Minggu, 09 Maret 2008

Penelitian Pendidikan dalam Perspektif Gender

KRITIK PENELITIAN
BERPERSPEKTIF JENDER VARIAN PENDIDIKAN*
(Pengantar Diskusi)
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag**


Tulisan ini, tidak akan mengulas lebih detail tentang penelitian pendidikan berperspektif gender untuk varian pendidikan, karena hasil penelitian penulis yang berjudul (Pendidikan Perempuan dalam Perspektif Muhammad Athiyah al-Abrasyi dan Bahasa Arab dalam Perspektif Gender) sudah ada di tangan peserta yang setelah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pendidikan Perempuan. Peserta diharapkan membaca dan mengkritisi hasil penelitian tersebut sebagai bahan diskusi. Tulisan berikut hanya mengantarkan agar perbincangan menjadi lebih hangat.

I. PENELITIAN PENDIDIKAN: SUB PENTING DALAM STUDI GENDER
Berbicara tentang gender terasa mengasyikkan dan tidak ada habis-habisnya. Pembicaraan gender terfokus pada keadilan gender dan terutama tentang perempuan. Perempuan memiliki “sudut-sudut” kehidupan yang sensitif, dilematis, dan rentan terhadap ketindakadilan jender berupa marginalisasi, subordinasi, steriotipe, kekerasan, dan beban kerja (ganda/double burden).
Tema-tema penelitian yang terkait dengan gender sudah banyak dilakukan di antaranya :
1. Dalam perspektif kitab suci yang mengkaji dan mempertanyakan dari pemahaman teks kitab suci sampai pada interpretasinya. Kajian tafsir dan Hadis sering dijumpai dalam beberapa literatur. Sebagian yang bisa disebut adalah penelitian dan tulisan Nasaruddin Umar mengenai Argumen kesetaraan gender, antropologi menstruasi, antropologi jilbab yang secara keseluruhan mempertanyakan tentang teks dan interpretasinya yang menurutnya ditemukan bias-bias jender
2. Perspektif sosial dan politik juga ada beberapa kasus yang telah mendapatkan perhatian untuk diteliti: operasi Pekat (penyakit masyarakat) yang dilakukan jajaran Polda Jawa Barat lebih menunjukkan teror untuk perempuan. Hal ini karena polisi “serampangan” dan membuat perempuan warga kota takut keluar malam karena takut dituduh PSK. Sementara laki-laki banyak juga yang nongkrong dan ugal-ugalan tetapi aman dari tuduhan negatif tersebut hanya disebabkan sulit pembuktiannya. ( Kompas, 24 September 2001). Di bidang politik keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif dan ekskutif masih kurang proporsional.
3. Fisik-biologis perempuan juga sering dijadikan “tontonan nikmat” (bagi laki-laki) hampir pada setiap “lekuk” tubuhnya terutama, menurut penelitian Tamrin Amal Tomagola (Kompas 22 Juli 2001) dari Universitas Indonesia, kaki/betis, dada, punggung, pinggul (pantat), rambut, dan bibir. Anehnya, perempuan hanyut dalam prilaku dan kenyataan keseharian ini. Hal ini dapat kita perhatikan misalnya lewat prilaku keseharian dan sinetron/film.
4. Terkait dengan perekonomian dan etos kerja seperti yang dilakukan oleh perempuan di desa-desa di Kabupaten Kuningan seperti desa Cikahuripan, Parakan, dan Karangmaja Kecamatan Lebakwangi dan di Desa Gewok dan Kutakembaran, Kecamatan Garawangi mereka mengusung batu di atas kepala, memecah batu, dan mengangkut sebakul dua bakul pasir. Ia melakukan kerja (bakti) menggantikan suami mereka yang hampir 90 persen merantau ke Jakarta. Bahkan kata Jumi (50) “kalau tidak memprek batu badan saya malah pegal”. Penghasilan mereka sehari minimal Rp. 3.000,- (78.000 – 100.000,- per bulan). Pengalihan petan (mencari kutu) dengan kerja produktif sambil ngrumpi untuk tukar informasi (Kompas, Senin, 24 September 2001). Perempuan karir yang membantu suami dalam konsep hukum Islam juga masih diperdebatkan.
5. Berhubungan dengan HAM dan HAR, ada kasus diskriminasi terhadap buruh, juga buruh migran. Untuk kasus buruh migran usaha telah dirintis oleh Komnas Perempuan bekerjasama dengan Organisasi HAM Arab yang berkedudukan di Mesir. (Kompas, Senin 24 September 2001) Kasus HAM dan nasib perempuan di propinsi Nangroe Aceh Darussalam pada masa DOM, perempuan Timor Timur, dan nasib perempuan tatkala ada kerusuhan. Hasil investigasi dan temuan sementara pada kasus-kasus seperti ini sulit diungkap ke permukaan karena kelangkaan bukti dan terkadang saksi tidak mau mengungkap karena malu atau takut. Poligami juga menjadi tema menarik dalam studi gender akhir-akhir ini dan kontrofersial.
6. Terkait dengan kesehatan reproduksi dominasi laki-laki atas perempuan terlihat juga pada kasus aborsi yang selalu dikembalikan pada perempuan padahal faktor-faktor penting di dalamnya di antaranya kegagalan alat kontrasepsi, minimnya persediaan alat-alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak diinginkan, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja, dan ketidak mampuan secara ekonomi dan psikologis juga karena ada “industri prostitusi”. Bukankah faktor-faktor ini ada dalam relasi perempuan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil yang mempunyai andil besar dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan dikonstruksi dalam masyarakat di mana semangat egaliter, kederajatan laki-laki dan perempuan semakin dikembangkan (Kompas, 29 Oktober 2001).
7. Berkaitan dengan pendidikan, perbincangan dan penelitian tentang kurikulum (buku ajar, kitab kuning), pendidik (guru, Kyai), peserta didik (siswa, mahasiswa, santri), dan metode dan strategi pembelajarannya sudah sering dilakukan dan sampai pada kesimpulan bahwa bias-bias gender banyak ditemukan karena kurangnya sensitifitas gender sehingga menimbulkan ketidak keadilan gender.

