Rabu, 05 Maret 2008

ISLAM AKOMODATIF TERHADAP BUDAYA LOKAL

ISLAM AKOMODATIF TERHADAP BUDAYA LOKAL
(Studi tentang Dialektika Budaya Jawa dengan Islam)
Oleh. DR. H. Moh. Roqib, M.Ag. *


Tulisan ini bermula dari perbincangan penulis dengan seorang kawan dekat penulis, Sahiron Syamsudin, Ph.D. Saat itu ia baru saja menginjakkan kaki di tanah air setelah beberapa tahun studi program doktor di Jerman dan diulang pada saat kami berdua sama melakukan studi banding ke Maroko pada akhir Januari sampai awal Pebruari tahun 2008 yang lalu. Perbincangan bermula dari pertanyaan mengapa Islam di Indonesia bisa berkembang dengan damai dan masyarakat Muslim selalu hidup beriringan dengan masyarakat yang beragama lain dengan damai. Dan lebih menarik lagi, agama Islam di Jawa ini menjadi agama mayoritas penduduk pulau ini padahal saat Islam datang dibawa oleh para pedagang dan muballigh itu, pulau ini dikuasai oleh pemerintahan kerajaan Hindu-Budha. Penulis berpendapat, bahwa hal itu disebabkan karena para pedagang Muslim yang berdakwah saat itu menggunakan pendekatan ”akomodatif” dengan budaya lokal. Sikap akomodatif yang oleh pesantren di Jawa disebut dengan pendekatan tasamuh, tawazun, dan tawasuth tersebut memberikan ”ruang dialog” damai-harmonis bagi semua komunitas (antar agama) yang ada saat itu untuk mencerna kehadiran agama baru di Jawa atau nusantara. Mereka lebih memilih pendekatan ”tasawwuf” yang mementingkan perdamaian, keharmonisan, dan mentolerir berbagai perbedaan daripada memaksimalkan jumlah pengikut ajaran dengan cara ”teologis” dan ”fiqh” yang selalu membincang tema-tema muslim-kafir, Islam-murtad, syirk, bid’ah dan semacamnya. Jika, pendekatannya yang terakhir –masih menurut pendapat penulis--- Islam tidak akan berkembang pesat seperti yang kita lihat sekarang ini.
Sahiron sepakat dengan yang penulis sampaikan, ia menambahkan bahwa sikap akomodatif para muballigh tersebut sebagai penentu keberhasilan Islam masuk di Indonesia. Tanpa sikap akomodatif mustahil Islam bisa berkembang dan menjadi mayoritas seperti saat ini. Watak dan budaya lokal Jawa dan Nusantara tidak memungkinkan dilaksanakan dakwah dengan pendekatan lain semisal purivikasi atau pemurnian yang cenderung literalis dan tekstualis. Masyarakat Jawa yang cenderung sensitif, selalu menggunakan bahasa ”tepa slira” atau ”ewuh pakewuh” yang mengukur diri dan orang lain dengan standar ”rasa” yang tinggi.
Perbincangan ini dikembangkan dengan memperhatikan beberapa sesanti Jawa semisal; mikul duwur mendem jero, menjunjung tinggi terhadap jasa orang tua dan pemimpin serta melupakan dalam-dalam kesalahannya, dalam arti orang Jawa harus mampu menghormati orang lain secara baik. Ngana ya ngana neng aja ngana, [1] meskipun seperti itu, tapi jangan begitu yang berarti meskipun orang tua atau pemimpin melakukan kesalahan tetapi jangan ”sembarangan” melakukan kritik tampa mempertimbangkan waktu dan tempat yang sesuai dengan kondisi sosial psikis orang tua atau empan papan. Dan masih banyak lagi sesanti Jawa yang menunjukkan bagaimana rasa orang Jawa itu begitu kuat. Gendu-gendurasa dengan Sahiron kemudian diakhiri dengan pemahaman bahwa penyadaran dan pemberdayaan model para wali yang dikembangkan berikutnya oleh pesantren yang akomodatif tetap relefan untuk dilakukan bagi siapapun yang menginginkan kemajuan dan kedamaian menyatu dalam kehidupan umat.
Tulisan berikut difokuskan untuk menjawab pertanyaan mengapa sikap akomodatif demikian penting dan berkembang di masyarakat Jawa dan mengapa pesantren melakukan akulturasi budaya secara akomodatif. Jawaban berikut dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang lebih ”njawani” dan penulis berusaha untuk tidak berkutat pada ”dalil-dalil” formal keagamaan, kitab suci Qur’an dan Hadis. Jika dalil-dalil tersebut dikemukakan hal itu hanyalah bagian dari upaya melengkapi perjalanan pemikiran yang njawani itu.
Jawaban ini diperlukan untuk merespon berbagai tuduhan bid’ah, murtad, dan semacamnya yang merugikan bagi proses dinamisasi dan kreasi positif yang selama ini sedang berlangsung terutama dalam pengembangan kebudayaan muslim kontemporer. Bahwa dalam proses tersebut ada kekurangan atau sebagian dari tujuan ideal Islam belum tercapai itu adalah suatu hal yang wajar dalam setiap perjuangan. Kekuarangan, kelemahan, dan ketertinggalan sebagaian cita-cita yang belum teraih harus ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya bukan malah menyebarkan isyu negatif seperti Ada Pemurtadan di IAIN[2] dan semacamnya yang mengganggu hubungan harmonis sesama Muslim. Jawaban yang mengedepankan sikap akomodatif dengan data-data yang valid.

A. Islam Menyapa Budaya Lokal
Saling sapa Islam dan budaya lokal pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke nusantara. Pedagang menyapa untuk mempromosikan dagangannya sekaligus menawarkan keyakinan keislamannya. Kekuatan ekonomi sebagai simbol kesejahteraan dan keimanan atau kepercayaan sebagai dasar kedamaian didialektikan secara bersamaan oleh para juru dakwah kepada masyarakat. Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi nusantara atau Jawa. Prilaku muballigh yang berdagang untuk kesejahteraan materiil sekaligus berdakwah untuk ketentraman batin-ruhaniyah merupakan pesan penting bagi umat bahwa Muslim yang baik adalah memiliki kekuatan iman kepada Yang Maha Kuasa sekaligus memiliki modal materi dan kesejahteraan dalam hidupnya di dunia. Muslim yang kaya. [3]
Interaksi dalam bentuk saling sapa ini mengakibatkan akulturasi budaya menjadi tidak mungkin terelakkan. Akulturasi ini menguat setelah terbentuk keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.[4] Kekuatan tradisi sosial yang dipengaruhi oleh interaksi antar keluarga dan tradisi politik karena para pedagang Muslim telah masuk wilayah elit kerajaan. Kerajaan Demak Bintara lahir dari proses panjang akulturasi ini.
Jika ditilik lebih jauh akulturas ini telah diawali oleh akulturasi sebelumnya yaitu dari tiga daerah asal para pedagang tersebut. Mereka datang dari Arab (Mekah-Mesir) di mana Fir’aun pernah berkuasa, Gujarat (India) tempat kelahiran agama Hindu-Budha, dan Persia (Iran). Tiga wilayah yang sebelumnya Islam masuk telah berkembang agama lain dan kemudia setelah Islam masuk dua wilayah pertama dikuasai oleh Islam Sunny sedang yang terakhir menjadi pusat gerakan Islam Syi’ah. Ketiganya datang ke Indonesia membawa Islam sehingga menambah varian akulturasi budaya Islam nusantara yang semakin plural. Gelar sultan al-Malik bagi raja kesultanan Samudra Pasai, yang mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir yang bermadzhab syafi’iyah, gaya batu nisan yang mirip dengan budaya nisan di India, juga tradisi syuroan yang menyerupai budaya Iran atau persia yang syi’ah,[5] menunjukkan pengaruh itu begitu kuat dan menjadi cikal-bakal budaya lokal. Pada perkembangannya, budaya Islam nusantara memiliki warna pelangi dengan rasa “rame-rame”.
Secara sosio-politis, prosses akulturasi tersebut terjadi di saat para pedagang dan komunitas muslim sedang memberikan sapaan sosiologis terhadap komunitas nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar dan memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian daerah-daerah ini semakin bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang dibangun di atas tradisi budaya Hindu-budhis yang kuat sehingga peradaban yang berkembang tetap terasa “bau mistik-panteistik”nya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa [6] yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat tersebut juga dapat ditemukan melalui beberapa tradisi kraton Yogakarta dan Surakarta serta masyarakat yang masih berlangsung hingga saat ini.
Sapaan Islam di Jawa yang telah menemukan kekuatan politik dengan berdirinya kerajaan Demak tersebut memiliki ikatan dan hutang budi dari kebudayaan Arab, India, Persia, juga Cina dan dimatangkan oleh budaya nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-budhis. Masyarakat muslim Jawa, karena proses akulturasi ini, menjadikan budaya Jawa Islam memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat Jawa mampu mengkreasi berbagai budaya baru yang labih halus dan berkualitas.[7]
Hasil assimilasi budaya dan akomodasi tersebut adalah berbagai varian keislaman yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great tradition. Hal ini perlu diapresiasi positif bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah bisa berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain. Budaya adalah kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri yang akhirnya akan memberikan kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam.
Artikulasi ajaran Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di Jogjakarta, lebaran di Indonesia. Di Banyumas ada akhir-akhir ini ada kreasi musik Kenthongan yang sebagian lagu-lagunya mengadopsi musik dangdut, pop, dan juga musik salawatan sebagaimana yang dibaca oleh Muslim santri. [8]
Islam di Jawa telah menyapa budaya kejawen di masyarakat dan lingkungan budaya istana (Majapahit) kemudian mengolah unsur-unsur budayanya dan budaya pedesaan (wong cilik). Meski demikian pada awalnya budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana. Untuk itu para da’i agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Meski demikian saat Demak berdiri, kekuatan budaya Islam menduduki posisi strategis dipusat kekuasaan dan di kota pemerintahan, tetapi saat kekuasaan Islam pindah ke Pajang dan kemudian Mataram wajah budaya Islam sedikir berubah karena kejawaannya lebih dominan dan kental.
Perbedaan tempat atau lokasi, apresiasi penguasa, dan rakyat akan mempengaruhi budaya Islam yang berkembang. Kondisi geografis memiliki peran tinggi dalam proses akulturasi. Kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman.yang berpengaruh juga terhadap prilaku penduduknya dalam merespon lingkungan sekaligus membentuk budayanya.[9] Faktor fisiologis-geografis dan suku bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter psikis dan sosial warga yang tinggal di dalamnya.[10] Jawa yang disebut gemah repah loh jinawe, akan membentuk prilaku penduduknya yang khas. Mereka mengharapkan Jawa ini bisa menjadi wilayah yang tata tentren kerta raharja, tertata dengan baik dan rapi sehingga rakyatnya tentram dan makmur-sejahtera.

Masyarakat muslim sebagai komunitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing. Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal-normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup. Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentisitas, tapi lebih pada cara pandang pemeluk Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Jadi, permasalahanya adalah bagaimana kitab suci itu dibaca dan berdialog dengan kasus aktual dan tradisi setempat.[11] Saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreatifitas terbangun berbagai budaya yang terkspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa.

B. Sikap Akomodatif karena Kitab Kuning
Selain karena interaksi sosial secara langsung sebagaimana telah disebutkan, sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa juga terbentuk karena model dan bentuk transmisi keilmuan yang dipilih di pesantren. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa pesantren memiliki peran strategis setelah Islam dibawa oleh para pedagang. Karena pergolakan politik di kerajaan Demak dan pusat kekuasaan pindah ke Pajang, dan kemudian Mataram Kyai yang memimpin pesantren kemudian mengatur strategi dakwahnya dengan minggir ke pinggiran kota atau masuk ke desa dan pinggiran hutan. Sikap akomodasi para ulama pesantren terlihat jelas dari prilaku dan kebijakannya.
Apabila ditelusuri, sikap akomodatif dari aspek transmisi keilmuan Islam di antaranya bisa diumpai dari tradisi kajiannya terhadap kitab kuning. Pesantren melakukan kajian terhadap Kitab Kuning yang ditulis oleh ulama Timur Tengah, Andalusia (Spanyol),[12] dan ulama lain dari beberapa negara yang diakui oleh ulama pesantren yang disebut sebagai ”kitab kuning” yang bisa dijadikan referensi karena telah teruji dapat memberikan altrnatif pemecahan masalah yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Kitab Kuning yang memenuhi persyaratan ini disebut dengan al-kutub al-mu’tabarah yang dijadikan sebagai kurikulum wajib di beberapa pesantren.[13] Dengan menggunakan Kitab Kuning sebagai referensi secara tidak langsung pesantren telah menerima pemikiran ulama dari berbagai daerah yang jelas diyakini terpengaruh oleh budaya lokal di mana ulama tersebut hidup, belajar, dan memperoleh pengalaman spiritual. Di sisi lain kiai yang hidup dalam lingkungan Jawa akan berinteraksi secara langsung dengan ”budaya lokal luar Jawa” melaui kajian kitab kuning sekaligus melakukan interaksi dengan buadaya lokal Jawa melalui hubungan perkawinan, interaksi sosial, ekonomi, dan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian terhadap kitab kuning di pesantren ini terus berlangsung dan berdialog dengan budaya dan politik lokal. Secara politik, Islam dan Jawa berdialog lewat pendirian kesultanan Islam di Jawa, sebagaimana kata Diponegoro[14] yang berulang-ulang mengemukakan bahwa tujuan mendirikan sebuah negara agama (Islam) di Jawa adalah mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawa, membangun citra luhur agama Islam di Jawa. Beragama baginya sama artinya dengan membentuk keluhuran budi pekerti manusia, di samping menjadikan orang sebagai Muslim yang baik dengan melaksanakan tugas-tugas yang lebih khusus, misalnya mematuhi kelima rukun Islam. Pandangan seperti ini dipengaruhi oleh kajian keislaman ala kitab kuning yang dipelajari lewat para kyai pesantren. Dialog demikian terus terjadi dan membuahkan kearifan lokal (local wisdom) atau kearifan tradisional yaitu sebuah wawasan yang memuat kebijaksanaan orang Jawa dalam mengatasi berbagai persoalan hidup. Kearifan tradisional tersebut biasanya bersumber dari wawasan batin para cendikiawan terdahulu,[15] yang telah bersinggungan dengan nilai-nilai Islam dalam literatur klasik (kitab kuning) dan Jawa.
Jargon yang sangat populer di pesantren dalam konteks budaya ini di antaranya “al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-ahd bi jadid al-ashlah”[mempertahankan (tradisi) masa lalu yang baik dan mengambil (tradisi) atau budaya baru yang lebih baik]. Sesanti ini merupakan model interaksi pesantren dalam mengembangkan harmoni yang sehat dengan budaya lokal sekaligus melakukan inovasi-inovasi di dalamnya. Untuk menjaga harmonitas tersebut, pesantren menjadi akomodatif terhadap budaya setempat meski hal demikian terkadang harus dibayar mahal dengan melemahnya greget pengembangan dan kemajuan. Penghormatan terhadap tradisi dan pemikiran masa lalu yang berlebihan membuat pesantren merasa gamang untuk mempelopori perubaan dan pengembangan budaya atau membuat tradisi baru yang lebih konstruktif. Bisa jadi hal ini disebabkan pemahaman yang kurang benar terhadap sesanti mikul duwur, mendem jero.
Sikap akomodatif dan permisif terhadap budaya lokal pernah diceritakan oleh Saifuddin Zuhri, tokoh NU yang berasal dari dunia pesantren, ia menyatakan bahwa :
“Di kalangan pesantren, nonton wayang kulit hampir tidak pernah dipertetangkan apa hukumnya, haram atau boleh. Ada yang mengambil sikap tidak boleh, tidak dijelaskan sampai tingkat apa ketidak bolehannya, apakah haram atau makruh, dengan dalil mendengarkan bunyi-bunyian yang mengasyikkan hingga terlengah dari ingat kepada Allah (dzikrullah), padahal tak ingat kepada Allah hukumnya haram. Lagi pula gercampur baurnya antara penonton pria dan wanita di waktu malam, bisa menjurus pada perbuatan maksiat. Ada juga yang mengambil pendirian boleh, karena konon wayang adalah ciptaan para Wali( Wali Songo) dalam mengasimilasi ajaran agama Hindu ke dalam Islam. Lagi pula orang bisa mengambil intisari pelajaran yang ada dalam lakon-lakon wayang. Dalam cerita Pandawa membangun sebuah candi selalu mengalami kehancuran, pagi dibangun sore harinya roboh, sore dibangun pagi harinya juga roboh. Setelah diteliti, ternyata ada sesuatu sarana paling fundamental yang terlupakan, yaitu tidak ikut disertakannya Jimat kalimasodo (kalimah syahadat). Tetapi baiklah, pasal nonton wayang kulit tidak pernah dipertentangkan bagaimana mengenai hukumnya. Siapa yang suka nontonlah, siapa yang tak suka, tak usahlah pergi nonton. Sebab itu, di antara kiai dan santri terdapat saling toleransi, saling mengambil sikap nafsi-nafsi, yang suka silakan nonton, dan yang tak suka silakan tidur di rumah. .....”.[16]

Menonton wayang sebagai bagian dari budaya lokal, bagi Saifuddin Zuhri, menunjukkan tentang bagaimana tradisi pesantren dalam memegangi hukum asal sesuatu adalah mubah, boleh sehingga ada alasan (‘illat) yang mengharamkannya. Hukum itu bergantung pada alasan yang mendasarinya (al-hukmu yaduru ma’a illatihi). Untuk itu, dalam hal menonton wayang seorang Muslim harus pandai mengambil intisari atau hikmah dari cerita wayang yang dilakonkan oleh Dalang sekaligus menghindari hal-hal yang menyebabkan keharamannya seperti bercampu baur anatara laki-laki dan perempuan saat nonton wayang. Realitasnya, menonton wayang bagi masyarakat Jawa mengalami kesulitan untuk menghindarkan dari percampuran laki dan perempuan, terbukanya aurat bagi pesinden, dan minuman keras atau perjudian. Mendiamkan seperti ini memang terlahir kondisi harmonis tetapi kemungkaran tetap berjalan dengan perubahan yang amat lambat.
Jika diamati bagaimana sikap akomodatif ini berkembang, menurut Kuntowijoyo, disebabkan karena pada umumnya umat Islam (Jawa) mengkaji kitab kuning yang merupakan kodifikasi dari Al-Quran dan Al-Sunnah. Menurut Kuntowijoyo, hasil dari kodifikasi itulah yang dipakai alat untuk berfikir, berkata, dan berbuat. Dekodifikasi di samping sifat positifnya, yaitu terjaganya hubungan antar-teks, juga mempunyai sifat-sifat negatif yang akan terjadi. Sifat negatif itu ialah (1) involutif dan (2) ekspansif. Involutif adalah gejala perkembangan ilmu yang semakin renik. Di pesantren ada kebiasaan untuk mengembangkan pengetahuan dengan menulis buku-buku syarh (pembabaran terhadap kitab induk atau matan) dan hasyiyah (penjelasan terhadap syarh). Tradisi keilmuan seperti ini menunjukkan bahwa ukuran kesempurnaan penguasaan ilmu adalah pengembangan dari buku-buku lama yang sudah dianggap sudah mencapai standard (al-kutub al-mu’tabarah), tidak dalam pengembangan ilmu-ilmu dan pemikiran baru. Di sisi lain, akibat involusi itu terbentuk sikap hormat yang berlebih-lebihan pada guru atau kiai sebagai pemegang otoritas ilmu. Involusi itu juga mengakibatkan tertutupnya pintu ijtihad, karena orang dibuat tidak berani berfikir independen, lepas dari otoritas. Suatu ilmu, misalnya fiqh, sudah dianggap final, sehingga orang hanya harus taqlid. Involusi ilmu ditunjukkan pada penguasaan kitab ad verbatim, kata demi kata bahkan secara hapalan di luar kepala. Ini berarti bahwa tuntutan terpenting bagi santri ialah pada hapalan tidak pada analisis.[17]
Meski tidak semua seperti itu, dunia pendidikan pesantren bisa dikatakan mewakili masyarakat Muslim tradisional. Selama ini pesantren mengembangkan ilmu-ilmu Islam dengan kodifikasi (penjabaran, penafsiran, sistematisasi) dari teks-teks Al-Qur’an dan Hadis. Teks-teks dikodifikasi menjadi teks baru, yaitu ilmu-ilmu Islam. Dekodifikasi adalah gerak dari teks ke teks. Sementara di dunia luar pesantren pada tahun 1980-an ada gagasan Islamisasi ilmu. Ilmu-ilmu yang sudah ada “diislamkan” dengan mengembalikannya pada teks-teks Islam. Islamisasi ilmu adalah gerak dari konteks ke teks. Usaha pengembangan ilmu-ilmu sosial yang mencoba menterjemahkan teks-teks Islam (Al-Qur’an, Hadis, Tafsir, Fiqh, Tasawuf) dalam dunia nyata sehari-hari mestinya segera dilakukan.[18]
Dalam perkembangannya, tradisi pesantren yang akomodatif terhadap budaya lokal bersama dengan kaum modernis --yang sama-sama santri-- berusaha memperoleh jati diri sendiri, sehingga mereka tidak tenggelam dalam budaya abangan dan berakibat pengayaan budaya yang tidak islami. Pesantren pengembangkan peradaban tauhid (theocentric civilization) bersandar pada ketentuan-ketentuan Tuhan untuk hal-hal primer. Selebihnya, ada kebebasan penuh bagi kreativitas manusia untuk hal-hal yang sifatnya sekunder, seperti urusan teknis, strukturasi politik, dan masalah kebudayaan. Kebudayaan santri adalah ahlaq al-karimah,[19] sehingga santri mengembangkan budaya Jawa yang selaras dengan peradaban tauhid.
Meskipun upaya mendekat pada peradaban tauhid ini selalu dilakukan oleh pesantren dalam berkompromi dengan budaya lokal, sebagian orang luar pesantren menuduhnya sebagai sikap permisif, tidak tegas, dan bid’ah-khurafat yang haram dilakukan oleh umat Islam. Padahal kiai dan santri pesantren, hal demikian dianggap sebagai suatu pilihan dan pendekatan dalam dakwah. Pendekatan kultural yang selamanya boleh asal didasarkan pada ahlql al-karimah. [20] Dalam kerangka pikir seperti ini santri pesantren mendasari karakter berfikir, berprilaku, dan mengungkapkan perasaan dan karya-karya tulisnya. Potret santri yang selalu bergumul dengan tradisi masyarakat lokal untuk mengadopsi nilai positif sambil menggelorakan perasan dan keinginannya untuk bergerak maju menuju peradaban adiluhung yang dicita-citakan.

