Senin, 03 Maret 2008

Pengembangan STAIN di Indonesia

PENGEMBANGAN STAIN:
ANTARA TANTANGAN DAN PELUANG DI INDONESIA
Oleh. Moh. Roqib *


I. PENDAHULUAN
Pada awal tahun 1990-an, penulis mengikuti Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa Se-Indonesia di Kaliurang Yogyakarta mewakili Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga. Saat dibuka sesi tanya jawab dengan penceramah, Prof Mu’in Umar,[1] penulis mengajukan pertanyaan tentang “Problem pengembangan PTAI atau IAIN yang di antaranya adalah problem kelembagaan yang terkait dengan pengakuan dan pembiayaan. Konon anggaran 14 IAIN se-Indonesia itu sama dengan anggaran satu IKIP Negeri Yogyakarta[2]. Hal ini disinyalir karena perbedaan Departemen sehingga berbeda pula kebijakan dan anggarannya, padahal sama-sama Institut. Bagaimana jika IAIN ini disatukan dalam satu naungan departemen yaitu IAIN berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [3] sama dengan IKIP Negeri agar IAIN mendapatkan perlakukan, pengakuan, dan anggaran yang sama?”. Prof. Muin Umar menjawab “tidak semudah itu memindahkan IAIN dari Departemen Agama ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena IAIN ini memiliki sejarah yang unik dan perjuangan panjang. Jasa para pendiri IAIN dan Departemen Agama tidak mungkin dilupakan”.
Penulis memahami jawaban Prof. Mu’in sebagai orang tua yang pernah mengalami detik-detik menegangkan saat memperjuangkan status IAIN di Departemen Agama dan IAIN sebagai sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang mendapatkan naungan politik dan anggaran dari Negara. Perjuangan berat yang telah dilakukan tidak mudah untuk dihapus begitu saja hanya karena anggaran yang kecil dan pengakuan yang setengah hati. Secara psikis, peralihan IAIN ke depaertemen Pendidikan mengesankan bahwa IAIN telah pindah tangan yang terkesan negative karena ada perasaan kalah dan rendah.
Meski demikian, ada pemikiran lain bahwa penghormatan “sejarah dan jasa pendahulu” tersebut bisa diapresiasi dengan cara yang berbeda meski tidak bertentangan. Pembaharuan untuk pengembangan institusi tetap menapak pada nilai historis dan cita-cita pendahulu tetapi tetap merespon perkembangan jaman dan kemaslahatan yang lebih luas. Cepat atau lambat PTAI harus melakukan “al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-‘akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, mempertahankan kebaikan masa lalu sekaligus mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik dan lebih unggul. Sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Sebelum tahun 1997 di Indonesia hanya ada 14 IAIN dengan beberapa fakultas cabang di beberapa daerah. Pada tahun 1997 fakultas-fakultas cabang dari 14 IAIN yang ada saat itu kemudian dimandirikan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang terkadang disebut sebagai IAIN mini, yang memiliki otonomi penuh.[4] Dengan otonomi ini gerak PTAI yang asalnya fakultas daerah ini menjadi lebih dinamis dan lincah. Perkembangan kualitas dosen, fasilitas, dan jaringan terasa lebih memiliki dinamika yang sehat dan luas. Kreasi banyak bermunculan dan bahkan sebagian di antaranya telah menjadi IAIN dan UIN.[5]
Perkembangan STAIN dan IAIN menjadi UIN menunjukkan ada pengembangan keilmuan keislaman yang selama ini hanya berkutat pada Islamic Sudies (Dirasah Islamiyah) yang terangkum dalam fakultas atau jurusan Tarbiyah, Syari’ah, Ushuluddin, Adab, dan Dakwah. Sementara dalam tradisi keilmuan di dunia Barat berkembang pesat yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga rumpun a) humanities, b) social sciences, dan c) natural sciences, di samping ada area studi yang pendekatannya dilakukan secara interdisipliner dan multi disipliner termasuk di dalamnya women studies. [6] Perkembangan ini direspon oleh UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta dengan melakukan eksperimentasi Interdiciplinary Islamic Studies (IIS) [7] yang idealnya dikembangkan di semua Universitas Islam termasuk STAIN. Tulisan ini akan mendiskusikan lebih dekat tentang Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia: Anatomi keberadaan PTAIN. Pembahasan difokuskan pada potret PTAIN saat ini dan ke depan. Perbincangan mengenai wilayah kebijakan dan tawaran alternatifnya meskipun serba global.