Bagi penulis, ketidak adilan gender terjadi karena adanya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai “second sex/manusia kedua”. Relasi gender yang tidak sehat seperti ini berproses dan berlangsung cukup panjang sehingga membutuhkan waktu untuk mengurai. Solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan melakukan proses pendidikan yang berkeadilan gender, pendidikan yang dikonstruk berdasarkan hasil penelitian pendidikan yang berperspektif gender. Dengan pendidikan yang memadai kualitas SDM perempuan bisa ditingkatkan sehingga perempuan mampu melakukan bargaining position diberbagai bidang kehidupan.
Pendidikan diartikan secara luas yang meliputi transfer of knowledge and values di dalam keluarga, lembaga pendidikan (sekolah dan luar sekolah), dan masyarakat termasuk berbagai media baik elektronik maupun cetak.

II. PENELITIAN DENGAN ANALISIS JENDER
Analisis dan teori sosial dilahirkan dalam sejarah untuk memerangi ketidak adilan. Meski demikian ada juga yang mempersoalkan metodologi dan epistemologi (positivisme) sebagai salah satu sumber ketidak adilan atau lebih menjadi alat untuk melanggengkan ketidak adilan.
Analisis jender merupakan satu analis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme untuk memahami realitas sosial.
Sebagai teori, tugas utama analisis jender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya, tetapi analisis jender dilakukan untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada dan bukan menggantikannya. (Mansour Fakih, Analisis Gender & Tarnsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996 h. xii-xiii).

III. MENGAPA MELALUI PENDIDIKAN
Kasus-kasus di atas apabila ditelusuri lebih jauh berawal dari minimnya pendidikan terhadap perempuan. Karena perlakuan terhadap perempuan yang rendah mengakibatkan kualitas SDM juga terbatas. Dengan keterbatasan ini daya tawar perempuan secara umum terjadi.
Sebagai ilustrasi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan bermula dari keluarga patriarkhis sebagaimana diceritakan Nawal Sa’dawi dalam Qadlaya Mar’ah wa al-Fikr wa al-Siyasah (Maktabah Madbuli, Kairo, 2001, hlm. 16). Ia menceritakan tentang identifikasi diri anak perempuan pada ayahnya yang insinyur, pilot, dan presiden atau karena ayahnya. Perempuan tidak bermimpi seperti ibunya. Anak laki-laki dan perempuan boleh sama tetapi, demikian lanjut Nawal semua impian untuk menjadi pencipta dan pemeran utama ada pada setiap anak, namun bagi anak perempuan impian itu benar-benar hanya sebuah impian, dan mereka harus rela menjadi seperti ibunya yang tak pernah terbersit dalam impian kecilnya.
Bagi anak yang sedang dalam proses belajar tentu memiliki harapan dan cita-cita tetapi realitas sosial sering membuat mereka luluh dan malas studi. Karenanya di kalangan kita ada pernyataan “untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi toh nanti akan kembali ke dapur, sumur, kasur”. Padahal tugas-tugas perempuan baik tugas domistik maupun publik harus didasari oleh keilmuan, pengalaman, dan pendalaman yang mereka peroleh dari setiap gerakan kehidupannya sebagai manusia. Tanpa bekal yang memadai bagaimana mungkin perempuan dapat menjadi manusia utuh seperti yang dikehendaki oleh ajaran agama.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah (al-Markaz al-Tsaqafi al’Arabi, Bairut, 2000, h. 84-85) mengungkapkan, “Pengekangan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik rumah tangga saja adalah satu hal yang mengandung kesalahan yang sangat fatal, karena jika tanggungjawab atas perkembangan generasi muda adalah terutama dimulai dari keluarga yang selanjutnya (sebagian) dibebankan pada perempuan – sebagai ibu – maka pengekangan perempuan dalam urusan rumah saja dengan sendirinya menghilangkan satu faktor atau unsur terpenting bagi proses pendidikan itu sendiri, yaitu sensitivitas sosial. Hal ini akan menghalangi perempuan mendapatkan kesempatan kedewasaan secara aktif dan bebas, yaitu dengan cara berinteraksi langsung dengan segala fenomena di masyarakat. Sebaliknya jika perempuan hanya di rumah mereka akan mendapatkan proses ini dengan cara pasif dari media yang menemani mereka, baik media visual maupun nonvisual. Dan dengan sendirinya tanggungjawab pendidikan terhadap generasi penerus berpindah tangan kepada instansi yang terkait dengan media tersebut, dalam hal ini tidak pernah sama sekali disadari. Sedang perempuan telah jauh menuntut ilmu dan selanjutnya hanya berperan dalam Rumat Tangga, hal ini akan mematikan ilmu yang didapatkannya dan kesia-siaan dari pembelajarannya, karena ilmu yang dipelajari memerlukan implementasi yang perlu terus mendapatkan pembaharuan yang aktif (Kompas 29 Oktober 2001).
Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif jender harus dimulai dari peningkatan SDM dan menyadarkannya bahwa peran-peran strategis akan mampu dilaksanakan dengan baik jika kualitas perempuan tinggi sehingga kehormatan sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki dapat diperoleh tanpa pertentangan dan tidak menimbulkan kerugian kedua belah pihak.
Dasar bahwa perempuan memiliki kewajiban dan hak untuk sejajar di sisi Allah dan makhluk-Nya sudah menjadi keyakinan setiap Muslim walaupun realitasnya masih jauh dari prinsip dasar ajaran agama. Untuk itu upaya sosialisasi nilai ajaran dan prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan perhatian yang memadai.

IV. STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Peran perempuan memang dilematis. Di satu sisi mereka dituntut memerankan peran-peran domestik sebagai pendidik anak, pendamping suami tetapi pada saat yang sama ia juga harus memerankan peran-peran publik.
Agar perempuan mampu mengemban “peran ganda” tanpa menimbulkan berbagai efek negatif maka ia harus meningkatkan kualitas SDM dan skilnya didukung oleh laki-laki. Sebab dalam kehidupan ini banyak sekali tantangan dan pilihan, untuk itu perlu prioritas-prioritas tatkala ia harus melangkah. Untuk kepentingan kebahagiaan hidup tersebut perempuan dituntut cerdas, berwawasan dan berpengalaman. Di samping itu perempuan dituntut untuk memahami ajaran agama dalam perspektif jender dan melakukan pemberdayaan bersama laki-laki agar keadilan jender dapat ditegakkan dan menjadi relitas sehari-hari.
Studi jender bertujuan untuk menciptakan keadilan jender, untuk itu setiap jenis kedlaliman dan ketidak adilan yang harus diberantas. Ketidakadilan jender bisa “dibunuh” dengan sikap santun, arif, dan hikmah. Sikap permusuhan jender bisa “dibasmi” dengan pengertian dan keadilan yang membuat orang (laki-laki ataupun perempuan) jadi susah untuk melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap orang (atau jenis) lainnya dan itu, menurut penulis, harus dilakukan melalui proses kependidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Peningkatan SDM dengan pendidikan perempuan di antaranya sangat signifikan dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak (juga ibu/perempuan itu sendiri). Demikian dikatakan oleh Nicole Mellinton dan Lisa Cameron yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (Desember 1999). Dalam pengalaman sehari-hari kita temukan bahwa pendidikan berperan penting dalam menaikkan kesejahteraan seseorang. Pendidikan yang lebih baik memberikan upah yang lebih baik dibandingkan mereka yang pendidikannya kurang dan manfaat positif lainnya
Di antara hal-hal praktis yang bisa dilakukan di samping proses pemberdayaan yang dilakukan secara kontinue lewat pendidikan adalah:
1. Memberlakukan sistem kuota (30% misalnya) yang mampu merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai langkah awal dengan memberikan tekanan pada opportunity atau kesempatan dan mementingkan kualifikasi sebagai dasar pertimbangan untuk membuat persaingan jadi fair.
2. Mempertimbangkan One door policy dalam setiap pengambilan kebijakan, agar kebijakan yang diambil tidak mengensampingkan pertimbangan relasi jender.
3. Melakukan affirmative action. Untuk memberikan perempuan kesempatan yang lebih besar bisa menikmati pendidikan, pemerintah harus menjalankan perannya secara aktif dengan pemberian beasiswa yang mengutamakan anak perempuan juga bisa menjamin tidak melebarnya kesenjangan jender dalam pendidikan. Tentu saja, affirmative action ini akan selalu ditinjau agar laki-laki dan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Affirmative action merupakan tindakan pro-aktif untuk menghapuskan diskriminasi yang berbasis jender dan kelas. Pemerintah telah mengeluarkan UU nomor 21 tahun 1999 mengenai Penghapusan diskriminasi perempuan dalam pekerjaan dan jabatan.
4. Pembentukan jaringan. Perempuan dapat mempelopori upaya pembenahan, dengan cara membentuk jaringan kelompok konsumen misalnya di sektor air minum, listrik dan lain-lain.
5. Membuat gerakan perempuan yang mampu melihat spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif, secara sadar atau tidak sadar, kelompok atau organisasi yang memberikan tekanan terhadap penghapusan aspek subordinasi jender yang berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti didasarkan atas prefensi kelas, ras, etnis, usia, dan seks. Gerakan ini membangun identitas mereka dalam tindakan dan dalam merefleksikan pengalaman penindasannya. Gerakan sosial bisa berupa jaringan yang tidak tampak dari kelompok-kelompok kecil yang muncul di tengah kehidupan sehari-hari. Manusia politik the personal is political. Tidak ada satu pun hal di ruang privat yang tidak bersifat politis dan bahwa apa yang didefinisikan sebagai kepentingan pribadi senantiasa berkaitan dengan kepentingan umum di ruang publik., Ada “politik susu” dan “politik nasi bungkus” seperti demo (SIP) Suara Ibu Peduli di Bundaran Hotel Indonesia pada Februari 1998 lalu dan saat demonstrasi penurunan Presiden Soeharto. Yang terpenting adalah bagaimana perempuan bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan, di samping memperoleh kesehatan dan pendidikannya secara layak.
6. Membuat perencanaan yang sensitif jender dengan dasar data, kemudian membuat anggaran, program atau proyek misalnya data jumlah perempuan buta huruf di Jawa yang dua kali lebih tinggi dari jumlah buta huruf pada laki-laki

V. SEKILAS KRITIK
Ada beberapa kritik terkait dengan penelitian pendidikan dalam perspektif gender di antaranya:
1. Penelitian pendidikan banyak yang dilakukan dengan masalah yang kurang fokus dan kurang komprehensif karena sebagian di antaranya karena mengejar waktu sehingga kurang tajam dan menggigit.
2. Sering terjadi pengulangan dengan variasi tempat atau lokasi penelitian.
3. Hasil Penelitian pendidikan dan penelitian sosial pada umumnya dalam perspektif gender dirasa kurang operasional dan belum mampu menjawab tantangan pendidikan ke depan.


Lampiran I
METODE PENELITIAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ATHIYAH AL-ABRASYI

1. Sumber Data

a. Sumber data primer penelitian ini adalah karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi khususnya kitab al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, diterbitkan di Beirut, Dar al-Fikr, tt., dan buku-buku yang membahas tentang pendidikan, gender dan feminisme.
b. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku lain yang berkaitan dengan tema dan hasil diskusi dengan berbagai pihak yang menguasai dan menggeluti bidang yang sedang penulis teliti.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Library research, dengan teknik penelusuran pelbagai literatur yang ditulis atau yang berkaitan dengan Athiyah, khususnya yang berkaitan pendidikan perempuan.

3. Metode Analisa Data

Metode yang dipakai dalam menganalisis data yang terkumpul adalah metode analisa kualitatif dengan menekankan pada analisa deduktif-induktif-komparatif. Metode deduktif digunakan guna memperoleh identifikasi detail pemikiran Athiyah dan pemikir lain tentang pendidikan perempuan. Metode induktif digunakan untuk mendapatkan peta pemikiran ahli pendidikan dan feminis tentang tema yang diangkat. Adapun metode komparatif berguna untuk membandingkan antara pemikiran Athiyah dengan pemikir-pemikir tentang pendidikan perempuan lain yang relevan.
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan teologis-filosofis. Dalam arti pemikiran al-Abrasyi yang berasal dari doktrin keagamaan tersebut dianalisa dan diinterpretasi dengan melihat latar belakang sosio-kultural dan politik kapan dan di mana pemikiran itu muncul sekaligus dengan menggunakan pisau bedah logika dan filsafat sehingga nilai rasionalitas dan obyektifitas dapat diperoleh. Sedang untuk analisa isi (content analysis) menggunakan metode hermeneutik yaitu kajian filosofis tentang bagaimana melakukan interpretasi di balik ungkapan bahasa Athiyah.


















Lampiran II
METODE PENELITIAN BAHASA ARAB DALAM PERSPEKRIF JENDER

Karena penelitian merupakan penelitian lanjutan, data diperoleh dari hasil penelitian, buku atau kitab yang sebelumnya telah mengkaji tentang kata dan struktur bahasa Arab dan kitab-kitab Nahw-sharf. Dari data awal tersebut kemudian dikatagorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan metode analisis jender dan sensitifitas gender yang dimiliki peneliti. Dari data yang telah terkumpul kemudian penulis lakukan analisa semantik untuk mendapatkan kedudukan dan pengertian yang tepat dan dilakukan pendekatan philopical history dan sosioliguistik untuk mendapatkan historical backgraund-nya.
Kemudian untuk mengetahui makna dan kontekstualisasinya digunakan metode hermeneutik sebuah teory of the interpretation (E. Sumargono, 1995:24) untuk menggali pesan-pesan yang berada di balik ungkapan bahasa. Atau dengan kata lain hermeneutik yang merupakan filsafat tentang bagaimana melakukan tafsir atau filsafat interpretasi tersebut difungsikan untuk mengungkap makna yang terdapat dalam bahasa Arab. Metode analisis ini dipakai untuk melengkapi teori pembuktian di atas agar aman dari penyusupan yaitu dengan melakukan pemahaman atas teks yang dikaitkan dengan situasi pembaca (Jurnal Ulumul Qur’an, 1992: 120, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 16 dan Komaruddin Hidayat, 1996: 24). Setelah itu untuk memantapkan pemahaman dilakukan kajian comparative linguistics (‘ilm al-lughah al-muqaran).
* Disampaikan pada acara Workshop Nasional Metodologi Penelitian Berperspektif Jender pada tanggal 12 – 16 Desember 2003 di Hotel Ardi Kencana Baturraden Purwokerto.
** Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

Tidak ada komentar: