Minggu, 09 Maret 2008

HIV/AIDS dan Kehormatan Perempuan

HIV/AIDS DAN KEHORMATAN PEREMPUAN
Oleh. Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag [1]




Kegelisahan seseorang dan komunitas semakin bertambah tatkala problem HIV/AIDS semakin mendekat dengan lingkungan hidupnya. Penyakit ini membuat setiap orang “mrinding” karena obat untuk menyembuhkannya belum ditemukan, baru ada obat untuk mengantisipasinya itupun dengan biaya yang sulit dijangkau oleh masyarakat awam. Semua segmen seakan tidak tersisa telah terkena HIV ini, termasuk kalangan pelajar dan mahasiswa. Melibatkan lembaga intra dan ekstra kampus merupakan salah satu pendekatan yang harus ditempuh agar mereka mempunyai tanggungjawab yang sama terhadap kasus HIV/AIDS. [2]
Kekompakan ini diperlukan karena HIV/AIDS ini semakin dekat dengan kehidupan kita dan bisa menghilangkan rasa tentram bagi kehidupan umat. Malapetaka terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini adalah epidemi HIV/AIDS. Secara global, 60 juta lebih orang telah terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) penyebab AIDS (Acquired immune Deficiency Syndrome). Sejak ditemukan kasus pertama tahun 1979 di Copenhagen dan disusul beberapa kasus serupa di San Francisco, Los Angeles, dan New York tahun 1981 hingga saat ini seakan tiada hari tanpa berita AIDS. Termasuk di Indonesia sejak Departemen Kesehatan baru mengakui tahun 1987 ada kasus AIDS pertama, rasa ketakutan begitu menghantui semua kalangan. [3]
Menurut dr. Nafsiah Mboi, SpA MPH, ketika memberikan konferensi pers pada hari terakhir Konsultasi Global untuk Pembuat Kebijakan bagi Wanita dan AIDS di Genewa 1995 bahwa setiap menit setiap hari sepanjang tahun, dua orang wanita di dunia terinfeksi HIV, dan setiap dua menit seorang wanita meninggal karena AIDS. Setelah mengemukakan data tersebut ia berkata “terlalu mahal nilai hilangnya kehidupan ini bagi dunia”. [4]
Kengerian terhadap HIV/AIDS mengundang semua orang untuk terlibat dengan pendekatan dan teknik yang beragam. Semua perilaku positif (amal shalih), termasuk upaya penanggulangan HIV/AIDS akan mendapatkan imbalan berupa kehidupan nyaman, tentram, dan sejahtera (hayatan thayyibah), kehidupan mendapatkan limpahan karunia-Nya.

Jaring Problem HIV/AIDS
Membincang HIV/AIDS seperti menelusuri jaring laba-laba. Penyakit ini memiliki keterkaitan dengan banyak hal yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung, di antaranya:
1. Kesehatan. HIV/AIDS merupakan penyakit yang mengerikan bagi setiap individu termasuk bagi individu yang biasa berdekatan dengan HIV/AIDS tersebut. Meski mengancam kesehatan individu, tetapi tugas menjaga kesehatan merupakan kewajiban individual sekaligus sosial.
2. Agama dan Moral. HIV/AIDS terjadi karena ada pelanggaran terhadap norma dan ajaran agama. Berawal dari pelanggaran tersebut kemudian berkembang menjadi momok bagi komunitas sosial karena penyebaran penyakit tidak mungkin selektif, dapat mengena siapa dan kapan saja. Seorang yang alim dan bijak dalam hidupnya pun memiliki kemungkinan untuk tertular, meskipun individu yang displin tersebut lebih mudah untuk menghindarinya dari pada bagi individu yang belum mampu mendisiplinkan diri terhadap pelaksanaan agama.
3. Keadilan Sosial. Karena penyakit tidak membedakan kualitas personal dalam kedisiplinan dan ketaatan, maka penyebaran HIV/AIDS jika tidak segera ditanggulangi akan mengenyampingkan nilai keadilan sosial. Dalam konteks ini, mereka yang tidak bersalah bisa terkena “adzab” ini, sementara yang biasa bermain-main terhadap penyakit ini bisa bebas tanpa tanggungjawab.
4. Keadilan Gender. Saat penyakit ini ditemukan dan berkembang ada keyakinan bahwa penyakit ini disebabkan oleh hubungan seksual bebas, dan yang tertuduh pertama adalah PSK, perempuan. Perilaku seks bebas yang biasanya berawal dari pornoaksi dan pornografi selalu menuding perempuan. Semua sebab terjadinya seks bebas cenderung dialamatkan pada perempuan sebagai “biangnya”. Meskipun pada hakekatnya laki-laki juga melakukan hal yang sama. Pemberdayaan perempuan akan mampu meminimalkan steriotip dan labeling seperti ini. Pendidikan perempuan diperlukan agar perempuan berkualitas dan mampu berjalan seiring dengan laki-laki dengan sama-sama terhormat dan bermartabat. [5]
5. Peran lembaga sosial-keagamaan dan pemimpin agama. HIV/AIDS ini merupakan tandatanya besar terhadap peran lembaga sosial keagamaan sepertu NU dan Muhammadiyah. Dalam skop lokal dan kecil, pertanyaan juga ditujukan pada tokoh-tokoh lokal yang langsung bersentuhan dengan umat. Kyai atau ustadz yang memakmurkan masjid maupun musholla selama ini terpaksa diakit-kaitkan dan dipertanyakan peran aktifnya.[6] Sebenarnya, lewat masjid ini sosialisasi akan bahaya HIV/AIDS bisa dilakukan lebih efektif dan efisien karena langsung menyentuh umat (gressroot). Peran tokoh agama dan lembaga keagamaan sedang dievaluasi, bagaimana strategi dan pendekatan dakwahnya apakah sudah efektif.
6. Politik dan kepemimpinan. Keberhasilan kepemimpinan di antaranya dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Kesehatan merupakan bagian dari indikator kesejahteraan tersebut. Jika fungsi kepemimpinan ini, “tasharuf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah” tidak berhasil diemban berarti pemimpin tersebut gagal dalam kepemimpinannya.
7. Kehidupan seks dan lembaga keluarga. Keinginan untuk memperoleh kepuasan hubungan seks (rekreasi) dengan mengenyampingkan fungsi keluarga dan hubungan suami istri sehingga seseorang melakukannya tidak hanya dengan pasangan sahnya menunjukkan pemenuhan kebutuhan seks telah beralih dari kepentingan untuk mendapatkan keturunan (prokreasi) dan pengikat cinta suami istri beralih ke pemuasan nafsu libidonya sehingga nafsu ini menguasai sepak terjang seseorang dalam berinteraksi sosial dan dalam memandang dunia yaitu dorongan physical and emotional pleasure, kenikmatan fisik dan emosi yang terpenuhi dengan gemerlap duniawi: kekuasaan, kekayaan, popularitas dan yang terpenting adalah sexual pleasure, kenikmatan seks dan akhirnya menjadi budak seks. Kondisi demikian menunjukkan lembaga keluarga tidak lagi terhormat dan berwibawa. HIV/AIDS dapat menunjuk pada fungsi keluarga yang semakin menurun.
Ketujuh hal ini harus mendapatkan perhatian serius dan dipecahkan secara holistik. Kebijakan integratif dengan melibatkan sebanyak mungkin komponen merupakan ajaran spiritual yang akhir-akhir ini kurang diperhatikan. Ekspresi cinta (spiritual) di antaranya adalah kemauan untuk menyelesaikan kasus dengan hati yang tulus juga terbuka untuk bekerjasama dan menerima masukan dari siapa pun.

Kesehatan dan Tingkat Spritualitas Umat
Islam mewajibkan umat untuk menjaga lima hal (al-dharuriyat al-khams)[7] dan harus dipenuhinya agar memiliki standar sehat:
1. Agama (hifdh al-din). Agama diperlukan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama. Berbagai rukun penegakan agama harus dijaga konsitensinya dan kontinyuitasnya. Komitmen seseorang yang tinggi kepada agama akan memperkuat komitmen sosialnya. Agama harus dipertahankan, dijaga, dan dikembangkan secara inklusif. Jihad dimaknai untuk menjaga eksistensi agama yang berdimensi kemanusiaan.
2. Jiwa dan nyawa (hifdh nafs). Jiwa dan nyawa harus dijaga dengan menjaga kesehatan jasmani dan rohani dengan makan, olah raga agar fungsi fisik berjalan normal dan sehat, serta melakukan kegiatan sosial-spiritual agar jiwanya tentram.
3. Akal (hifdh al-aql). Akal atau IQ difungsikan secara maksimal untuk kemaslahatan dan dijaga dari setiap hal yang merusaknya seperti mengkonsumsi minuman keras, narkoba, dan negative thinking.
4. Keturunan (hifdh al-nasl). Keturunan harus dijaga dengan menghormati lembaga keluarga. Keturunan dinyatakan sah jika lewat pernikahan yang sah. Larangan melakukan perzinahan, pemerkosaan, pelacuran, membuka aurat, dan berkhulwath adalah didasarkan oleh spirit menjaga keturunan.
5. Harta benda dan modal (hifdh al-mal). Kekayaan merupakan komponen penting dalam hidup manusia yang harus diusahakan dengan cara yang halal dan sesuai dengan aturan untuk mendapatkan kepemilikan yang sah. Kerja keras diwajibkan dan kemalasan dalam bentuk apapun dilarang karena akan mengakibatkan berbagai efek negatif. Merampas hak orang lain dengan mencuri, korupsi, dan menipu dilarang karena bertentangan dengan hak kepemilikan.
Kelima hal tersebut, oleh Abdul Wahab Khalaf ditambah dengan menjaga kehormatan (hifdh al-‘aradl).[8] Setiap proses mempertahankan eksistensi diri, harus tetap menjaga nilai kehormatan diri dan sosial secara bersama-sama sehingga tidak terjadi proses diskriminasi dan marginalisasi terhadap orang lain.
Dalam perspektif spiritual, kesehatan amat terkait dengan agama karena semua aktifitas bisa bermakna agama jika didasari niat dan cara yang tidak melanggar agama. Di sisi lain, dalam proses peribadatan terbaik mensyaratkan kesehatan prima. Shalat khusyu’, misalnya sulit terbangun pada diri seseorang yang sakit. Implementasi shalat seperti perhatian terhadap anak yatim, melakukan pendampingan terhadap yang miskin [9] hanya bisa dilaksanakan dengan lebih sempurna oleh orang-orang sehat. Kesehatan dan peribadatan memiliki keterkaitan erat yang satu membutuhkan yang lain. Dalam kaidah ushul disebutkan al-amru bi sya`in amrun bi wasa`ilihi, setiap perintah terhadap suatu (peribadatan) berarti juga perintah terhadap setiap media atau alat untuk melaksanakannya.
Pada kondisi kesehatan tertentu yang tidak dimungkinkan seseorang untuk melakukan proses peribadatan maka ia diberikan dispensasi untuk meninggalkan ibadah tersebut. Al-dharurat tubih al-mahdlurat. Sementara, idealitas seorang hamba, makhluk di sisi Tuhan adalah memiliki komunikasi dan interaksi yang dibangun terus secara kontinyu. Kontinyuitas komunikasi spiritual itu hanya bisa terlaksana dengan baik jika seseorang memiliki kondisi kesehatan yang prima.
Semakin tinggi tingkat spiritual seseorang, semakin tinggi pula perhatiannya terhadap kesehatan, karena dalam kaidah ushul dinyatakan “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib”. Suatu yang berfungsi sebagai penyempurna pelaksanaan kewajiban maka sesuatu itu juga wajib. Tingkat spiritual yang tinggi akan membuat seseorang menjadi lebih tenang karena tidak dihinggapi rasa takut dan sedih. Penyakit itu menyedihkan karenanya harus segera diatasi dengan bijak dan tetap berpijak pada harapan untuk mendapatkan karunia-Nya.


Setiap Komponen Harus Menjaga Kesehatan
Semua orang membutuhkan kesehatan. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan lingkungan fisik di mana ia tinggal dan berinteraksi. Sulit ditemukan kesehatan yang tidak bergantung pada kesehatan lainnya. Sulit ditemukan orang nyaman di samping anak-anak yang kena flu burung dan HIV/AIDS. Sulit untuk shalat khusyu’ di samping jamaah yang sedang “pameran batuk”.
Logika sederhana tersebut memberikan spirit bagi semua individu dalam konteks sosial untuk melakukan penjagaan kesehatan terhadap diri dan lingkungannya. Penjagaan kesehatan diri mengharuskan untuk melakukan penjagaan terhadap lingkungan jika seseorang menginginkan hidup dalam esensi kesehatannya. Ketentraman hidup seseorang bergandeng erat dengan ketentraman hidup orang lain. Kepedihan seseorang akan berpengaruh kuat pada kepedihan orang lain.

Bagaimana Mencegah HIV/AIDS
Sebagaimana diketahui bahwa HIV bisa tertular pada orang lain dengan 4 cara yaitu 1) melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV tanpa perlidungan, 2) melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, 3) seorang ibu yang mengidap HIV bisa menularkannya kepada bayi yang dikandungnya, dan 4) melalui pemakaian jarum suntik, akupuntur, jarum tindik, dan peralatan lain yang telah dipakai oleh orang yang terinfeksi HIV.[10] Jika dilihat dari asal munculnya penyakit ini, HIV/AIDS terjadi karena penyimpangan seksual dan seks bebas seperti pelacuran, juga lesbian dan homo. Untuk yang terakhir seks dilakukan dengan sodomi yang dalam al-Qur’an disebut dengan liwath.[11]
Apabila ditilik dari “pembuka” malapetaka ini dari hubungan seksual yang menyimpang, maka secara spiritual dapat diajukan beberapa solusi.[12] Karena problem ini memiliki jaring-jaring yang kuat dan saling terkait maka setiap penyelesaian ini harus diikat oleh suatu yang mampu merekatkan antar komponen dan potensi yaitu “Cinta”. Adapun langkah pencegahan yang harus dilakukan yaitu :
1. Menjaga kehormatan pernikahan sebagai satu-satunya cara untuk melegalkan hubungan seksual agar setiap individu lebih mampu menjaga kesehatan reproduksi dan memperoleh ketenangan batin. Apabila suami atau istri terkena HIV/AIDS, diharapkan suami atau istri menjadi “dokter pribadi” yang dengan kasih sayangnya melakukan proses penyembuhan sambil menahan gejolak nafsu seksual, atau tetap melakukan hubungan seks dengan menggunakan kondom, tetapi apabila hal itu tidak mungkin dilakukan dengan berbagai alasan yang bisa diterima, ada alternatif poligami dan cerai bagi suami atau khulu’ (gugat cerai) bagi istri. Menceburkan diri untuk tertular HIV dilarang,[13] meskipun dalam kerangka untuk “melayani” suami/istri.
2. Membina keluarga mashlahah dengan ciri sakinah (tentram), mawaddah wa rahmah (cinta-kasih-sayang), ilmiyah (berdasar ilmu, dinamis) dan tha’ah (setia pada agama dan keluarga). Keluarga mashlahah akan meningkatkan dinamika dan kualitas anggota keluarga.
3. Menutup Aurat dan menghindari pornogarafi dan pornoaksi. Pepatah mengatakan “Dari mata turun ke hati”. “Alah bisa karena biasa”. Dua pepatah ini sedikit mempermudah untuk mengkaitkan antara HIV/AIDS dan aurat. Pornografi disebut sebagai substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotik sedang pornoaksi dimaknai serupa dengan lebih menunjuk pada aktivitas atau perilaku orang atau individu. Pornografi dan pornoaksi dalam bentuknya yang paling primitif telah ada sejak manusia pertama diciptakan dan semakin jelas dengan perkembangan jaman dan terutama kemajuan teknologi. Membuka aurat hanya diajurkan di samping dan untuk kesenangan suami atau istrinya.
4. Memperadabkan Iklan, film, sinetron, dan infotainment. Dalam masyarakat kontemporer saat ini, Iklan telah menjadi “sesuatu yang nyata” (the real thing), artinya bukan sekadar sebuah representasi. Kita hidup di zaman sebuah representasi menjadi realitas, oleh karenanya menarik juga barangkali melihat bagaimana di balik lahirnya representasi itu. Penggunaan sosok perempuan, dalam iklan, film, dan sinetron seringkali menyorot pada bagian perempuan-perempuan muda pada bagian kaki/betis – bagian yang dalam penelitian Tamrin Amal Tomagola dari UI, termasuk bagian yang paling sering dieksploitasi selain dada, punggung, pinggul, rambut, dan bibir ( Kompas, 22 Juli 2001). Jika “Pameran Aurat” itu termasuk perzinaan mata, lebih tragis lagi ada perzinaan melalui kontak “jual beli” perempuan (atau laki-laki) dalam rangka pelayanan kenikmatan seks suka-sama suka juga “perdagangan” dalam arti yang sebenarnya seperti jual-beli keperawanan (keperjakaan). Selain itu juga ada jual-beli alat-alat hubungan seks yang secara bebas dapat diakses oleh masyarakat. Yang sulit untuk dikendalikan adalah situs di internet yang menyuguhkan berbagai model dan variasi prilaku erotik baik lewat tulisan maupun gambar.
5. Setiap individu memberikan uswah atau keteladanan hidup yang sehat dan beradab. Keteladanan ini, khususnya dalam masyarakat paternalistik, mengharuskan pemimpin politik, agama, dan masyarakat untuk memulainya jika menginginkan agar program penyehatan ini berjalan lancar.
6. Silaturrahim antar potensi dengan membuat jaringan untuk saling melengkapi, memperkuat, dan memperluas jangkauan programnya. Untuk membangun jaringan kebencian dan kecurigaan agar diminimalkan sedang kepercayaan dan rasa optimis harus dikembangkan.

Mengatasi Masalah dengan Cinta.[14]
Setiap penyelesaian kasus atau masalah apapun seperti HIV/AIDS dengan perspektif spiritual, meniscayakan keterlibatan daya sentuh emosi yang dimiliki oleh setiap orang yaitu “cinta”. Sebagai makhluk, semua manusia pasti memiliki kekurangan. Manusia membutuhkan Khalik, Sang Pencipta dan membutuhkan juga sesama makhluk untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Pengakuan seseorang akan keterbatasan diri berarti ia telah memproklamirkan diri “bisa salah dan lupa” dan juga berarti ada kesadaran untuk introspeksi dan memperbaiki diri, melakukan kontrol sosial, dan secara bersama menuju karunia dan ridlo Tuhan dengan berempati dan saling membantu terhadap sesama.
Dalam bingkai spiritual, kebencian –meski manusiawi—tetap dilarang, Jika kebencian pernah terlintas di hati dianjurkan untuk membersihkannya. Kebencian dalam bentuk apa pun akan menimbulkan konflik dan kegersangan jiwa. Kebencian menurunkan nilai kemanusiaan sampai pada tingkat paling rendah, bahkan bisa lebih rendah dari binatang. Cinta menjadi dasar untuk mendekatkan manusia dengan Tuhan dan kepada sesama makhluk. Dengan cinta manusia beribadah dan dengannya ia memupuk kemanusiannya untuk hidup harmoni dengan alam.
Indikator cinta di antaranya adalah berempati kepada sesama terutama mereka yang menerima cobaan dan dalam posisi lemah dan marjinal. Mereka yang menerima cobaan di antaranya mereka yang terkena penyakit (termasuk HIV/AIDS), pelaku maksiat (seperti PSK), dan fakir-miskin. Berempati kepada mereka dengan menghadirkan hati dan perilaku untuk kemaslahatan dan masa depan mereka dengan cara yang bijak dan seukur dengan kemampuan yang dimiliki. Jika HIV/AIDS merupakan “penyakit tingkat tinggi” yang meresahkan, maka individu dan komunitas mana pun dipanggil untuk terlibat secara manusiawi untuk mencari ridlo Tuhan, bukan malah meninggalkan atau mengisolasinya.
Mengungkap kelemahan orang lain disertai kemarahan akan membuat diri dalam kebencian dan lepas kontrol. Kemarahan membuat orang kurang proporsional dan merasa benar dan bersih sendiri. Jika HIV/AIDS dianggap aib yang harus dibenci, maka penyakit ini akan tetap mewabah dengan logikanya sendiri karena kurang mendapatkan sapaan yang ramah.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.

[1] Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.
[2] Saat diminta berbicara tentang HIV/AIDS dalam “Simposium HIV/AIDS” pada tanggal 9 September 2006 di RS. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, penulis mendapatkan pertanyaan, kenapa sosialisasi HIV/AIDS belum sampai menyentuh ke kalangan mahasiswa. Bagaiamana peran mahasiswa termasuk mahasiswa STAIN ?. Pada saat ini jawaban penulis menjadi realita, bahwa mahasiswa STAIN memberikan bukti riil keperduliannya terhadap penyakit mematikan ini.
[3] Data yang lebih lengkap di antaranya dikemukakan oleh Irwan Julianto, Jika Ia Anak Kita: AIDS dan Jurnalisme Empati (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002). Dalam buku ini dikemukakan berbagai data dan kasus dari berbagai negara. Sebagai seorang wartawan, penulis telah menunjukkan rasa empatinya lewat kerja sebagai jurnalis profesional.
[4] Ibid. hlm. 237.
[5] Terkait dengan perempuan lebih lanjut baca buku penulis Pendidikan Perempuan (Yogyakarta: Gama Media dan STAIN Purwokerto Press, 2003). Buku ini memberikan informasi tentang bagaimana memposisikan perempuan, melakukan peningkatan martabat dan kehormatannya dengan peningkatan SDM, dan pada bagian akhir, buku ini juga mengkaji sosiolinguistik tentang bahasa dan perempuan di Arab.
[6] Masjid memiliki fungsi edukasi bagi umat, termasuk memberikan penyadaran terhadap bahaya HIV/AIDS. Optimalisasi peran dan fungsi masjid untuk pendidikan dan kepentingan kemaslahatan umat yang lebih luas, lebih lanjut baca buku penulis Menggugat Fungsi Edukasi Masjid (Yogyakarta: Grafindo-STAIN Press, 2005).
[7] Tentang lima hal ini sekilas dijelaskan di antaranya oleh Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1977), hlm. 200-201.
[8] Ibid. hlm. 201. Abdul Wahab Khalaf tetap mengklasifikasikannya menjadi lima hal yang semestinya menjadi enam, karena ia menggabungkan hifd al-nasl dengan hifdh al-nafs.
[9] QS. Al-Ma’un: 1-6. Shalat, dalam ayat ini, berdiri paralel dengan komunikasi sosial dan keberpihakan kepada kaum mustadh’afin, masyarakat lemah yang membutuhkan pendampingan dan pemberdayaan.
[10] Alizar Isna, dkk. Penanggulangan PMS & HIV/AIDS pada Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Ford Foundation & PSKK UGM, 2005), hlm. 2.
[11] Prilaku penyimpangan seksual, liwath atau sodomi ini pernah dilakukan oleh umat Nabi Luth. Perilaku demikian dilarang keras oleh Islam dan bagi mereka akan mendapatkan “siksa” yang berat.
[12] Solusi yang pernah diajukan kepada pemerintah di antaranya melalui penyuluhan (yang sering hanya formalitas), melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang dimulai dari anjuran untuk mengubah kegiatan seksual yang menyimpang, meningkatkan kesejahteraan dan tetap komit terhadap keluarga, dan penggunaan kondom. Secara global penanggulangan itu dengan trilogi strategi yaitu improving good behavior, changing the bad behavior, dan sexual transmission disease control. Masukan tersebut di antaranya dapat di baca dalam Prisma 3, Maret 1995, terutama halaman 45 – 57.
[13] Dalam perspektif Fiqh, ada tiga belas aib nikah (macam penyakit atau cacat yang bisa dijadikan alasan pemutusan akad nikah di antaranya lepra (judzam) dan gila (junun). Penjelasan ini dapat ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh klasik. Dalam bahasa yang sederhana dapat dibaca Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 290-294.
[14] Dasar cinta ditemukan dibeberapa ayat dan hadis juga kitab suci agama manapun. Cinta menjadi standar tingkat spritualitas seseorang.

1 komentar:

Ab. manan mengatakan...

aku abdmanan lamongan
blog saya www.abmanan.blogspot.com
di smp aku ngajar TIK dan english
ini mau saya daftarkan elearning diserver