II. POSISI STRATEGIS PTAI
PTAI sebagai bagian dari Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan yang sering dilupakan untuk dikembangkan sejalan dengan perkembangan manusia. Kesadaran bahwa pengembangan pendidikan bernilai amat strategis baru pada batas wacana yang dalam realitasnya tertinggal minimal dikembangkan dengan setengah hati. Pergerakan maju sebuah komunitas tidak mungkin terlepas dari kegiatan pendidikan meskipun kesadaran yang hampir memiliki kekuatan sosiologis dan politis ini tak terbantahkan dalam pemikiran tetapi tetap saja tertinggal dalam kenyataan. Keprihatinan akan semakin meningkat saat melihat system dan strategi yang dikembangkan dalam memanaj pendidikan kita, system yang pendidikan ala bank yang hanya menyediakan tenaga terampil minus hati dan keadilan dan strategi pembangunan yang mengejar keilmuan yang bersifat kognitif belaka.
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia berarti berbicara tentang sejarah tentang awal Islam masuk ke nusantara. Dalam perkembangannya pendidikan Islam dirasakan oleh beberapa pihak termarjinalkan oleh kebijakan umum sistem pendidikan nasional, meskipun akhir-akhir ini telah ada upaya yang cukup signifikan untuk menempatkan pendidikan Islam sebagai pendidikan alternatif yang menjadi rujukan dan model bagi pendidikan lain di nusantara.
Pasca kemerdekaan, para akademisi dan ulama membuka lembaran pendidikan dengan model madrasah dan pada level berikutnya adalah perguruan tinggi Islam (STI) yang berdiri di Yogyakarta dan pada tahun 1950 dengan PP Nomor 34 tahun 1950 menjadi PTAIN[8] yang berkembang menjadi IAIN dan kemudian UIN. Di tempat lain pada tahun 1950-an dan 1960-an turut berdiri beberapa PTAI untuk memenuhi tenaga terampil profesional juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan Islam dan teknologi. Perkembangan ini akan terus berlanjut untuk mengejar ketertinggalan dan untuk menunjukkan makna Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Pengembangan ilmu tidak bisa dipisahkan dengan Perguruan Tinggi (PT) karena tradisi keilmuan di PT telah menjadi program utamanya yang disebut dengan Tridarma perguruan tinggi yang sekaligus menjadi fungsinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Anthony Chambers dalam Special Role of Higher Education in Society (2005)[9] bahwa fungsi dan manfaat pokok perguruan tinggi adalah 1) fungsi pendidikan pengajaran, terkait pelatihan tenaga terampil dan berkualitas tinggi; 2) fungsi riset, terkait pengembangan ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah (scientific innovation); 3) fungsi pengabdian, terkait layanan jasa bagi masyarakat; 4) fungsi penyiapan individu sebagai warga Negara yang baik guna membangun masyarakat yang beradab dan demokratis; dan 5) fungsi kontrol sosial, kritik publik, dan penjaga moral agar prilaku masyarakat tetap merujuk nilai-nilai etika social yang berlaku umum.
Pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan dosen dan mahasiswa didasarkan pada hasil penelitian demikian juga pengabdian pada masyarakat juga didasarkan pada hasil penelitian. Perkembangan PTAI akan menunjukkan perkembangan ilmu dan perkembangan ilmu akan membuat PT tersebut menjadi berkembang pula. Perkembangan keduanya akan berimplikasi pada perkembangan masyarakat yang memiliki tradisi keilmuan dan akademik yang baik.

III. POTRET PTAIN
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, perjalanan panjang PTAIN yang bermula dari niatan luhur untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi agar kebutuhan tenaga profesional keagamaan bisa dipenuhi. Selain di kota propinsi ada beberapa fakultas daerah (baik kota propinsi di luar Jawa maupun di daerah tingkat II, kota dan kabupaten) telah berdiri fakultas-fakultas cabang. Pada tahun 1997 fakultas-fakultas di daerah tersebut kemudian dimandirikan menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri STAIN yang kadang disebut dengan IAIN mini. Perubahan ini merupakan gejala positif bagi STAIN meskipun masih tetap dipertanyakan terkait dengan statusnya dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal-hal posistif tersebut di antaranya:
1. STAIN setelah bebas dari induknya menjadi leluasa untuk membuat program studi sesuai dengan kebutuhan riil stakeholders tidak lagi begantung kepada IAIN induknya.
2. Meskipun awalnya harus tertatih-tatih, dalam melaksanakan program akademik dan administratif secara mandiri akhirnya belajar dari pengalaman STAIN menjadi dewasa dan terus menapak ke arah kemajuan yang diinginkan.
3. Kemajuan yang telah diraih dan keinginan untuk melakukan penyesuaian dengan peraturan yang berlaku, sebagian besar STAIN berusaha untuk menjadi IAIN atau UIN yang jelas memiliki payung peraturan yang jelas. STAIN selama ini dianggap sebagai IAIN kecil atau mini karena dilihat dari aspek program yang dibuka 1) meliputi tiga jurusan atau lebih dan pada setiap jurusan ada dua program studi atau lebih. Hal ini sama dengan IAIN yang memiliki tiga fakultas atau lebih dan setiap fakultas memiliki dua jurusan atau lebih. Fakultas di IAIN disederajatkan dengan Jurusan di STAIN begitu seterusnya. 2) dengan kesamaan derajat ini setiap ada kebijakan pusat terhadap IAIN akan juga berlaku pada STAIN. 3) fasilitas dan jenis keragaman buku referensi di STAIN juga tidak beda jauh dengan di IAIN, mungkin berbeda dalam jumlahnya karena disesuaikan dengan jumlah mahasiswanya, 4) kuantitas (juga kualitas) dosen dan mahasiswa sebagian STAIN bahkan melebihi dari jumlah mahasiswa IAIN.
4. Upaya untuk menjadi IAIN bagi sebagian besar STAIN yang telah siap merupakan hal yang niscaya untuk itu peningkatan SDM khususnya dosen harus segera dilakukan. Peningkatan pengalaman bagi setiap pimpinan STAIN hendaknya juga dilakukan pensejajaran dengan pimpinan IAIN terutama terkait dengan pengalaman research di PT berkualitas di luar negeri. Di sisi lain kelengkapan fasilitas juga harus segera dilakukan.
5. Pemikiran demikian kelihatannya sulit untuk dibantah terutama pada STAIN yang memiliki animo tinggi dan stakeholders yang luas. STAIN Purwokerto misalnya dari data yang ada menunjukkan bahwa STAIN ini memiliki keunggulan kuantitas mahasiswa dibandingkan dengan sebagian IAIN di luar Jawa.
6. Dalam konteks persaingan global, STAIN harus mengembangkan sayap menuju kompetisi internasional. Jika payung perundang-undangan sudah jelas, pengelolaannya profesional, dan dukungan stakeholders juga tinggi dimungkinkan STAIN yang menjadi IAIN akan dapat melangkah lebih cepat dan mengesankan, bahkan menjadi UIN.
7. Ada beberapa faktor yang membuat STAIN atau PTAI bergerak lamban di antaranya adalah dari aspek kesejarahan yang panjang[10] sejak jaman Nabi sampai pada masa kini tatkala sistem pendidikan nasional diberlakukan melalui UU nomor 2 Tahun 1989 dan direvisi pada tahun 2003. Pendidikan agama sekarang wajib diberikan di semua jenjang, jenis, dan jalur baik negeri maupun swasta termasuk pendidikan non formal. Pembahasan berikutnya tentang pendidikan Islam di era globalisasi yang tantangannya lebih berat untuk mendidik generasi agar “melek” teknologi sekaligus memiliki iman kuat, bersih hati, dan fasih lisan dan sosialnya. Problem terbesar adalah tentang ketersiaan SDM yang profesional dan manajemen personalia dan keuangan.

IV. PENGEMBANGAN PTAIN DIMULAI DARI MADRASAH
Pada dasarnya kualitas madrasah bisa lebih tinggi dari pada sekolah umum, sebab madrasah adalah sekolah plus yaitu sekolah yang mengajarkan semua ilmu sesuai dengan kurikulum sekolah pada umumnya juga plus karena ada tambahan pendidikan agama yang memadai. Jika kualitas ini telah diperoleh oleh sebuah madrasah maka animo masyarakat bisa dipastikan akan lebih tinggi kepada madrasah dari pada sekolah umum karena beberapa pertimbangan :
1. Madrasah mendidik siswa lebih komprehensif karena madrasah merupakan sekolah umum (dengan kurikulum sebagaimana sekolah) yang bercirikan agama sehingga muatan pendidikan agamanya jauh lebih cukup, apalagi jika madrasah tersebut berada dilingkungan Pesantren.
2. Pendidik atau guru madrasah diyakini memiliki kekuatan moral yang tinggi dengan tradisi keagamaan yang kuat. Guru yang baik akan mendidik siswa menjadi lebih baik.
3. Lingkungan madrasah yang religius tersebut dimungkinkan akan mendapatkan pengakuan yang tinggi dan apresiasi yang cukup dari masyarakat sehingga keinginan orang tua wali murid untuk berpartisipasi demi kemajuan siswa menjadi lebih tinggi karena didasari oleh niat ibadah. Hal ini berbeda dengan sekolah umum yang dimungkinkan nuansa ibadahnya agak tipis atau bahkan tidak ada
4. Hal yang amat penting, apalagi dalam masyarakat yang masih kental tradisi paternalistiknya, adalah kemampuan leadership bagi kepala madrasah dapat menggunakan bahasa agama agar mampu menggerakkan semua komponen dari wakil kepala madrasah, guru-guru, dan karyawan madrasah, sekaligus wali murid untuk mendukung kemajuan madrasah. Dengan bahasa agama hal ini lebih mudah dilaksanakan.
5. Untuk meyakinkan masyarakat diperlukan manajemen baik manajemen personalia maupun keuangan. Sebab suatu hal yang menjadi kelemahan madrasah (terutama madrasah swasta) adalah budaya nepotisme yang kurang sehat. Pelibatan keluarga secara rasional bisa dipahami yaitu melibatkan karena mereka memiliki kompetensi yang memadai, jika demikian tidak akan menimbulkan dampak negatif. Selain itu manajemen keuangan yang sering asal-asalan dengan alasan ihlas sehingga pertanggungjawaban keuangan pribadi dan publik sulit dibedakan. Idealnya, pengelolaan amanah sekecil apapun akan lebih tertib karena didasari oleh nilai tauhid.
6. Terkait dengan pendanaan, selain dana dari sumber yang sudah lazim, madrasah dapat mengembangkan dana dari donatur (infaq-shadaqah), zakat, dan wakaf (termasuk wakaf media pembelajaran, buku perpustakaan, lapangan, kebun untuk praktik, dan masjid). Dengan kualitas yang telah terakui, dana akan mengalir lebih mudah. Apabila pendanaan model ini bisa diterapkan minimal bisa mengurangi keluhan pengelola madrasah, yang selama otonomi daerah diibaratkan[11] tak lebih dari anak tiri bagi pemerintah daerah dan tak lebih dari anak angkat bagi pemerintah pusat.
Prestasi tinggi dengan kualitas prima ini bisa dicapai dengan kerja keras, komitmen yang tinggi, dan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah. Dukungan politik dan semakin kondusifnya peran politik santri di era reformasi ini prestasi madrasah bisa lebih mudah direalisasikan. Pimpinan madrasah harus proaktif dengan melibatkan beberapa komponen potensial untuk bergabung membesarkan madrasah, termasuk pihak PTAI.
Pada umumnya masyarakat desa yang telah mengenal pesantren dan madrasah memiliki kesadaran bahwa setiap insan Muslim, khususnya intelektualnya, karena dorongan amar ma’ruf nahy munkar akan terus berupaya menyebarkan dan mempertahankan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama, melakukan kontrol dalam masyarakat (social control), memecahkan problem yang terjadi dalam masyarakat dan menjadi agen perubahan sosial (agent of social change) maka para ilmuan, ulama, kyai dan intelektual muslim akan melakukan peran-peran tersebut lewat, di antaranya, pendidikan[12], bahkan pada beberapa pesantren telah merespon peran tersebut dengan cerdas berupa pelibatan diri dalam pemberdayaan ekonomi rakyat[13] .
Dengan pola tersebut madrasah dapat bergerak dinamis menuju ideal dan mampu bersaing dengan sekolah umum karena biaya yang terjangkau bahkan madrasah mampu memberikan beasiswa karena tradisi kemandirian pengelola yang tidak bergantung pada pemerintah, kerja keras, berfikir dan berjiwa positif, sehingga siswa madrasah diharapkan mampu berkreasi, bermotivasi dan mandiri.
Madrasah yang mampu mencetak alumni yang berkualitas akan memudahkan untuk IAIN dalam mengembangkan input yang ada. Di antara problem selama ini adalah kemampuan keilmuan dan motivasi (calon) mahasiswa yang relatif rendah sehingga sulit untuk digarap

V. STANDAR MUTU SEBAGAI PELUANG PTAI
Kualitas perguruan tinggi diukur dengan mutu lulusannya. Untuk meningkatkan mutu lulusan, harus kembali ke hitthah yaitu dimulai dari misi, tujuan, dan visi ke depannya[14] Dengan visi tersebut PTAI (termasuk di dalamnya STAIN) dituntut untuk melakukan pembenahan komponen-komponen pendidikannya seperti :
1. Kurikulum yang relevan, efektif, efesien, dan luwes dengan fokus sasaran yang jelas dan dapat diukur.
2. Kualitas dosen yang memadai dalam bidang penguasaan ilmu, keterampilan mengajar dan mengevaluasi hasil belajar mahasiswa.
3. Perpustakaan yang lengkap yang mampu memberikan pelayanan refensi untuk pendalaman ilmu dan penelitian.
4. Masjid yang berfungsi edukatif untuk memotovasi belajar mahasiswa dan meningkatkan kecerdasannya terutama kecerdasan spiritualnya.
Sisi penting lain adalah in put-nya, yang berarti pembenahan PTAI harus dilakukan dengan melakukan pembenahan madrasah yang menjadi in put bagi PTAI, meskipun banyak juga alumni SMU yang mendaftarkan diri di PTAI. Di samping itu perbaikan manajemen PTAI dan peningkatan sistem kepemimpinan yang sehat. Leadership bagi PTAI ini penting diperhatikan karena banyak PTAI yang terjadi konflik internal berkepanjangan atau terjadi konflik yang didasarkan oleh ketidak sadaran akan nilai-nilai kepemimpinan dan organisasi. Padahal kondisi negatif seperti ini cukup mengganggu bagi perkembangan kampus. Sebagaimana madrasah, fungsi top leader (Ketua STAIN atau Rektor IAIN dan UIN serta kepala sekolah) dalam sebuah lembaga pendidikan amat setrategis dan menentukan. Iabaratnya, kepala akan menentukan gerak langkah anggota tubuh yang lain. Dengan kerja keras penuh keihlasan dan kekompakan akan menghasilkan prestasi akademik PTAI yang lebih baik.
Selain kepemimpinan, juga keberadaan dan fungsi lembaga penelitian, pengabdian pada masyarakat dan penerbitan yang menjadi tumpuan pengembangan ilmu dan teknologi. Hasil penelitian tersebut dikomunikasikan melalui pengabdian langsung berupa Masyarakat Mitra, Pesantren Mitra, Madrasah Mitra (terutama yang siswanya menjadi in put bagi PTAI), dan sekaligus dikomunikasikan lewat jurnal, News Letter atau lainnya.
Penguasaan bahasa asing (Arab – Inggris), Qur’an dan hadis bagi sivitas akademika sebagai dasar dan sumber serta penguatan metodologi berfikir dan filsafat, sangat diperlukan. Apalagi saat ini sarjana Muslim sedang berusaha mencari pengetahuan otentik tradisi intelektual Islam dan sarana untuk menjawab tantangan intelektual dunia modern yang mengancam benteng kehidupan dan pemikiran. Usaha tersebut secara substansial harus dijawab lewat pengembangan disiplin keilmuan yang selama ini telah terbangun tetapi masih dipersoalkan tiang penyangga bangunan keilmuannya baik dari aspek ontologis, epistemologis, maupun aksiologisnya. Membangun rangka-pikir Islamisasi ilmu, sebagaimana yang ditawarkan Osman Bakar, merupakan bagian dari usaha tersebut.
UIN, IAIN, dan STAIN sebagai perguruan tinggi Islam sebagian besar telah merencanakan pengembangannya menjadi Universitas Umum yang berciri khas Islam atau Universitas plus, dengan alasan memenuhi kehendak masyarakat muslim dalam posisi atau kedudukan yang terhormat dalam pendidikan nasional dan menciptakan keilmuan terpadu (integrative) sebagaimana dikehendaki dalam konsepsi pendidikan Islam dan bukan ilmu yang dikotomis antara umum dan agama. Sebagai langkah awal UIN Jakarta, UIN Malang, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Sultan Qasim Pekanbaru Riau, UIN Bandung, dan UIN Makassar telah dikembangkan menjadi Universitas sebagai percontohan[15]. Perubahan kelembagaan ini menuntut pengembangan sistem sekaligus pengembangan kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik seperti kalam yang responsip dengan lingkungan dan teknologi.[16] Perubahan STAIN dan IAIN menjadi UIN merupakan perkembangan keilmuan dan politik yang harus didukung, walaupun sebaiknya sebagian saja STAIN atau IAIN yang mengembangkan diri sebagai universitas dan sebagian yang lain mengambil bagian untuk memposisikan diri sebagai perguruan tinggi yang mampu mencetak ulama-intelektual atau intelektual-ulama. Dukungan terhadap perkembangan ini minimal karena sudah menjadi tuntutan untuk memadukan kembali dikotomi keilmuan Islam yang selama ini terjadi.
Kendala yang masih dihadapi oleh PTAI adalah pembidangan keilmuan yang digagas oleh LIPI telah menyebabkan studi Islam di Indonesia masih bergelut dalam aspek-aspek normatif-deduktif-klasik, sementara STAIN/IAIN belum diberi kewenangan untuk mengembangkan ilmu yang bersifat umum atau sekuler. Kondisi ini, selain karena aspek politik, sering dipicu oleh perdebatan tentang dikotomi ilmu agama dan ilmu sekuler, sehingga perkembangan studi Islam di PTAI hanya mengusung terma dan isu klasik, tanpa sedikitpun menyentuh hal-hal kontemporer yang membumi.[17]. Dalam menyempurnakan pembidangan ilmu di PTAI harus mencakup tiga pilar [18] yaitu aqidah-humaniora, muamalah (teknologi), dan ahlaqul karimah (ilmu sosial). Apabila ketiga pilar ini diaplikasikan maka, sejumlah hirarki vertikal ilmu sebagiannya dapat ditarik ke atas seperti studi humaniora sampai ke aqidah, studi teknologi dan profesional ke muamalah, dan studi ilmu-ilmu sosial ke ahlaqul karimah.
Dalam konteks pembidangan ilmu dan pengembangan mandat yang diimpikan PTAI agar menjadi Universitas tidak akan bermakna dan memiliki pengaruh signifikan di masyarakat jika tidak diimbangi dengan peningkatan SDM PTAI dan jaminan mutu lulusan yang memiliki standar internasional. Jaminan mutu ini hanya bisa dicapai dengan kerja keras dan komitmen bersama yang tinggi untuk memajukan lembaga. Jaminan mutu PTAI dan lulusannya akan mengantarkan PTAI tersebut akan memberikan peluang besar untuk berpartisipasi secara lebih luas lagi.

VI. MEMPERKUAT JARINGAN MADRASAH DAN PTAI
Sebagai institusi pendidikan tinggi PTAI memiliki tugas untuk membantu madrasah agar kualitas lulusan madrasah bisa ditingkatkan yang pada akhirnya akan menjadi in put bagi PTAI itu sendiri. PTAI sebagai pembina pengembangan akademik madrasah memberikan pemikiran tentang pengembangan kurikulum, keterampilan mengajar bagi guru, praktikum dan lainnya sehingga PTAI memiliki tanggungjawab dan peran konkrit terhadap madrasah sebagai mana tuntutan tri darma perguruan tinggi.
Dalam dataran aplikatif PTAI bisa membuat jaringan madrasah pada setiap kecamatan dengan menjadikan satu madrasah sebagai induk model, kemudian di setiap kabupaten juga ada jaringan antar madrasah perwakilan kecamatan dengan satu madrasah sebagai percontohannya. Demikian terus meningkat sampai ke eks karesidenan terdekat dengan PTAI tersebut. Jaringan ini bisa memiliki multi fungsi :
1. Bagi PTAI jaringan madrasah dapat digunakan untuk aplikasi dari hasil penelitian yang selama ini telah dilakukan, sehingga PTAI tidak menjadi menara gading dan hanya bergerak di wilayah normatif belaka.
2. Bagi jaringan madrasah dan masing-masing madrasah ada masukan pemikiran baru yang berguna untuk inovasi madrasah berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dari dosen-dosen PTAI dan kemajuan dari masing-masing madrasah.
3. Bagi Departemen Agama jaringan ini lebih memudahkan untuk pembinaan, informasi dan komunikasi, serta lebih mempercepat transfer penemuan kelilmuan hasil penelitian dan kebijakan baru seperti penerapan kurikulum KBK yang diterapkan di Madrasah.
Saat ini, Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama telah membuat MoU dengan Perguruan Tinggi seperti UGM, ITS, ITB, UI, dan UIN Jakarta untuk memberikan peluang (jatah) kepada madrasah di lingkungan pesantren agar alumninya bisa studi di fakultas faforit yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut. MoU tersebut sudah ditindak lanjuti dengan baik, dan informasi sementara alumni madrasah menunjukkan prestasi akademik yang sangat memuaskan.
Menurut hemat penulis, langkah ini cukup strategis untuk mendongkrak image siswa madrasah dan harapan akan masa depan yang lebih gemilang. Tetapi langkah ini menjadi lebih baik lagi apabila pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (melalui Dirjen Pendidikan Islam) mengkaitkan dengan program pengembangan PTAI daerah yang lebih dekat lokasinya dengan madrasah yang siswanya dikirim ke PT ternama tersebut. Jika koordinasi ini dilakukan maka peningkatan kualitas bisa sinergis antara PTU, PTAI, madrasah, dan pesantren.

VII. PENUTUP
Memperhatikan Undang-undang Republik Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, merupakan peluang dan eksistensi PTAIN semakin mendapatkan tempat baik secara politik maupun secara sosial. Peran alumni, akademisi PTAI, dan pejabat Departemen Agama yang berwenang dalam tugas kependidikan, perlu membuat rencana dan aksi konkrit dengan memanfaatkan berbagai potensi serta melibatkan semua lembaga dan komponen terkait baik swasta maupun negeri.
Dengan perencanaan yang matang dan bekerjasama dengan berbagai lembaga, kesulitan yang ada akan mudah diatasi dan masa depan yang lebih gemilang akan bisa diraih. Semoga.

* Drs. Moh. Roqib, M.Ag adalah dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto, sedang menyelesaikan program Doktor (menunggu promosi) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


END NOTE



[1] Saat itu menjabat Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yangyakarta.

[2] Sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

[3] Sekarang Departemen Pendidikan Nasional.

[4] Sebagai contoh STAIN Purwokerto asalnya adalah Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga di Purwokerto sebagai cabang IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selama 31 tahun (1964-1994) karena pertimbangan geografis dan kewilayahan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 385 tahun 1993, Nomor 394 tahun 1993, dan Nomor 408 tahun 1993 menjadi cabang atau menginduk pada IAIN Walisongo Semarang (dan direalisasikan pada tanggal 13 Desember 1994). Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1997 pada tanggal 21 Maret 1997 Fakultas Tarbiyah tersebut beralih status menjadi STAIN Purwokerto. Selanjutnya baca, Tim Penyusun, Buku Panduan STAIN Purwokerto (Purwokerto: STAIN Purwokerto Press, 2007).

[5] Dinamisasi PTAI telah terbukti lebih nyata setelah otonomi ini diberikan oleh pusat kepada masing-masing PTAI. Pusat hanya melakukan pembinaan dan monitoring agar gerak dinamis tersebut tidak terjadi penyimpangan dan lebih maslahat.

[6] Selanjutnya baca, A. Qadri Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2003), hlm. 28-29.

[7] Tentang Eksperimentasi IIS ini dapat ditemukan informasinya dalam Perta: Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII, No. 2, 2005 terutama halaman 8 – 23.

[8] Perkembangan sekilas dapat dibaca dalam Tim Penyusun, Buku Pedoman Fakultas Ilmu Agama Islam UII (Yogyakarta: UII Press 2000), hlm. 3.

[9] Kompas, 29 Nopember 2007: 6.

[10] Arief Furchan, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia: Anatomi Keberadaan Madrasah dan PTAI, (Yogyakarta, Gama Media, 2004), hlm. 3-10.

[11] Kompas, 11 September 2004: 10

[12] Abdillah Masykuri, “Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa Ini”, dalam Mimbar Agama & Budaya, ( Vol. XVI, No. 4/1999 ) hlm. 2.

[13] Ahmad Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, ( Jakarta, Pustaka Ciganjur, 1999) hlm. 12-19.

[14] Arief Furchan, Transformasi …………..(Yogyakarta, Gama Media, 2004) hlm. 28.

[15] John Hendrik Meuleman, “IAIN di Persimpangan Jalan”, dalam Perta Nomor 1 September 1997) hlm. 32-33.

[16] M.Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyonsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era Milenium Ketiga” dalam al-Jamiah, No. 65/VI/2000 hlm. 78-101.

[17] Akh. Minhaji dan Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam, ( Jogjakarta, Ar-Ruzz, 2003), hlm. 87.

[18] Noeng Muhajir, Makalah Pengembangan Kurikulum. Bahan Kuliah di Program Pascasarjana IAIN Yogyakarta, 1995: 24.

Tidak ada komentar: