Minggu, 09 Maret 2008

Santri: Aqidah, Tradisi dan Kemoderenan

SANTRI : AQIDAH, TRADISI, DAN KEMODERENAN
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag



Sebelumnya saya sampaikan “selamat” pada pesantren al-Bayan yang telah merintis tradisi baru pesantren berupa “Kajian Rutin bagi Alumni” pesantren. Semoga tradisi positif ini berkembang, bermanfaat bagi masyarakat (khususnya alumni), dan termasuk man sanna sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha, amin. Tulisan ini merupakan refleksi seorang santri yang diberi amanat Kyai untuk memberikan pokok-pokok pikiran di hadapan para santri dan alumni Pesantren. Pokok-pokok pikiran berikut merupakan renungan hasil modifikasi dari kitab kuning, fatwa ulama, bimbingan kyai, bahan bacaan, dan pergulatan panjang penulis selama bergelut di dunia pesantren dan dunia pendidikan sekolah. Karena keterbatasan waktu referensi belum penulis sertakan dalam tulisan ini.

Santri dan Informasi Modern
Pemikiran individu banyak dipengaruhi oleh informasi yang masuk. Data dan informasi berkembang cepat tidak terasa telah membentuk dan terkadang mendekonstruksi paradigma berfikir sebagian (besar) santri pesantren. Dekontruksi pemikiran lewat liberasi edukasi memberikan nuansa dan warna baru bagi pesantren. Hal-hal yang dahulu diyakini sebagai kurang etis saat ini menjadi bagian dari tradisi baru yang menghawatirkan hati para kyai (sepuh). Bahkan ada kenyataan baru sebagian kyai dipaksa untuk merasa tidak etis jika melakukan teguran, taushiyah, rekomendasi, atau seruan moral bagi generasi dan santrinya sendiri karena ada kekhawatiran akan terkena “cap” bahwa ia bagian dari kyai ampek yang belum menerima perubahan jaman dan jauh dari wawasan demokrasi.
Kekhawatiran seperti ini paling tidak dijumpai oleh beberapa kyai yang membuka pesantren dengan pendidikan sekolah. Gejala yang sama juga ditemukan pada pesantren salaf yang telah membuka lebar arus informasi dan komunikasi. Bagaimanapun arus infomasi dan komunikasi saat ini tidak bisa dihindari oleh siapapun karenanya dampak yang ditimbulkan harus dipahami terutama oleh santri.

Pengaruh Teknologi Komunikasi-Informasi bagi Santri
Santri sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari pengaruh budaya yang berkembang di masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi membuka tabir dan misteri kehidupan dengan cepat. Transparansi dituntut dalam berbagai dimensi kehidupan. Prilaku tidak sedap yang dipertontonkan di hadapan santri adalah realitas yang minimal memiliki peran adalam pembentukan pola hidup dan watak kehidupannya. Realitas yang sering dijumpai, di antaranya :
1. Realitas tontonan dan tontonan jadi tuntunan. Kita masuk ke dunia periklanan. Badan Pengawas Periklanan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) telah menjatuhkan fonis pada iklan Irex (sebelum yang sekarang) yang dianggap berasosiasi porno karena “perlakuan mereng” terhadap perempuan. Iklan melakukan pelanggaran “pelecehan perempuan”. Lambat lauun pemirsa TV termasuk santri akan membantah “Tidak ada dalam pikiran saya untuk melecehkan perempuan” (Kompas, 22 Juli 2001). Iklan dalam masyarakat kontemporer ini telah menjadi “sesuatu yang nyata” (the real thing), artinya bukan sekadar sebuah representasi. Kita hidup di zaman sebuah representasi menjadi realitas, oleh karenanya menarik juga barangkali melihat bagaimana di balik lahirnya representasi itu.
2. Membuka Tradisi Aurat dan Perzinaan Baru. Penggunaan sosok perempuan seringkali menyorot pada bagian perempuan-perempuan muda pada bagian kaki/betis – bagian yang dalam penelitian Tamrin Amal Tomagola dari UI termasuk bagian yang paling sering dieksploitasi selain dada, punggung, pinggul, rambut, dan bibir ( Kompas, 22 Juli 2001). Lebih tragis lagi bukan hanya kecenderungan masyarakat (modern) terhadap jual beli perempuan (atau laki-laki) tetapi juga perdagangan dalam arti yang sebenarnya seperti jual-beli keperawanan (keperjakaan) juga ada yang melakukan. Selain itu juga jual-beli alat-alat hubungan seks.
3. Goyang “Ngebor” Inul dan Penampilan Seksi. Bentuk sosialisasi adalah komentar dan diskusi terhadap prilaku seseorang. Penampilan tidak nggenah juga mudah ditemukan dalam pentas dangdut (seperti Inul) di TV maupun pertujukan di lapangan di desa-desa. Prilakku demikian juga terkadang dijumpai di lingkungan pesantren yang membuat sebagian santri (termasuk ustadz) megap-megap. Pakaian seksi (kurang, ketat dan transparan) ada juga di tempat kuliah (termasuk PTAI), kajian dan pengajian.
4. Rekreatif dengan Hubungan Seks Bebas. Sesuatu yang cukup menyedihkan adalah hasil penelitian di Yogyakarta yang menyebutkan bahwa selama pacaran, remaja telah melakukan tindakan seksual seperti berpegangan tangan (91,2 %), berciuman (24,3 %), pegang payudara (11, 4 %), saling tempel alat kelamin (3,9 %), dan melakukan senggama (8,5 %). Kejadian yang hampir sama juga terjadi di beberapa kota besar lain di Indonesia. Memang “kemesuman” tersebut tidak hasil survey di kalangan santri, tetapi bagaimanapun santri akan terkena pengaruh negatifnya.
5. Tradisi Kekerasan Sosial. Tawuran antar kampung, antar suku, kelompok sosial, perkelahian remaja, perjudian, perampokan, pemerkosaan, sampai pada kasus mengerikan tentang narkoba yang menimpa remaja adalah informasi yang sering kita dengar dan seakan jadi tradisi baru.
6. Kesombongan Agamawan. Bangsa ini alam bawah sadarnya telah terkontaminasi oleh, meminjam istilah Friedrich Nietsche, dahaga untuk mengenggam kekuasaan sehingga seorang merasa puas dan bahagia ketika melihat orang lain bertekuk lutut di hadapannya. Ia merasa happy dan memiliki prestise ketika ditangannya ada kekuatan untuk menaklukkan orang lain. Pada saat demikian, benar kata Karl Marx, agama dianggap sebagai instrumental untuk merebut tujuan politik dan ekonomi. Agama bernilai posistif selama membantu memperkokoh kekuasaan atau setidaknya berfungsi sebagai pelipur lara ketika seseorang sedih, gagal memperoleh sukses duniawi. Jika ini yang terjadi, mengutip pandangan Sigmund Freud, “buntutnya” nafsu libidonya akan sangat menguasai sepak terjang seseorang dalam berinteraksi sosial dan dalam memandang dunia yaitu dorongan physical and emotional pleasure, kenikmatan fisik dan emosi yang terpenuhi dengan gemerlap duniawi: kekuasaan, kekayaan, popularitas dan yang terpenting adalah sexual pleasure, kenikmatan seks dan akhirnya menjadi budak seks.
Realitas di atas dikhawatirkan para santri akan silau dan gagap jika santri (ustadz dan pesantren) belum siap untuk mengantisipasinya dengan program-program kependidikan yang menyentuh kebutuhan riil umat dan memberdayakannya.
Kekhawatiran di atas cukup beralasan karena sebagaian pesantren kita belum memiliki tawaran metodologis yang bisa dipromosikan di masyarakat luas sebagai alternatif. Bahkan terkadang santri (pesantren) baru disibukkan pada kesalehan individual yang belum “menyembul” ke permukaan dan memberikan manfaat kongkrit pada penciptaan bangunan baru kemaslahatan umat masa depan.

Tanggungjawab Spiritual-Moral-Sosial Santri
Memperhatikan kondisi riil di atas menunjukkan bahwa santri (juga ustadz) memiliki peran sekaligus prospek yang cerah apabila ia terkontrol oleh etika-moral pesantren dan memiliki kualitas (mutu) tinggi-terhormat yang dalam studi Basic Education Quality harus memiliki empat faktor utama: (1) kemampuan profesional, (2) upaya profesional; (3) waktu yang tercurah untuk kegiatan profesional; dan (4) akuntabilitasnya. Masa depan seseorang pada dasarnya ditentukan oleh kualitas diri dan penguasaan dalam profesi yang digelutinya.
Kemajuan iptek telah membawa perubahan kehidupan sosial-budaya yang banyak menimbulkan problem-problem sosial. Sebagaimana ulama dan ustadz, santri dipanggil untuk segera mengatasi problem-problem tersebut. Dengan peran yang semakin bertambah di masyarakat untuk mengatasi atau mengantisipasi berbagai problem yang muncul akan semakin kuat pula kedudukan sosial-politik santri (pesantren) untuk membangun moral force dan mingkat pula kesejahteraannya. Apabila ustadz dan santri pesantren mampu menunaikan tugas dengan memenuhi etika kepribadiannya bisa dipastikan mereka akan menjadi panutan, tumpuan utama bangsa yang berharga, dihormati, dan dihargai. Dengan demikian identitas santri, ustadz, dan pesantren menjadi lebih bergengsi dan berwibawa.
Dalam konteks Indonesia saat ini, santri (pesantren) memiliki tanggungjawab yang lebih besar apalagi tatkala negeri ini dilanda berbagai tantangan riil. Tantangan riil tersebut selain beberapa hal yang telah disebutkan di atas adalah fenomena masochisme pada tatanan wacana dan sadisme dalam prilaku menjadi bagian dari masyarakat. Yang pertama, ditandai oleh rasa bangga seseorang ketika ia secara fasih bisa mencaci maki kebobrokan pemimpin, tokoh, dan ulamanya sendiri tetapi lupa dengan kualitas diri di hadapan Allah Swt. dan lingkungannya, sedangkan yang kedua adalah perasaan lega dan bangga ketika seseorang bisa memporak-porandakan lingkungan dan menyakiti orang lain yang dianggap lawan.
Saat ini telah terjadi bahwa himpunan norma-norma dan sederet khutbah agama tidak menjamin seseorang menjadi moralis dan relegius karena yang menggerakkan prilaku seseorang bukan setumpuk kaidah agama, tetapi emosi dan nilai-nilai yang telah terinternalisasi ke dalam disket bawah sadarnya yang merupakan akumulasi kebiasaan, cita-cita, dan naluri instingtif manusia yang terpola secara pelan-pelan oleh informasi, komunikasi, dan tradisi yang telah menjauh dari nilai kesejatian agama.
Kejadian seperti ini terjadi (antara lain) karena pendidikan yang gagal, etika sosial yang lemah dan kacau, akibat penderitaan dan frustasi yang panjang, atau bisa juga karena empasan pengaruh kekuatan luar seperti lewat TV, koran, majalah dan internet yang tidak terbendung sehingga bangunan moral sebuah masyarakat terdesak berantakan. Untuk itu diperlukan seorang guru bangsa (ustadz/kyai bangsa) yang memiliki integritas moral yang kukuh dan kompetensi yang meyakinkan dalam mengemban tugas sehingga kinerjanya produktif, suka memberi dan tidak suka meminta (mandiri). Guru bangsa yang memiliki kualifikasi seperti tersebut hanya dapat dilahirkan oleh pesantren yang konsisten dengan tugas-tugas mulianya.

Membangun Tradisi dan Memperkuat Jaringan Pesantren
Pesantren memiliki sub kultur yang telah teruji oleh jaman. Tradisi yang khas pesanten telah mampu mempola santri dalam kehidupan yang agamis. Tetapi kehidupan keagamaan santri secara riil akan teruji tatkala ia telah berkecimpung di masyarakat. Dengan pengalaman keagamaan yang tangguh dimungkinkan santri akan mampu berpartisipasi dalam masyarakat lebih optimal.
Yang menjadi tugas berikutnya adalah bagaimana tradisi pesantren dibangun di sekitar pesantren dan di masyarakat pesantren. Bagaimana memasyarakatkan pesantren dan mensantrikan masyarakat. Patut dicontoh adalah Farum Pesantren Masyarakat (FPM) di Krapyak Yogyakarta yang telah memberikan kontribusi riil bagi masyarakat yaitu TPQ, Pengajian Ibu-ibu An-Nisa’, Biasiswa Anak Yatim dan Fakir-miskin, Koperasi dan lainnya.
Dalam rangka untuk melaksanakan tugas kemasyarakatan dan keagamaan suatu keniscayaan untuk meningkatkan kembali jaringan alumni, jaringan pesantren, dan jaringan alumni-pesantren-masyarakat. Pada era seperti saat ini kita tidak lagi mampu mengemban tugas secara mandiri terlepas dari peran serta orang lain atau kemunitas lain. Untuk membangun kemunikasi atau jaringan tersebut kesadaran akan pluralitas (keragaman) tradisi berfikir, pola hidup, dan kecenderungan aspirasi politik harus didewasakan.
Pendewasaan wawasan berfikir santri dan alumni pesantren dengan melakukan proses edukasi rutin/istiqamah di antaranya dengan kajian rutin seperti yang dilaksanakan di PP. Al-Bayan ini. Apabila tradisi ini berkembang dan mampu mendinamisasi masyarakat luas, dapat diyakini peran pesantren semakin riil dan dibutuhkan masyarakat. Dalam forum seperti ini, baju politik santri seharusnya hanya dijadikan bagian dari referensi prilaku sosial politik yang hendak dikembangkan agar bernilai guna riil tatkala bermasyarakat. Perbedaan yang ada adalah bagian dari keragaman yang mulia selama didasari oleh niat utama dan agung. Apabila santri belum bisa membedakan mana yang agama (sakral) dan mana yang tradisi, budaya dan hasil pemikiran semata (profan) dimungkinkan budaya musyawarah akan tersensdat dan kerukunan sesama santri (bahkan ustadz dan Kyai) akan terganggu.
Selamat berproses, berjuang, berprestasi, dan sukses selalu.

Purwokerto, 1 Muharram 1424 H

Muhammad Roqib.

1 komentar:

gunawan mengatakan...

Assalamu'alaikum bapa?semoga dalam keadaan sehat,selalu dalam lindungannya dan selalu berkarya.Disini saya akan mengomentari ttg tulisan bapa yang berjudul"pendidikan sexs usia dini" dan puisi2 bapa.Disini memang kita perlu memberikan pendidikan seperti itu,agar nantinya tidak terjadi hal2 yg tidak diinginkan.Dan saya akan menanggapi puisi2 bapa yang begitu bagus dan kebetulan saya suka sekali dg puisi/syair terutama kahlil gibran.Wassalam
Husni pai 2