C. Islam Mengakomodasi Mitos Jawa
Saling sapa antara Islam dan Jawa juga terkait dengan mitologi Jawa. Mitologi Jawa sangat banyak ragam dan jumlahnya. Masing-masing mitos ada pendukungnya yang bersifat lokal, misalnya mitos Nyi Rara Kidul, Ki Ageng Sela, Gunung Tangkuban Prahu, Jaka Seger. Masing-masing mitos biasanya diwariskan secara turun temurun dan memuat nilai-nilai budi pekerti yang dilestarikan oleh pemiliknya.[21] Dalam konteks pelestarian budi pekerti luhur ini Islam membolehkannya.
Mitos memiliki fungsi positif bagi yang meyakininya. Menurut banyak ahli [22] bahwa manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kolektifa, tidak dapat hidup tanpa mitos dan mitologi. Pengertian “mitos” seperti dikembangkan oleh para ilmuan sosial, khususnya para antropolog, adalah sebagai suatu yang diperlukan manusia untuk mencari kejelasan tentang alam lingkungannya, juga sejarah masa lampaunya. Dalam pengertian ini, “mitos” menjadi semacam “pelukisan” atas kenyataan-kenyataan (yang tak terjangkau, baik relatif maupun mutlak) dalam format yang disederhanakan sehingga terpahami dan tertangkap oleh orang banyak. Sebab hanya melalui suatu keterangan yang terpahami ini maka seseorang atau masyarakat dapat mempunyai gambaran tentang letak dirinya dalam suasana kosmis, kemudian berdasarkan gambar itu ia pun menjalani hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan.
Nurcholish Madjid mengatakan,[23] bahwa setiap mitos betapapun itu salah, mempunyai faedah dan kegunaannya sendiri. Kaum fungsionalis di kalangan para ilmu sosial menganut pendapat serupa itu. Fungsi mitos dan motilogi ialah untuk menyediakan rasa makna hidup yang membuat orang bersangkutan tidak akan merasa bahwa hidupnya akan sia-sia. Perasaan bahwa hidup ini berguna dan bertujuan ini lebih tinggi daripada pengalaman keseharian merupakan unsur amat penting dari kebahagiaan, juga merupakan tonggak ketahanan fisik dan mental. Dengan adanya keinsafan akan makna dalam hidup seseorang akan mampu bertahan dalam kepahitan, karena berdasarkan makna hidup yang diyakininya itu, ia selalu berpengharapan untuk masa depan. Karena itu makna hidup adalah juga pangkal harkat dan martabat manusia. Seperti dikatakan orang: Harkat manusia terletak pada pandangan bahwa hidupnya itu bagaimanapun juga berguna. Kita bersedia menanggung kepedihan, deprivasi, kesedihan dan segala derita, jika semuanya itu menunjang suatu tujuan, daripada memikul beban hidup tak berarti.
Pengertian mitos semacam ini, menjadi sama dengan perlambang, alegori (majaz) atau simbol (rumuz jamak dari rumz). Sebab, sama dengan mitos, simbol pun (seperti bendera negara dan panji-panji), mewakili suatu kenyataan yang jauh lebih besar dan kompleks, yang oleh simbol itu disederhanakan sehingga mudah ditangkap maksud dan tujuannya, mungkin juga nilainya. (dalam suatu peperangan yang melibatkan masalah hidup atau mati, seseorang dapat tergugah luar biasa semangatnya hanya karena melihat bendera negara atau golongannya dikibar-kibarkan). Karena itu, sama dengan simbol, mitos tidak dapat diberi makna harfiah, sebab setiap pemberian makna harfiah akan membuat persoalan menjadi tidak masuk akal (misalnya, adalah tidak masuk akal bawa seseorang bersedia mati semata-mata untuk atau demi secarik kain yang kebetulan berwarna atau bergambar tertentu,yaitu bendera; sebaliknya, adalah masuk akal bahwa ia bersedia mati “di bawah” bendera berupa secarik kain itu, karena ia memahami bahwa “di balik” bendera atau lambang itu terdapat kenyataan atau makna yang besar dan sangat berarti bagi diri dan masyarakat, seperti negara atau agama. [24]
Mitos yang terkait dengan simbol dan simbolisasi ini, Islam tidaklah jauh berbeda dengan agama lain di manapun, jika memang dimungkinkan pemahaman simbol-simbol itu menuju makna yang sama. Tapi, seperti dikemukakan, Islam memiliki kelebihan di atas yang lain karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara lebih jauh lebih bebas dari mitologi. Dalam penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi, terkait kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat yang mendukungnya. Sebagai penyederhanaan keterangan tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang amat penting. Karena itu dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tahan hidup tanpa sistem mitologi dan bentuk-bentuk tertentu. [25] Apabila mitologi ini ditarik ke Jawa maka ditemukan beberapa aliran kebatinan yang bersifat mistik, akultis, teosofis, serta etis. Kebatinan merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan dan menghayati nilai-nilai dan kenyataan rohani dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada penemuan kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur dan kesempurnaan hidup.[26] Meskipun sering dikritik kebatinan yang mistik juga tetap bertahan hingga kini.
Ada empat unsur penting dalam kebatinan yaitu: budi pekerti luhur, amal saleh, moral dan akhlak atau etika, atau filsafat tingkah laku, mendalami filsafat “Sangkan Paraning Dumadi” atau metafisika, senang terhadap ilmu gaib atau kanuragan atau okultisme, dan manunggaling kawula gusti atau mistikisme. Memperhatikan sifat dan unsur tersebut, berarti kebatinan bukan agama. Kebatinan merupakan bentuk usaha terus menerus sehingga manusia dapat dekat kepada Tuhan dengan laku batin yang selalu diikuti dengan mengurangi kenikmatan duniawi, menahan nafsu, dan selalu ingat dengan sang khalik.[27]
Terkait dengan mitos dan prilaku kejawen, para santri di Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol mempunyai kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar Isam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih meupakan mitos dari pada sejarah. Jin dalam konsep Islam telah begitu diperkaya ketika menjadi jin dalam konteks masyarakat Jawa.[28] Muslim Jawa yang santri juga memiliki kepercayaan mistik dan berbau klenik atau kejawen saat bersinggungan dengan kepercayaan lokal seperti kekuatan magis yang ada pada keris, tumbak, dan kekuatan Nyi Rara Kidul atau kepercayaan mistik lainnya.
Sikap mistik tersebut disebabkan karena orang muslim Jawa sebagian besar adalah para petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya ketidakselarasan (disharmoni) dan ketidaksinambungan (diskontinuitas) kosmos, yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), sekaligus sebagai pengatur (regulator) prilaku masyarakat dan anggotanya. [29] Terkait dengan perobahan, orang Jawa bisa menerima dengan perlahan , tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.
Penjiwaan terhadap kearifan lokal atau tradisional tersebut membuat masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang tahan sengsara atau menderita, disaat mereka mendapatkan perlakuan represif dan tidak adil dari orang-orang yang kuat, mereka diam dan tidak mengadakan reaksi, mereka lebih senang diam daripada bereaksi yang berbuntut pada disharmoni sosial. Salah satu semboyan mereka adalah wani ngalah, dhuwur wekasane. Di samping itu masyarakat ini lebih mementingkan kehidupan sosial yang harmoni dan rukun. Mekipun terkadang hanya sebatas lahiriah. Mereka terlihat tunduk dan diam meski hati berkobar dengan kemarahan yang membara. Namun karena lama terpendam tanpa disalurkan, kemarahan dan dendam itu bisa meledak sehingga mengejutkan semua pihak. Apalagi ada pihak yang mampu mengeksploitasi kepercayaan ini.

D. Penutup
Sikap akomodatif bagi masyarakat muslim Jawa merupakan keniscayaan sejarah sebagai akumulasi dari dialog dan sapaan antar budaya yang dibawa oleh para pedagang muslim yang memiliki karakteristik hidup yang lebih dinamis dibandingkan dengan masyarakat agraris atau petani. Dinamika kehidupan para pedagang dari berbagai daerah (Arab, India, Persia, dan Cina) ini membuka keragaman budaya Islam-Jawa yang kemudian terbangun kuat lewat interaksi perdagangan, perkawinan, dan pewarisan kekuasaan politik (Majapahit) di Jawa.
Sikap akomodatif ini diperkuat lagi dengan tradisi kajian kitab kuning yang menjadi literatur wajib bagi pesantren di Jawa. Penulis kitab kuning yang berasal dari berbagai daerah (khususnya Timur Tengah termasuk Andalusia/Spanyol) telah memberikan kontribusi terhadap akulturasi budaya yang tertulis dalam setiap karya kitab kuning. Penerimaaan ulama atau kyai pada berbagai kitab kuning ini menunjukkan sikap akomodatif ulama atau para wali dan da’i yang kemudian mereka teruskan dengan dialog-dialog kehidupan yang rutin dengan komunitas atau warga setempat di Jawa. Sikap akomodatif umat Islam juga pada mitos atau mitologi Jawa yang berakar kuat di masyarakat dengan berbagai ragam nilai positif dan negatifnya.
Sikap akomodatif ini pula yang telah mengantarkan umat Islam sebagai komunitas terbesar di Jawa dan Indonesia. Tanpa sikap akomodatif seperti ini gesekan dan benturan dalam interaksi sosial di Jawa akan terasakan begitu kuat dan akan menyebabkan pada pemikiran, prilaku, dan gerakan yang kontradiktif terhadap budaya lokal. Prilaku kontaridiktif ini bertentangan dengan watak geografis, iklim, dan kesejukan udara Jawa yang lebih memberikan peluang dan potensi besar terhadap terbentuknya sikap yang akomodatif. Islam di Jawa akan tetap berkembang selama masih membawakan kesejukan bagi kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya, pembacaan terhadap teks kitab suci yang skripturalis-literalis dan sikap radikal dalam berislam akan menyebabkan pertentangan dan membawa kemunduran dalam memperjuangkan nilai Islam. Islam rahmatan lil ’alamin selalu membawa kedamian dan masyarakat Jawa akan tetap berdampingan dan berislam selama sikap akomodatif-positif tetap menjadi acuan dalam kehidupan mereka.






DAFTAR PUSTAKA



Ahmad Lutfi Fathullah. Selangkah lagi Mahasiswa UIN jadi Kiyai. Jakarta: Al-Mughni Press, 2007.

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.

Ahmad Zainul Hamdi, “Neo-Sufisme Islam Jawa (Perjumpaan Islam dengan Lokalitas)” dalam Istiqro’, volume 04, Nomor 01, 2005.

Azyumardi Azra, Islam Nusantara. Bandung: Mizan Media Utama, 2002.

Ali Audah, Dari Khazanah Dunia Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.

Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologi dan Historis Islam Indonesia. Jakarta: Logos, 1998.

Hendro Prasetyo, Review thesis “A Javanese Response to Islamic Identity”, dalam STUDIA ISLAMIKA volume 1 number 2, 1994.

Ibn Khaldun, Muqaddimah. Bairut: Dar al-fikr, 1981.

al-Jabiri, Muhammad Abid al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah, (Bairut: al-Markaz al- Tsaqafi al-Arabi, 1991.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, & Etika. Jakarta: Teraju Mizan, 2005

__________, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Jakarta: Mizan, 2001.

Mahmudi, Wirid Mistik Hidayat Jati. Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005.

Muchtar, Affandi “Mulahadhah ‘Ammah al-Kutub al-Safra’ fi al-Ma’ahid al-Diniyah” dalam STUDDIA ISLAMIKA Volume 3, Number 2, 1996.

Mujamil Qomar, NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan, 2002.

Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Spoy & Lukisan Raden Saleh Yogyakarta: LKiS, 2004.

Ridin Sofwan, dkk., Islam Jawa. Yoyakarta: Gama Media, 2004.

Siahaan, Yanti Faradilla. Jangan Takut Menjadi Kaya: Anda Terlahir untuk Menjadi Kaya. Jakarta: Focus Grahamedia, 2006.

Sri Denti, “Mumarasat al-Suluk bi Minanjkabau: Tathbiq al-Ta’lim al-Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah” dalam STUDIA ISLAMIKA Volume 11, Number 2, 2004.

Suwardi Endraswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003.

al-Syahrastani, Muhammad Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Milal wa al-Nihal. Bairut: Dar al-Fikr, tt.

Zuhri, Saifuddin, Guruku Orang-orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS, 2001.

* Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.
Mantan Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PW LDNU) Propinsi DI. Yogayakarta, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Banyumas. 2005 - 2009 dan 2009 - 2014.

[1] Untuk lidah Jawa Bandek, pengucapan konsonan a dibaca o, sehingga kalimat tersebut dibaca ngono yo ngono neng ojo ngono.
[2] Buku yang ditulis oleh Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN tersebut direspon baik oleh Ahmad Lutfi Fathullah dengan menerbitkan buku Selangkah lagi Mahasiswa UIN jadi Kiyai (Jakarta: Al-Mughni Press, 2007). Buku ini memberikan penjelasan yang cukup rasional bagaimana memposisikan peserta didik dalam konteks kelebihan dan kelemahannya sehingga perlu dilakukan kritik konstruktif, pendampingan, pendewasaan, dan peningkatan keilmuannya sehingga sesuai dengan idealitas bersama. Prilaku mencemooh dan seakan mengadili tidak menjadi solusi bijak karena hanya akan memacing permusuhan.
[3] Muslim yang kaya dan harus dipersiapkan agar menjadi kaya. Bandingkan pesan Islam ini dengan apa yang ditulis oleh Siahaan, Yanti Faradilla. Jangan Takut Menjadi Kaya: Anda Terlahir untuk Menjadi Kaya. Jakarta: Focus Grahamedia, 2006.
[4] Azyumardi Azra, Islam Nusantara, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), hlm.l 31.
[5] Dari aspek budaya lokal, Indonesia memiliki kesamaan budaya dengan Persia atau Iran seperti penghormatan yang tinggi terhadap 10 Syuro atau 10 Muharram yang dikenal dengan Syuroan. Di Sumatra Barat ada upacara Tabut sebagai peringatan hari wafat Husein cucu Nabi yang dijunjung tinggi oleh rakyat Iran, ajaran manunggaling kawulo gusti dari Syeh Siti Jenar di Jawa sama dengan ajaran al-Hallaj dari Iran. Lebih lanjut baca, Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 75 – 94. Tradisi syuroan ini di Jawa sampai saat ini tetap berjalan di beberapa tempat dengan berbagai m acam keyakinan yang melingkupinya.
[6] Selanjutnya baca Mahmudi, Wirid Mistik Hidayat Jati, (Yogyakarta: Pura Pustaka, 2005 ), hlm. 15-16.
[7] Baca, Ridin Sofwan Dkk ,Islam Jawa, (Yoyakarta :Gama Media, 2004), hlm 18. Kreasi-kreasi baru itu di antaranya ditemukan tradisi Sekaten dan Grebeg di kraton juga perkembangan musik Kasidah dan Orkes Gambus yang mirip dengan musik melayu, India, dan musik Timur Tengah.
[8] Kreasi ini akan terus berlanjut dan tidak mungkin dibatasi. Kreasi tersebut muncul bersamaan dengan kecenderungan tokoh mengapresiasi budaya lokal yang ada semisal, tradisi ritual suluk di Minangkabau karena pengaruh tarikat Naqsyabandiyah maka akan berbeda dengan suluk di tempat lain karena tokoh dan budaya lokal yang berbeda. Tentang suluk ini dapat dibaca tulisan Sri Denti, “Mumarasat al-Suluk bi Minanjkabau: Tatbiq al-Ta’lim al-Islamiyah ‘ala al-Thariqah al-Mahalliyah” dalam STUDIA ISLAMIKA Volume 11, Number 2, 2004 hlm. 345 – 360, sedang untuk respon masyarakat Jawa terhadap pemikiran Keislaman lebih lanjut baca “A Javanese Response to Islamic Identity”, thesis direview oleh Hendro Prasetyo dalam STUDIA ISLAMIKA volume 1 number 2, 1994, hlm. 139 -156. Budaya Islam lokal berkembang sesuai dengan dinamika lokal yang mendasarinya seperti kenthongan di Banyumas.
[9] Informasi ini ditemukan di antaranya dalam kitab Ibn Khaldun, Muqaddimah, (Bairut: Dar al-fikr, 1981), hlm. 57-115.
[10] Kitab populer Muhammad Abd al-Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 10 menunjukkan kaitan dialogis fisik-psikis-sosial tersebut yang dinamis sepanjang waktu.
[11] Tentang dialog dan relasi Islam dan budaya Jawa di antaranya baca beberapa hasil penelitian dalam Jurnal Istiqro Volume 04, nomor 01, 2005.
[12] Kitab Alfiyah yang membahas tentang Qawaid bahasa arab ditulis oleh Ibnu Malik dari Andalusia atau Spanyol. Kitab ini populer dengan sebutan kitab Alfiyah Ibnu Malik.
[13] Kitab kuning dalam dunia pesantren Jawa memiliki posisi utama. Di antara yang mengkaji hal tersebut adalah Affandi Muchtar, “Mulahadhah ‘Ammah al-Kutub al-Safra’ fi al-Ma’ahid al-Diniyah” dalam STUDDIA ISLAMIKA Volume 3, Number 2, 1996, hlm. 121 – 161.
[14] Diponegara bergelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah. Ia seorang keturunan sultan Mataram yang menggelorakan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Di dalam peperangan ini Dipanegara mengkaitkan dirinya sebagai pangeran pelindung agama (Ratu Paneteg Panatagama) yang memiliki hubungan erat dengan santri sehingga membuat peperangan ini menjadi unik dalam sejarah Jawa modern, Peter Carey, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Spoy & Lukisan Raden Saleh (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. xxii-xxiii.
[15] Suwardi Endraswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003), hlm. 24.
[16] Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang dari Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 55.
[17] Penjelasan dapat ditemukan dalam Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, & Etika, (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), hlm. 6-7. Hafalan menjadi metode saat ini hanya dilakukan di beberapa pesantren salaf, semntara pesantren pada umumnya telah mengembangkan strategi pembelajarannya. Tentang al-kutub al-mu’tabarah baca buku Mujamil Qomar, NU Liberal: dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 85. Pembacaan terhadap warisan tradisi masa lampau ini menunjukkan bahwa garis pemikiran kelompok tradisional di Indonesia yang diwakili NU selalu merujuk pada teks yang dianggap sakral yakni model pembacaan dari teks untuk teks atau model pemahaman tradisi atas tradisi (fahm al-turats li al-turats) yang merujuk pada pemahaman ulama terdahulu (salaf) yang termuat dalam teks. Muhammad Abid al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah: Dirasah wa Munaqasyah, (Bairut: al-Markaz al- Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm. 50 dan Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 144-145.
[18] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, hlm. 144-145.
[19] Hal ini senada dengan pendapat Ali Audah, dalam buku Dari Khazanah Dunia Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999).
[20] Selalu terjadi dialektika yang dinamis antara Islam dalam kategori universal dengan lokalitas di mana ia hidup. Terkait dengan pemahaman ini di antaranya lebih lanjut baca Ahmad Zainul Hamdi, “Neo-Sufisme Islam Jawa (Perjumpaan Islam dengan Lokalitas)” dalam Istiqro’, volume 04, Nomor 01, 2005, hlm. 311-334.
[21] Suwardi Endraswara, Budi Pekerti…. Hlm. 25-26.
[22] Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 210.
[23] Nurcholish Madjid, Islam Agama, hlm. 211
[24] Ibid.
[25] Selanjutnya lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama, hlm. 214-219.
[26] Soesilo, Kejawen: Philosofi & Perilaku (Jakarta: Yusula, 2004), hlm. 19.
[27] Selanjutnya lihat Soesilo, Kejawen…. Hlm 24-27.
[28] Selanjutnya baca, Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat ( Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 52.
[29] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologi dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 227-228.

Tidak ada komentar: