkan secara moral dan benar-benar personal, untuk mana orang dapat mempertanggungjawabkannya pada hari perhitungan. Hanya pada perkembangannya belakangan (abad 8/9 H), ia mengalami depersonalisasi sampai ke satu titik di mana ia sejajar dengan ahkam al-Syara’iyyah.[9]

Pada perkembangan selanjutnya terjadi pergulatan antara agama dan politik yang sulit dipisahkan. Perkembangan seperti ini di antaranya karena kepentingan politik sehingga seseorang suka menarik sesuatu yang profan ke wilayah sakral sebagai justifikasi politiknya. Kondisi demikian, dalam berbagai kasus, masih dengan mudah ditemukan sampai saat ini.

IV. MENDIDIK PLURALISME DALAM KEHIDUPAN MUSLIM
Hubungan antar agama perlu dikembangkan solidaritas yang mampu menciptakan kerukunan sampai pada kerjasama. Untuk membangun hubungan tersebut perlu dilakukan inward looking dengan melakukan dialog, seminar, dan sarasehan dalam perspektif agamanya menuju outward looking yaitu dialog antaragama untuk memikirkan bersama kemajuan bangsa ini.
Dalam teks kitab suci, ditemukan ayat yang mendorong seseorang untuk berprilaku inskusif tetapi juga ditemukan ayat yang mudah dimaknai sebagai pendorong untuk bersikap eksklusif. Inward looking ini penting dilakukan agar seorang pemeluk agama memahami betul ajaran agamanya dan pada program pengembangan selanjutnya melakukan outward looking untuk memahami pluralitas ajaran di luar agamanya yang memiliki dasar pijakan kebenaran yang harus dihormati.
Dalam Islam ajaran tentang sikap kemajemukan ini bisa dipahami dan diaplikasikan lewat beberapa pemahaman terhadap dasar ajaran yang harus dipegangi di antaranya :
1. Berpegang pada prinsip kalimat al-sawa’ (common platform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai interest masyarakat yang plural. Kalimat al-sawa’ atau titik persamaan secara kontekstual bukan saja secara teologis umat manusia harus memiliki dan berpegang pada titik persamaan, tetapi juga secara sosial merupakan transaksi sekuler. Pada titik simpul ini aturan main ditetapkan dan setiap individu harus mentaatinya untuk menjamin kebebasan dan interest setiap individu. Kesamaan terhadap kebutuhan untuki mencintai Tuhan (hubb Allah), mencintai makhluk Tuhan (hubb khalq Allah), dan mengakui suara hati Nurani (istifti Qalbak). Untuk ketiga hal di atas semua agama mengajarkannya lalu bagaimana pemeluk agama mengembangkannya sebagai common platform-nya.
2. Ijtihad bagi intelektual Muslim yang telah mampu melakukannya. Ijtihad merupakan pintu terbuka bagi setiap individu Muslim untuk mengapresiasi ajaran agamanya terkait dengan realitas kehidupan riilnya. Kalau ditelusuri secara cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap kemelut kehidupan beragama, karena tidak ada consensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dipahami bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu berdialog dengan bebas. Pernyataan kaum Mu’tazilah bahwa “Qur’an” itu makhluk berikut koreksi (di antaranya) dari al-Asy’ari adalah wujud kebebasan saat itu. Sifat kosmopolitan mulai terputus setelah muncul taqdis al-afkar al-diny.
3. Pemahaman teks-teks (bahasa) agama yang sehat dan mampu melahirkan sikap dan pandangan integrative, egaliter, inklusif, relatif, dan plural dengan melakukan penguatan metodologis tentang Islamic studies semisal pengembangan metode takwil (hermeneutic), redefining self and other seperti rethinking Iman, kufr, dan redefinding Islam.[10] Kekeliruan memahami agama sering terjadi karena pemahaman yang kurang tepat pada teks-teks kitab suci dan aspek metodologisnya, karenanya harus dimatangkan.
4. Musyawarah (wa amruhum syura bainahum / wasyawirhum fi al-amr wa idza ‘azamta fatawakkal ‘ala Allah) merupakan sikap mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan orang lain yang dilakukan secara dialektik untuk menemukan kebenaran. Kebenaran bisa datang dari manapun, termasuk dari orang yang dibenci sekalipun. Untuk itu pemahaman keagamaan harus dibangun secara inklusif dan tidak dengan mengedepankan klaim. Untuk menyebut sebagian, klaim yang tendensius seperti yang dimuat dalam laporan Badan Lintbang Departemen Agama yang mengatakan bahwa masyarakat tradisional (NU) sering di posisikan negatif sebagai ahli bid’ah, bodoh, miskin, kyainya memiliki motiv materialistik dalam mengembangkan tradisi keagamaan dan dakwah serta maasayarakat tradisional ini harus diluruskan berbeda dengan masyarakat modern (Muhammadiyah Cs.) yang terdidik dan bersikap lurus. Generalisasi seperti ini akan memunculkan persepsi negatif dan permusuhan.[11] Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Andree Feillard, Greg Fealy, Mitsuo Nakamura, Greg Barton, Martin Van Bruinessen[12] dan lainnya yang dalam ungkapannya lebih proporsional dan santun dalam mengapresiasi budaya komunitas tradisional (NU) yang dimaknainya sebagai dakwah kultural dan tidak struktural-formal. Klaim kebenaran dari suatu kelompok dengan menafikan kebenaran dari kelompok lain akan menimbulkan kecurigaan dan pertentangan. Dalam kehidupan sosial terjadi keonfergensi atau tepatnya pluralitas dari kaomunitas sosial yang satu dengan yang lainnya sehingga generalisasi mengandung kelemahan dan cenderung truth claim. Oleh karena itu dalam Islam ada konsep musyawarah yang pada aplikasinya musyawarah dapat dikembangkan sampai pada penyelenggaraan program bersama antar komponen masyarakat dan oleh umat Islam bergandengan tangan dengan umat lain untuk kemajuan bangsa dan dunia.
5. Pelaksanaan terhadap lima jaminan dasar (al-muhafadhat al-khams) bagi setiap individu a). hifdh al-din, menjamin keselamatan keyakinan agama masing-masing, b). hifdh al-nafs, jaminan keselamatan jiwa warga masyarakat yang mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan yang adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing, c). hifdh al-‘aql, menjamin setiap bentuk kreasi baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni. Pemikiran keagamaan apapun harus dihargai dan tidak boleh dimatikan. Formalisasi pemikiran keagamaan akan menindas hak individu untuk menganut kebenaran. Islam memberikan ruang bagi setiap individu untuk melakukan eksperimentasi kebenaran melalui pengalaman esoteris dan proses dialektis, d). hifdh al-nasl, menjamin keselamatan keluarga dengan menampilkan sosok moral yang kuat. Berawal dari keluarga keimanan dan toleransi akan tumbuh dan berkembang, e) hifdh al-mal, menjamin keselamatan harta benda (al-milk, property) dan hak kepemilikannya. Dengan hak tersebut warga masyarakat secara peroranmgan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan kreatifitas diri dan kesediaan untuk melakukan transformasi dalam kehidupannya sesuai dengan pola yang ia pilih dan tidak keluar dari alur umum kehidupan masyarakat.[13]
Konsep dasar tersebut secara dini harus ditanamkan pada setiap Muslim lewat pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Terkait dengan pendidikan agama, agama harus diajarkan secara integral-komprehensif dengan memandang kebenaran dari berbagai perspektif walaupun tetap meyakini kebenaran agama Islam yang dianutnya.
Keluarga merupakan pintu pertama dalam pendidikan anak. Toleransi dan bersikap plural cukup efektif untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat jika setiap individu keluarga telah menyadari terhadap arti penting pluralisme. Bukan hanya pluralisme, keluarga dengan berbagai dukungan institusi sekolah maupun pendidikan luar sekolah, akan mampu membangun manusia baru yang berkeadilan dan berperadaban.














DAFTAR PUSTAKA

Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial. Mizan: 1997, 1997.

Andee Fellard, NU Vis-à-vis Negara. Yogyakarta: LKiS, 1999.

A. Sahal Machfudh, Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1998.

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Benteng, 1994.

Azril Yahya dan Wakhid Sugiarto (Perangkum), Agama dalam Dimensi Sosial dan Budaya Lokal. Jakarta: Balai Litbang Depag RI, 1998.

Buddy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligius Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.

Greg Fealy & Greg Barton (ed), Tradisionalism Radikal. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999).

Robert W. Crapps, Dialog Psikologi Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2000.


٭٭ Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

[1] Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial (Mizan: 1997, 1997).
[2] KH. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1998).
[3] Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2000).
[4] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hal. 155.
[5] ……Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas alam semesta. (QS. Al-Baqarah/ 2:251).
[6] Nurcholis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 63.
[7] Pendapat tersebut di antaranya dikemukakan oleh Gordon W. Allport, selanjutnya baca Robert W. Crapps, Dialog Psikologi Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 28-29.
[8] Hai orang-orang yang memiliki keyakinan (beriman), Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi-saksi, karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah tahu benar yang kamu kerjakan (Qs. Al-Maidah /5:8). Bandingkan dengan Qs. Yunus/10:99, Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (sepertimu?).
[9] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Bentang, 1994), hal. 10.
[10] Terkait dengan kajian ini, bisa dibaca antara lain Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996) dan Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligius Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), bandingkan dengan Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LkiS, 2001).
[11] Baca laporan hasil penelitian Azril Yahya dan Wakhid Sugiarto (Perangkum), Agama dalam Dimensi Sosial dan Budaya Lokal (Jakarta: Balai Litbang Depag RI, 1998).
[12] Andree Felliard, NU Vis-à-vis Negara (Yogyakarta: LkiS, 1999) dan Greg Fealy & Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal (Yogyakarta : LkiS, 1997).
[13] Diantara penjelasan tersebut baca, Abdurrahman Wachid dalam Buddy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 546-549.

Tidak ada komentar: