Kamis, 06 Maret 2008

Ijtihad untuk Kesejahteraan Umat

IJTIHAD:
MERAJUT NILAI KEMASLAHATAN DAN KEADILAN UMAT
Oleh. Moh. Roqib *


Problem kamanusiaan silih berganti. Apalagi problem dalam komunitas Muslim dunia saat ini dari problem “sembako”, yang merupakan problem rutin kemiskinan, sampai pada problem sosial, politik, dan budaya. Secara silih berganti dan susul menyusul bagai mata rantai, kesengsaraan tersebut tetap saja berlanjut untuk yang ke-sekian kalinya. Benang kusut yang hendak diurai terjadi perbedaan dari mana ujung benang itu akan dimulai untuk mendapatkan bentangan yang lebih jelas dan realistik. Di mana problem yang paling mendasar dan menjadi core bagi setiap problem baru yang berdesakan kemudian menghempas kehidupan Muslim yang telah lama menjauh dari cita idealnya. Keluhan demi keluhan dialamatkan kepada diri dan komunitas Muslim yang bertubi-tubi membuat umat semakin terkena inferiority complex berkepanjangan.
Untuk menjawab kemunduran umat Islam, mantan syaikh al-Azhar Muhammad Abduh pernah mengatakan bahwa kaum Muslim itu tertutup oleh kaum Muslim sendiri (al-Isla>m mah}ju>b bi al-Muslimi>n), untuk itu h}ija>b (penutup) itu harus dibuka (unveiled) agar keagungan Islam kembali terpancar. Keagungan yang dikatakan bahwa al-Isla>mu ya’lu> wa la> yu’la> alaih (Islam itu ketinggiannya tidak tertandingi), dan al-Isla>m shalih} likulli zama>n wa maka>n (Islam selalu eksis di segala tempat dan aktual pada setiap situasi) bukan hanya sekedar jargon yang dijunjung dan dibanggakan oleh kaum Muslim tetapi memang benar-benar faktual yang menggembirakan dalam kehidupan Muslim.
Mempertanyakan dasar al-Qur’an dan Hadis sebagai kitab suci tidak lagi penting untuk dilakukan, karena kritik di seputar kitab suci oleh para oroentalis misalnya telah mendapatkan jawaban memadai. Yang mendesak untuk mendapatkan jawaban adalah artikulasi dari kitab suci tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pada aspek ritual, kaum Muslim terlihat cukup bergairah meskipun baru pada tahapan ritual-legal-formal, untuk memenuhi kewajiban yang masih jauh dari substansi maknawi dari ajaran Islam itu sendiri. Melakukan proses bagaimana shalat “faktual” adalah salah satu upaya untuk menjawab problem ritual umat saat ini. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Islam belum berbuah pada kedamian, kesejahteraan, dan kejayaan Muslim ini yang dipertanyakan, mengapa ? Apakah kecenderungan pemikir Muslim untuk menulis dan melakukan diklat ESQ atau shalat khusuk akhir-akhir ini adalah salah satu bentuk kompensasi psikologis dari keputusasaan karena kegagalannya atau kedasaran untuk memulai membangun peradaban Muslim lewat kesadaran diri, komitmen, dan khusu’ dalam beribadah (mah}dlah). Akan tetapi mengapa diklat-diklat metodologis (manhaji) yang terkait dengan proses ijtihad untuk membuka tabir dan hijab yang telah menyumbat gairah pemikiran Muslim yang lebih mendesak dan sudah mencapai derajat “siaga satu” atau “gawat darurat” belum mendapatkan respon luas dan meriah dari para akademisi dan sarjana Muslim?.
Untuk mengatasi problem internal dan ketertinggalan dengan negara-negara maju dunia, sebagian kelompok Muslim mencoba memasuki wilayah ijtihad ini sebagai pintu masuknya. Dengan berbagai pendekatan, upaya ini mendapatkan reaksi yang amat keras dan berat dari kaum Muslim sendiri apalagi saat menyentuh wilayah sakral seperti pendapat bahwa kitab al-Qur’an yang ada merupakan produk budaya dan bisa dikaji atau diteliti sebagaimana produk budaya lainnya dan ide dekonstruksi Syariah yang diperkenalkan oleh Abdullah Ahmeed An-Na’im.[1]
Upaya menggerakkan ijtihad yang mendapatkan reaksi dan gejolak umat, ada gerakan lain yang lebih “aman” adalah dengan apa yang dikenal dengan proyek “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” yang mulai menggema saat Konferensi Internasional di Makkah tentang pendidikan Muslim. Konferensi yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz ini mengundang para pakar Muslim dari 40 negara dengan mempresentasikan 150 makalah yang tujuannya adalah melakukan pembenahan dan penyempurnaan sistem Pendidikan Islam. Wacana “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” ini dilontarkan oleh Syeed Mohammad Naquib al-Attas dalam makalah Preliminary Thought on the nature of Kanowledge and the Definition and the Aims of Education, [2] dan Ismail R. al-Faruqi dengan makalah Islamicizing Sosial Science[3] yang mengetengahkan problem kelemahan dalam pendidikan Islam. Program selanjutnya adalah melakukan integrasi ilmu dan lembaga pendidikan Islam dalam sebuah sistem yang holistik, agar tidak terpukau dengan peradaban dan keilmuan Barat. Ia melontarkan kritik terhadap Barat yang kapitalistik-materialitik, minus moral dan spiritual. Gerakan intelektual ini mendapatkan respon, di antaranya Ziauddin Sardar yang mendukung perubahan pendidikan Islam yang dikotomis tersebut dengan membangun epistemologi dan sistemnya.[4]
Meskipun didukung secara luas, gerakan ini mendapatkan koreksi dari Arkoun dan Fazlurrahman yang menganggap bahwa Islamisasi Ilmu pengetahuan ini sulit untuk direalisasikan karena watak ilmu jika telah sampai pada titik the end akan sesuai dengan kebenaran dan hukum alam yang berarti juga telah sesuai dengan Islam. Apalagi ilmu eksak, teknologi, dan natural sciences. Mungkin pada social siciences dan humanities yang memuat nilai-nilai di dalamnya bisa dilakukan koreksi dan pengembangannya dalam perspektif Islam. Para sarjana dan pemikir Muslim boleh berbeda pendapat tentang pendekatan ini, dan perbedaan ini tetap positif karena para ilmuan memasuki (abwa>b mutafarriqah), pintu-pintu kehidupan yang beragam, sehingga saling melengkapi.
Tulisan berikut tidak akan menjawab perbedaan strategi dalam mengatasi problematika umat tersebut, tetapi tulisan ini hendak membidik core problem dasar umat yang merupakan hijab yang dimaksud Muhammad Abduh tersebut, yaitu ijtihad. Ketertarikan penulis tentang ijtihad ini, bermula dari sinyalemen almarhum KH. Ali Maksum,[5] bahwa seringkali dalam bahsul masail Muktamar NU, pembahasan terhadap problematikan aktual umat (al-masa>il al-waqi>iyyah) terjadi mauquf , terhenti tidak sampai pada ittifaq satu atau beberapa keputusan dan kemudian pembahasan tersebut dipending untuk pengkajian berikutnya. Kondisi demikian di antaranya karena para ulama tidak menemukan teks pendapat (qauli) tentang kasus tersebut dalam dalam kitab kuning (al-kutub al-mu’tabarah) yang menjadi referensi peserta. Mayoritas ulama masih cenderung berpegang pada pendapat melalui dhahir teks (qauli) dan bukan manhaji (pendekatan atau metode) yang dipakai oleh para mujtahid atau penulis kitab kuning tersebut, apalagi keberanian untuk berijtihad mandiri (mutlaq).[6] Untuk mengantisipasi hal ini, di pesantren Krapyak oleh KH.. Ali Maksum dianjurkan pada pendalaman Ushul Fiqh, atau metodologisnya sedang Fiqh diposisikan sebagai contoh rujukan kasus hukumnya agar santri lebih menguasai aspek filosofis-metodologis hukum Islam, sehingga membuka peluang alumni pesantren untuk menjawab problematikan umat. [7]
Di sisi lain, upaya mengkaji tentang ijtihad ini dimotivasi oleh pengalaman penulis sendiri sekitar sepuluh tahun mengajar Fiqh dan Ushul al-Fiqh di hadapan santri Mahasiswa[8] pesantren Krapyak Yogyakarta. Penulis mencoba merekonstruksi pemikiran santri (mahasiswa) menuju pemahaman terhadap hukum Islam yang lebih dinamis dan produktif melalui dialog dan pengembangan kurikulumnya. Meski menghadapi beberapa kendala, produk atau alumni pesantren Krapyak dikenal memiliki pemikiran yang cenderung liberal, berani, dan produktif.[9]
A. Ijtihad Sebagai Keniscayaan Hidup
Kata ijtiha>d seakar dengan kata jiha>d dan muja>hadah dari asal kata jahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh.[10] Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Maqa>yis fi> al-Lughah , semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya. [11] Ijtihad sering dimaknai usaha faqi>h, ahli hukum mencurahkan kemampuannya untuk mendapatkan hukum syar’i dari dalil dhanni. Upaya mencurahkan seluruh kemampuan untuk mencapai tujuan dengan cara pencarian berdasarkan dalil.[12]
Menurut ahli fiqh, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinba>t-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu. Sedang menurut para ahli Ushul Fiqh, antara lain Imam al-Syaukani dan Imam al-Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan istinba>th (mengambil kesimpulan hukum).[13] Upaya ini merupakan usaha faqi>h, ahli fikih secara maksimal-optimal karenanya terasa berat dan sulit dalam mengerahkan kemampuan rasio dalam rangka untuk beristimbath terhadap hukum syara’ berdasarkan dalilnya.
Ijtihad bukanlah hal baru pada masa sahabat. Ia telah dikenal pada masa Rasul Saw. Pada saat itu telah banyak sahabat yang telah melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang kemudian hasil ijtihad tersebut diajukan kepada Nabi Saw agar mendapatkan respon untuk ditetapkan atau dibatalkan (dilarang).[14] Rasul Saw. memperbolehkan para sahabatnya melakukan ijtihad. Bukti diperbolehkan sahabat berijtihad di antaranya[15] adalah hadis Muaz ibn Jabal ketika ia diutus ke Yaman,[16] yaitu jika ia menghadapi problem akan merujuk pada al-Qur’an dan Hadis dan jika ia belum mendapatkan jawaban ia akan melakukan ijtihad.
Ijtihad mengalami perkembangan yang memuaskan sampai pada abad keempat hijrah, setelah itu mengalami kemunduran dan kemudian tidak ada lagi mujtahid mutlak (mujtahid mustaqill) yang ada hanya mujtahid fi al-madzhab (yang mengikuti pendapat para imam madzhab sebelumnya) dan mujtahid murajjih (yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam madzhab sebelumnya). Ijtihad sebagai kebutuhan hidup Muslim tetap berlangsung meskipun dengan kualitas yang berbeda.
Ijtihad merupakan sumber syariah setelah al-Qur`an dan Sunnah yang teknisnya oleh An-Naim dan Ibn Rusyd bisa menggunakan ijma>’,[17] qiya>s,[18] istih}sa>n, istishlah}, (maslah}ah mursalah), istish}ab, dan ‘urf,[19] yang berhukum fardlu ain, yang wajib bagi setiap orang, fardlu kifayah, yang wajib dilakukan oleh sebagian orang, dan mandub atau anjuran sunnah. Adapun syarat mujtahid, orang yang melakukan ijtihad adalah 1) memahami al-Qur’an dengan asba>b al-nuzul dan naskh mansu>kh, 2) memahami hadis dan ilmu hadis, 3) menguasai bahasa Arab, 4) memahami ijma’, 5) mengusasi ushul fiqh, 6) mengetahui maqa>shid al-syari>’ah, 7) memahami sosiologi-antropologi, dan 8) bersifat adil dan takwa.[20] Persyaratan ini berarti standar kompetensi yang mesti dimiliki oleh mujtahid dalam kerangka menjaga kualitas hasil ijtihad karena berdimenasi tanggungjawab akademis, siologis, dan teologis. Persyaratan akademis (1-7) bisa dipenuhi secara kolektif dan dengan menggunakan bantuan media seperti CD sedang persyaratan yang berdimensi sosiologis dan teologis (no. 8) harus dipenuhi setiap individu karena menjadi dasar pertanggungjawaban akademis, sosial, dan teologis.
Sebagai sebuah keniscayaan hidup, baik secara individual (fardi) maupun kolektif (jama’i) ijtihad ini harus tetap berjalan sebagai bagian dari tuntutan gerak dinamis kehidupan agar kehidupan umat tidak berjalan sendiri tanpa payung hukum dan agama.

B. Ijtihad untuk Keadilan dan Kesejahteraan
Ijtihad dilakukan dalam rangka untuk menggapai tujuan syari’ atau maqa>shid al-syari>ah[21] yaitu mashlah}ah a>mmah,[22] kesejahteraan dan kedamian sosial. Untuk mencapainya keadilan menjadi kuncinya. Tanpa keadilan kemaslahatan tersebut tidak akan terwujud. Untuk itu jika terjadi kritik terhadap Islam, seperti kritik orientalis, yang lebih penting adalah kritik terhadap ijtihad dan pelaksanaan hukum hasil ijtihad tersebut. Sebagai contoh; dalam pelaksanaan hukum Islam ditemukan pelanggaran terhadap HAM, sebagaimana dikatakan oleh Robert Spencer yang menyebut beberapa contoh di antaranya status perempuan dalam Islam, nilai pernikahan vis a vis poligami, perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan, dan perlakuan Muslim mayoritas terhadap minoritas non Muslim. Perempuan Muslim yang diperkosa mengalami kesulitan mendapatkan keadilan hukum dalam Negara yang menerapkan syariat Islam, karena keharusan menghadirkan empat saksi dalam maknanya yang tekstual. [23]
Dalam konteks keadilan ini, ijtihad harus dipahami sebagai hasil karya seseorang jika telah memenuhi standar maqa>shid al-syari>ah yaitu maslahah} a>mmah atau kesejahteraan dan kebahagian warga sudah selayaknya tetap kukuh sebagai ijtihad yang benar dan jika bertentangan dengan tujuan syariah maka ia merupakan ijtihad yang salah dan harus digugurkan demi kemaslahatan itu juga. Pengambilan hukum yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah akan selalu berujung pada maslahah atau nilai posistif dan jika berlawanan berarti tidak mencerminkan penggalian dari dasar kitab suci, untuk itu harus ditinggalkan. Pada wilayah ini kejujuran atau dalam syarat ijtihad disebut sebagai adil dan takwa sangat penting untuk ditekankan.
Merujuk pada pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah dan menjadi rahmatan li al-‘a>lami>n, umatan wasathan, dan khaira ummah menunjukkan peran-peran posistif seperti itu. Poligami, misalnya memiliki cakupan hukum yang berbeda tergantung pada illat atau faktor yang mendasari lahirnya hukum tersebut. Jika poligami didukung oleh beberapa faktor yang membawa maslahah yang menunjukkan terwujudnya perlindungan, kepentingan, atau kebutuhan primer yang harus dipenuhi (dharu>ri) terhadap para istri, berikut kebutuhan skunder (ha>jji) dan kebutuhan tertier atau pelengkap untuk menghias keindahan hidup (tahsi>ni) bagi pelaku poligami, para istri, anak-anak, dan lingkungan sosialnya, maka poligami berhukum boleh atau sunnah. Maqashid ini disebut dharuri (necessary, harus) karena maqashid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang mashalih al-din (agama dan akhirat) dan dunia dengan pengertian jika mashalih ini dirusak maka stabilitas mashalih dalam poligami pun rusak.

C. Teologi Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah media yang ditempuh oleh seorang ilmuan untuk “menengok” kehendak Allah Swt. yang termaktub dalam kitab suci dan dalam tradisi (sunnah) Nabi Saw. Tidak ada seorang pun yang diberi kewenangan oleh Tuhan dan memiliki “hak prerogratif” sebagai pelaksana tugas itu secara khusus. Semua menjadi tugas bersama untuk melakukan, yang mengharuskan hanyalah rengkuhan ahlak mulia saat berniat, melakukan, dan melaksanakan ijtihad sehingga hasil ijtihad tetap berada dalam bingkai pertanggungjawaban vertikal kepada Tuhan sebagai aplikasi dari tugas manusia sebagai Abdulla>h, hamba Allah dan tanggungjawab horizontal sebagai khali>fah Alla>h fi> al-ardl, atau pemakmur bumi Allah. Apabila tidak berujung pada penghambaan kepada Allah dan tidak memberikan kontribusi untuk kemakmuran di muka bumi maka ijtihad seperti ini telah tercerabut dari tujuannya dan bertentangan dengan kedudukan manusia.
Untuk menjamin nilai maslahah, hasil ijtihad selamanya bersifat relatif dan tentatif serta memiliki kebenaran yang relatif pula sehingga berpeluang untuk dirubah, dikurangi, atau ditambah untuk waktu, tempat, dan kondisi yang berbeda. Sakralisasi ijtihad beserta hasil-hasilnya akan mengakibatkan pengkultusan yang merusak nilai tauhid dan nilai kemanusiaan. Meskipun hasil ijtihad para mujtahid merupakan sikap ilmiah yang memiliki dasar yang kuat dari sumber-sumber kitab suci yang sakral, tetapi tetap saja ia bersifat profan yang berdimensi kemanusian, terikat oleh waktu, tempat, dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang selalu bergerak dinamis.
Ijitihad dalam konteks kemanusiaan adalah profan yang menerima uluran kritik sesuai dengan kondisi zaman. Memasukkan ijtihad dalam kategori teologis bahwa ijtihad itu sakral karena berdasar pada kitab suci, Sunnah, dan oleh orang-orang brilian (faqi>h) karenanya tidak mungkin ditengok, dibandingkan, dikurangi, dan dirubah berarti memasukkan ijtihad pada wilayah teologis. Sikap seperti ini berbahaya secara social di antaranya kalau ada yang mempersoalkannya akan menimbulkan konflik sosial karena dianggap akan merusak agama.[24] Sekularisasi penting dilakukan dalam artian meposisikan yang profan tetap profan sehingga tidak terjadi sakralisasi. Meski demikian sekularisasi tetap dalam landasan etik yang kuat.
D. Ijtihad sebagai Pendamping Solusi Umat
Perkembangan hukum Islam selain karena dimotori oleh ijtihad juga karena teori-teori para ahli hukum (jurist) Muslim. Ijtihad juga menjustifikasi perubahan pada masa lalu yang ditimbulkan oleh kekuatan lain --demikian kata J.J.G. Jansen, seorang orientalis Belanda-- misalnya pengaruh ide-ide pemikiran Barat terhadap dunia Arab dan Muslim sebagai suatu tuntutan sosial bagi mereka, seperti perkawinan, poligami,[25] hukum pidana, hukum internasional, HAM, dan lain-lain.
Problem keseharian umat harus mendapatkan jawaban secara syar’i. membiarkan umat terkatung-katung tampa jawaban yang mendasar dan kuat akan menghilangkan ketenangan dan keteduhan batin umat. Jawaban terhadap setiap persoalan yang muncul di samping sebagai prasyarat ketenangan batin juga sebagai pengikat ruhani dan nilai religiusitas umat. Apabila kasus hukum dibiarkan lepas dari sentuhan fiqh dimungkinkan ia akan keluar dari nilai religiusnya dan akan mengembara liar ke wilayah hukum lain yang dijumpai.
Problem sosial yang berjalan dinamis menuntut hukum Islam juga dinamis. Menyatakan ijtihad telah tertutup, sebagaimana dikatakan oleh al-Bajuri (w. 1860) bahwa Ijtihad telah tertutup setelah Islam berjalan tiga ratus tahun atau tiga abad lamanya,[26] sulit dinalar karena sesuatu yang dinamis (yaitu masyarakat) tidak mungkin didampingi oleh petunjuk (kitab suci) yang statis. Jika ini terjadi akan ada kata “perpisahan” antara kehidupan dengan hukum yang berlaku yang dalam bahasa lain kehidupan tidak lagi terkait dengan hukum Tuhan.
Sebagai contoh, jika masyarakat Jawa tidak mendapatkan jawaban terhadap tradisi yang mereka lakukan seperti tahlilan, shlalawatan, puji-pujian dan lainnya secara syar’i bisa menyebabkan mereka memilih tradisi non Islam karena tradisi tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan spiritualnya. Meski demikian bukan berarti ijtihad dilakukan hanya sebagai legitimasi tradisi tanpa melihat apakah tradisi ini sesuai atau bertentangan dengan Islam.[27] Pada kondisi demikian ijtihad terpadu dengan dakwah dalam arti ijtihad dilakukan setelah dakwah dilakukan dengan melakukan proses islamisasi tradisi yang ada, dibersihkan dan disesuaikan dengan syariat Islam.
Pola pengembangan tradisi Islam di Jawa oleh para Wali juga mengalami proses ijtihad yang mencoba mendialogkan antara ajaran Islam dan Jawa. Tradisi tahlilan, berjanjen, dan Maulidan atau Sekaten yang dihukumi halal bahkan sunnah untuk kepentinan pengamalan ritual keagamaan yang berdimensi dakwah yang adaptif dengan budaya lokal adalah bentuk ijtihad yang berupaya menjawab tuntutan sosialnya.
Secara kelembagaan di Jawa peran ijtihad seperti ini diperankan oleh kyai pesantren yang juga merupakan sumber penting bagi pendidikan humaniora di pedesaan. Sebagaimana juga istana, pesantren dapat dikatakan sebgai pusat kreatifitas masyarakat melalui pola hubungan kyai dengan santri tradisi pesantren yang merupakan akulturasi budaya Islam dan tradisi lokal tersebut masuk ke pedesaan. Hubungan pesantren dengan pedesaan itu selalu terjaga karena sejumlah santri masih selalu berhubungan dengan pesantren, sekalipun telah lama meninggalkan pendidikan formal di pesantren. Melalui upacara peringatan bagi pendidikan pondok pesantren atau khaul, para santri itu mengadakan reoni setiap tahun sekali pada hari-hari tertentu dan mengukuhkan kembali hubungan dengan pusat kreativitas keagamaan.[28] Pola komunikasi seperti ini memungkinkan terjadinya konsultasi efektif antara santri dengan kyai yang membahas problem keummatan, bahkan seringkali menciptakan forum keilmuan bahts al-masa`il al-waqi’iyyah, pengkajian berbagai problem aktual. Pada forum ini interaksi dan komunikasi ini sebenarnya telah memasuki wilayah ijtihad (jama’i) meskipun oleh dunia pesantren masih merasa “sungkan” mengakuinya sebagai ijtihad.
Inilah pendampingan paling efektif dengan mendasarkan diri pada budaya lokal. Untuk kepentingan menjawab kebutuhan umat tersebut dibutuhkan metode baru dalam memahami teks kitab suci. Di antara yang telah dilakukan untuk semangat ini adalah apa yang dilakukan oleh mahasiswa Ma’had Aly pesantren Sukorejo Situboondo dengan pemikirannya yang cukup berani dan kemudian terdokumentasikan dalam buku Fiqh Rakyat. Dalam buku ini, diajukan alternatif pengembangan ushul fikih dengan tiga cara yang tidak terpisahkan yaitu revitalisasi ushul fiqh, diversifikasi teks dan perluasan wilayah ta’wil.[29] Dengan ketiga teknik ini kebuntuan yang selama ini dihadapi bisa diselesaikan, dan ijtihad (jama’i) bisa dilaksanakan.
Selain dengan ketiga cara tersebut, dalam penyelesaian problem keumatan ijtihad yang dilakukan harus 1) membedakan antara agama dan syariat, syariat dan aplikasinya dalam bentuk aturan hukum fiqh, dan antara aturan hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an dan atau Sunnah dan fikih.[30] 2) melakukan teorisasi terhadap setiap subyek fikih Islam agar menjadi simpel, jelas, dan mudah dipahami karena aturan fikih adalah produk manusia, 3) memberlakukan ushul al-Fiqh (prinsip-prinsip jurisprudensi) pada aturan-aturan ibadah sedang yang menyangkut muamalah atau transaksi[31] tidak harus diberlakukan karena terkait dengan perubahan waktu, tempat, keadaan dan lingkungan.[32] Hal ini berarti dimungkinkan sebagian produk ijtihad atau hukum fikih bisa berbeda dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ibn al-Khattab pada masa kekhalifahannya tahun 612-622 M.[33] Pendapat dekonstruktif ini dapat mengakomodasi gagasan Kuntowijoyo yang mengajukan metode strukturalisme transendental[34] sebagai alternative karena metode ijtihad dengan Qiyas dan semacamnya belum bisa memenuhi kebutuhan umat.
Tawaran ini akan merubah sebagaian produk hukum yang telah ada berdasarkan madzhab, modifikasi beberapa madzhab, perubahan madzhab, atau baru sama sekali dari pendapat para imam madzhab baik secara individual jika memungkinkan atau kolektif (jama’i).[35]

E. Ijtihad Politik dan Sosial: Prinsip Evolusioner ?
Pemikiran yang dinamis disegala bidang merupakan watak asasi Islam. Semangat rasonalis dan falsafi Islam ini memiliki kesajarahan yang panjang dan kemudian mengalami kemandekan dan kehancurannya bersamaan dengan jatuhnya Baghdad dan pembunuhan besar-besaran di sana oleh orang Tartar di semua pusat peradaban dan kebudayaan, yang sekaligus hilangnya orang-orang cerdas berbakat yang menjadi tulang punggung umat Islam.[36] Meskipun mengalami kejatuhan dan derita yang amat panjang proses kreatif umat tetap berlangsung walaupun dilakukan oleh minoritas umat yang mayoritasnya dalam kejumudan.
Di antara proses kreatif seperti dijelaskan dengan bentuk ijtihad pada masa kebangkitan kembali umat Islam mulai memasuki wilayah politik yang lama tidak terjamah. Sejak jatuhnya Turki Usmani, muncul pemikiran tentang bentuk negara republik yang diakui lebih demokratis dibandingkan dengan negara monarkhi, seperti Turki, Pakistan, Indonesia, dan lainnya dengan beberapa varian. Ijtihad pada wilayah ekonomi-poltik seperti lewat gerakan Nahdlatut Tujjar, Sarikat Dagang Islam dan semacamnya. Gairah pemikiran terus berkembang. Ijtihad terkait dengan ekonomi dan politik yang pelaksanannya sampai ke daerah-daerah, sebagaimana disebutkan di depan pernah dikemukakan Masdar F. Mas’udi [37] yaitu terkait dengan zakat dan pajak. Baginya menyatukan kewajiban negara berupa pajak dengan kewajiban agama lebih menguntungkan bagi umat, yang berarti memiliki nilai maslahah yang lebih tinggi bagi umat di antaranya umat Islam sebagai warga negara dapat melaksanakan dua kewajiban tersebut secara bersamaan yang berarti menambah nilai religius bagi pembayaran pajak. Penambahan nilai religius ini bisa memantapkan hati pembayar pajak sehingga lebih disiplin, motivasi membayar zakat semakin tinggi, dan bagi pengelola pajak lebih hati-hati dan amanah karena ada pengawasan yang lebih tinggi dan berdimensi spiritual. Meski sudah diundangkan, tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi perbedaan antara dirjen pajak dan BAZ setempat.
Melihat problem yang terus berkembang cepat, agenda baru di bidang muamalah --bukan bidang akidah dan ibadah mahdlah yang sudah paten-- seperti wilayah keluarga, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni dapat menjadi lahan bagi ijtihad. Pendekatan lama yaitu ijtihad individual (fardi) tetap diperlukan karena individulah pada akhirnya yang harus mempertanggungjawabkan. Tetapi, diperlukan peluasan-perluasan agar muamalah lebih efektif dengan enam macam kesadaran, yaitu 1) kesadaran tentang perubahan, 2) kesadaran kolektif, 3) kesadaran historis, 4) kesadaran tentang fakta sosial, 5) kedaran tentang masyarakat abstrak, 6) dan kesadaran tentang perlunya objektifikasi.[38]
Selain beberapa tawaran di depan ijtihad dengan prinsip evolusioner seperti yang digagas oleh Mahmoud Muhammad Toha seperti perbudakan pada awal Islam ditolerir tetapi kemudian dihapus[39] dan gagasan Kuntowijoyo tentang strukturalisme transendental yang mencoba membuat “maket” dan “model” untuk membangun teori baru dalam pengembangan muamalah ke depan perlu mendapatkan perhatian. Penulis melihat ide ini mampu menjawab keinginan para ulama seperti Thabathabai,[40] pemikir Syiah yang berharap muncul generasi ilmuan Muslim yang mau mendalami fisafat, kalam, dan ilmu-ilmu lainnya sehingga sebagiannya mampu berijtihad atau produktif untuk mengembangkan ilmu-ilmu tersebut. Sebuah cita-cita yang harus ditangkap oleh para ilmuan Muslim.

F. Penutup
Perbincangan tentang kebebasan berfikir dan berijtihad dalam Islam akan tetap menarik, tetapi yang lebih penting adalah membangun tradisi berfikir akademis dengan tanggungjawab yang tinggi terhadap apa pun pendapat yang dihasilkan. Dengan keberanian berfikir dan pertanggungjawaban moral yang kuat, ijtihad tidak akan dilakukan dengan “seenaknya” tetapi juga tetap ada produktifitas pendapat dan teori untuk kemaslahatan umat.
Ijtihad dalam arti yang luas menjadi kewajiban ilmuan Muslim terutama tenaga edukatif atau dosen di perguruan tinggi agama (PTA) secara individual maupun kolektif, apapun fakultas dan jurusannya. Ijtihad bukan hak dan kewajiban dosen syariah, anggota MUI, Syuriyah NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah atau kyai pesantren saja, tetapi menjadi agenda umat yang mau berfikir untuk kemajuan. Sebab, diam dan enggan melakukan sesuatu yang posistif secara kontinyu akan menambah beban derita umat yang sudah “sempoyongan” karena ketidakberdayaan. Pemberdayaan dimulai dari kesadaran diri akan potensi dan secara terus menerus mengembangkan potensi diri dan lingkungan tersebut agar mampu memberikan kontribusi positif bagi umat, khair al-na>s anfa’uhum li al-na>s. Berijtihad berarti bersyukur terhadap potensi akal, berjihad berarti bersyukur terhadap potensi fisik, dan bermujahadah berarti bersyukur akan hati yang bening dan beriman. Ketiganya harus bergerak maju bersama secara integratif menggapai kejayaan masa depan. Walla>hu a’lam bi al-shawa>b.
DAFTAR PUSTAKA


Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Krapyak al-Ashri>: Kamus Kontemporer Arab – Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.

Ali, Syed Ameer. Api Islam: Sejarah Evolusi dan cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. terj. H.B. Jassin. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

al-Asymawi, Said. “ Fikih Islam” dalam Johannes den Heijer dan Syamsul Anwar (red.). Islam, Negara dan Hukum. Jakarta: INIS, 1993.

al-Attas, Syeed Mohammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka, 1981.

Azra, Azyumardi (pim red. peny.). Ensiklopedi Islam. jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

al-Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi, juz I (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, tt.

al-Bigha>, Musthafa> Di>b al-Tadzhi>b fi> Adillah Matn al-Gha>yah wa al-Taqri>b. Bairut: Dar al-Fikr, 1983.

Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat. Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Departemen Agama, 2003.

Husein, Syed Sajjad dan Syed Ali Ashraf. Krisis Pendidikan Islam. Bandung: Risalah, 1986.

Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Surabaya: al_hidayah, tt.

________, Fashl al-Maqa>l fi>ma baina al-H{ikmah wa al-Syari>’ah min al-Ittisha>l, dan diberi anotasi oleh Muh}ammad ‘Amma>rah. Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, 1969.
Jansen, J.J.G. Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern. terj. Hairussalim, Syarif Hidyatullah. Yogyakarta: Tiara wacana, 1997.

al-Jurjani, Ali ibn Muhammad. Kita>b al-Ta’ri>fa>t. Jiddah: al-Haramain, tt.

Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushu>l Fiqh. Mesir: Dar al-Qalam, 1977.

al-Khann, Musthafa> Sai>d. Atsar al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>id al-Ushu>liyah fi> Ikhtila>f al-Fuqaha>`. Kairo: Mu`assasah al-Risalah, 1969.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

_________, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001.

Madjid, Nurcholish. Islam Agama Perdaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.

Mahfudh, MA. Sahal. “Kata Pengantar Rais ‘Am PB NU, Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek” dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf Asrori (peny), Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama. Terj. M. Jamaluddin miri. (1926-1999 M.), Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Diantama, 2005.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa>. Tafsir al-Maraghi. Bairut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabi, tt.

Mas’ud, Muhammad Khalid. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial terj. Yudian W Asmin. Surabaya: Al-Ihlas, tt.

Mernissi, Fatima. Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi. terj. Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1992.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984.

al-Nabha>ny, Muhammad Fa>ru>q. al-Madkhal li al-Tasyri>’ al-Isla>mi: Nasy’`atuh, Adwa>ruh al-Ta>ri>khiyah- Mustaqbalah. Kuwait-Bairu>t: Waka>lah al-Mathbu>’a>t – Dar al-Qalam, 1981.

an-Naim, Abdullah Ahmad. Dekosntruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam. terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.

Nasution, Harun. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Bandung: Mizan, 1995.

Salikin, Adang Djumhur. Reformasi Syari`ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran an-Na’im. Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Sardar, Ziauddin. Rekayasa Masadepan Muslim. Bandung: Mizan, 1986.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Spencer, Robert. Islam Ditelanjangi: Pertanyan-pertanyaan Subversif Seputer Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim. terj. Mun’im A Sirry. Jakarta: Paramadina, 2002.

Syahid, Ahmad. “Sekilas tentang Ijtihad” dalam Abdurrahman Wahid, dkk., Kontroversi Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo Situbondo. Fiqh Rakyat: Pertautan dengan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2000.

al-Uwais, Ali. al-Thaba>thaba>’i wa Manhajuh fi Tafsi>rih al-Mi>za>n. Iran: Mu`a>waniyah al-Ri`a>sah li al-Ala>qa>t al-Duwaliyah, 1985.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institut, 2006.

Yafie, Ali. “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib” dalam Abdurrahman Wahid, dkk., Kontroversi Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh. Bairut: Dar al-fikr, 1989.

_______, al-Qur’a>n al-Kari>m: Bunyatuh al-Tasyri>’iyyah wa Khasha>isuh al-H}adla>riyyah. Bairut/ Dimasqa: Dar al-Fikr al-Mu’ashir dan Dar al-Fikr, 1993.
* Moh. Roqib, Alumni dan ustadz pesantren Krapyak Yogyakarta, sekarang menjadi dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto.
[1] Reaksi amat keras terjadi di kalangan Muslim Mesir terhadap pemikiran Nashir Hamid Abu Zaid tentang studi tehadap bahasa al-Qur’an yang diyakini sakral. Untuk konteks Indonesia, kelompok muda yang tergabung dalam P3M Jakarta dengan Masdar F. Mas’udi sebagai pendekarnya. Bukti pemikiran alternatif tersebut ditemukan di antaranya dalam bukunya Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, ia menggulirkan pemikiran tentang zakat dan pajak yang memiliki dimensi yang sama dalam rangka peningkatan kesejahteraan umat. Untuk peningkatan aplikasinya bisa keduanya dilakukan saling melengkapi, yang membayar zakat mendapatkan “diskon” untuk melaksanakan beban kewajiban membayar pajak. LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) Yogyakarta yang dimotori oleh Imam Azis yang menerjemahkan dan menerbitkan karya-karya rekonstruksi dan dekonstruksi pemikiran Islam di antaranya menerbitkan buku Dekonstruksi Syari’ah karya Abdullah Ahmeed An-Na’im pada tahun 1990, dan JIL (Jaringan Islam Liberal) Jakarta yang diprakarsai dan dijaga oleh Ulil Abshar Abdallah. Ketiga kemunitas yang berasal dari backgroud tradisi NU ini “menuai” kritik pedas dan takfi>r (tuduhan kafir). Gerakan ini meskipunmendapatkan serangan dahsyat tetapi ia tetap berjalan di antaranya karena mendapatkan “payung” dari Abdurrahman Wahid yang lebih dulu membuka semak belukar pemikiran radikal atau post modernisme di Indonesia bersama Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat. Untuk melihat pembelaan Gus Dur terhadap Uli Abshar Abdallah baca Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institut, 2006), hlm. 142-146.
[2] Makalah ini kemudian dimasukkan dalam buku Syeed Mohammad Naquib al-Attas, Islam dan sekularisme ( Bandung: Pustaka, 1981).
[3] Tentang isi makalah tersebut baca Syed Sajjad Husein dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam ( Bandung: Risalah, 1986).
[4] Tentang berbagai langkahnya dapat dibaca Ziauddin Sardar, Rekayasa Masadepan Muslim (Bandung: Mizan, 1986).
[5] KH. Ali Maksum menyampaikan problem tersebut pada tahun 1988 dalam kajian Tafsir Jalalian untuk para santri yang mayoritas mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
[6] Di kalangan NU, dinamika pemikiran untuk memproduk fiqh baru sudah berlangsung pada tahun 1980-an yang pada tahun 1992 saat munas di Lampung dikukuhkan bermadzhab manhaji (metodologis) dan merekomendasikan untuk beristimbath langsung dari teks dasar, dengan referensi bukan saja pada madzhab Syafi’i tetapi juga madzhab lain dan berorientasi pada maslahah. Tentang dinamika tersebut baca MA. Sahal Mahfudh, “Kata Pengantar Rais ‘Am PB NU, Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek” dalam Imam Ghazali Said dan A. Ma’ruf Asrori (peny), Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama. Terj. M. Jamaluddin miri. (1926-1999 M.), (Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Diantama, 2005), hlm. Ix-xviii.
[7] Untuk mengkondisikan santri pada tradisi keilmuan yang lebih progresif dan kreatif, KH. Ali Maksum juga menganjurkan santri untuk ikut kajian kitab Insan Kamil yang diampu oleh putra tertuanya untuk memberikan nuansa ke arah dinamika pemikiran tersebut.
[8] Sebagai ustadz dan Wakil Direktur bidang Kesantrian & Litbang dan bidang Akademik di dua pesantren khusus mahasiswa (Pesantren Aji Mahasiswa dan Lembaga Kajian Islam Mahasiswa [LKIM] Pesantren Krapyak Yogyakarta tahun 1992 – 2002), penulis mencoba mendinamisasi proses belajar mengajar dan merumuskan pengembangan kurikulumnya sesuai dengan pesan KH. Ali Maksum. Pesantren merespon pemikiran baru dengan memasukkan beberapa literatur baru (kitab putih) di antaranya penulis pernah mengajar mata kajian Ushu>l al- Fiqh dengan kitab ‘Ilm Ushu>l al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf ( Mesir: Dar al-Qalam, 1977) dan kaidah ushulnya karya Abdul Hamid Hakim, serta mengajar kitab Fiqh kontemporer seperti al-Fiqh al-Isla>mi wa Adillatuh karya Wahbah al-Zuhaili (Bairut: Dar al-fikr, 1989) untuk kelas atas sedang kelas awal dengan kitab al-Tadzhi>b fi> Adillah Matn al-Gha>yah wa al-Taqri>b (yang di pesantren biasa kami sebut dengan Dibul Bigha) karya Musthafa> Di>b al-Bigha> (Bairut: Dar al-Fikr, 1983), dan mengajar Tafsi>r al-Mara>ghi> karya Ahmad Musthafa> al-Maraghi (Bairut: Da>r al-Ihya>’ al-Tura>ts al-‘Arabi, tt.) di samping Tafsir Jalalain yang dikaji secara rutin. Ustadz-ustadz yang mengajar di pesantren ini diambilkan dari alumni pesantren yang sekaligus sarjana S-1, S-2, dan S-3 dari alumni dalam dan luar negeri (termasuk Barat). Sebagai gambaran tentang dinamika pemikiran tersebut direktur LKIM, Prof. Dr. dr. Hamam Hadi (menantu Kyai Ali yang dosen Fakultas Kedokteran UGM dan alumni UCLA) dengan penulis sebagai Wakil Direkturnya selalu mengadakan kajian tambahan berupa diskusi, seminar tentang politik, hukum, manajemen, budaya, dan orasi ilmiah saat wisuda santri LKIM. Penerapan sistem, pembelajaran yang dialogis selain sorogan dan bandongan ditujukan untuk meningkatkan dinamika berfikir santri.
[9] Alumni pesantren Krapyak yang dikenal liberal dan produktif di antaranya; Mustofa Bisri (Gus Mus), seorang kyai, budayawan, dan seniman. Seni lukisnya tentang “goyang ngebor” Inul pernah menimbulkan kontroversi, termasuk di kalangan para ulama yang menyoroti hukum lukisan “goyang ngebor” tersebut. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengaji ke KH.Ali Maksum meskipun ia tinggal di Kauman juga memiliki pemikiran radikal-kontroversial, Masdar F. Mas’udi, yang pemikirannya menggelisahkan kyai-kyai sepuh, serta Said Aqiel Siraj yang pernah ceramah di gereja dan dituduh Syiah. Alumni generasi muda di antaranya Yudian Wahyudi dan Syahiron Syamsuddin yang meneruskan kesantriannya di negeri Barat dan saat ini menjadi staf pengajar di UIN Yogyakarta. Keenam contoh alumni ini mengindikasikan bahwa kebijakan pesantren yang mengedepankan Ushul Fiqh atau metodologi berfikir dengan literatur yang variatif memberikan peluang peserta didik dapat berfikir lebih dinamis dan konstruktif.
[10] Kata ini juga berarti membebani di luar batas kemampuannya (karena beban yang amat berat dan sulit). Jiha>d berarti perjuangan yang biasanya dikaitkan dengan kata fi> sabi>lillah yang bermakna perjuangan berat karena terkait dengan al-juha>da> atau al-juhaida>,, batas puncak kekuatan dan kemampuan. Muja>hadah dari kata ja>hada berarti mencurahkan segala kemampuan (untuk berkontemplasi dan dzikir) yang lebih berkonotasi pada perjuangan spiritual dalam bentuk pembacaan do’a (sendiri atau bersama) secara khusyu’ untuk memohon kepada Allah agar diberikan bantuan agar mampu melakukan amanat yang berat. Sedang ijtiha>d dari kata ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan yang berupa pencurahan tenaga pikiran untuk mengambil hukum dari suatu dalil. Jadi, jihad lebih ke pengerahan potensi fisik-psikomotorik, mujahadah, ke potensi psikis-afeksi, sedang ijtihad lebih ke fokus pemikiran, nalar, dan kognitif yang ketiganya ditujukan untuk meraih ridla Allah Swt. Dalam praktiknya ketiganya saling berkait. Tentang variasi makna ini baca Ahmad Warson Munawwir, al- Munawwir: Kamus Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), hlm. 234-235 dan Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Krapyak al-Ashri>: Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), hlm. 702, 1628.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 501. Untuk penjelasan tentang jihad berikut maknanya dalam al-Qur’an baca, ibid., hlm. 500-519.
[12] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kita>b al-Ta’ri>fa>t, (Jiddah: al-Haramain, tt), hlm. 10.
[13] Azyumardi azra (pim red.peny.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), jilid 2, hlm. 183
[14] Muhammad Fa>ru>q al-Nabha>ny, al-Madkhal li al-Tasyri>’ al-Isla>mi: Nasy`atuh, Adwa>ruh al-Ta>ri>khiyah- Mustaqbalah (Kuwait-Bairu>t: Waka>lah al-Mathbu>’a>t – Dar al-Qalam, 1981), hlm. 109.
[15] Penjelasan tentang alasan secara lebih luas dapat dibaca, Musthafa> Sai>d al-Khann, Atsar al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>id al-Ushu>liyah fi> Ikhtila>f al-Fuqaha>` (Kairo: Mu`assasah al-Risalah, 1969), hlm. 31-34.
[16] Dalam hadis tersebut diberitakan bahwa jika Muadz tidak mendapatkan penyelesaiaan kasus di dalam al-Qur’an dan Sunnah maka ia berketetapan untuk berijitihad dengan nalarnya, ajtahidu bi ra`yi>.
[17] Ijma’ merupakan bagian dari prosedur ijtihad yang dilakukan para sahabat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yang jika tidak berdasar pada kitab suci ini, menurut Ibnu Rusyd maka ia menjadi lepas dari dasar utama ini dan sahabat diasumsikan membuat ajaran baru. Selanjutnya baca Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Surabaya: al_hidayah, tt), hlm. 4.
[18] Lengkapnya al-qiya>s al-tamtsi>li, analogical reasoning, pemikiran analogis.
[19] Tentang pandangan an-Na’im ini, baca Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari`ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran an-Na’im (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 62-71.
[20] Rincian agak lengkap baca Ahmad Syahid, “Sekilas tentang Ijtihad” dalam Abdurrahman Wahid, dkk., Kontroversi Pemikiran Islam Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 7-12. Adapun tentang peran rasio dalam sistem pengambilan hukum menurut Ali Yafie “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib” dalam ibid, hlm. 18 Imam Dawud Dhahiri lebih mengutamakan wahyusecara tekstual tanpa campur tangan rasio, Ahmad Ibn Hanbal, lebih mengutamakan hadis dhaif daripada rasio, Imam Malik lebih mengutamakan mashalih al-mursalah, Imam Syafi’i lebih mengutamakan dasar-dasar, wahyu, dan rasio sebagai penunjang, sedang Imam Hanafi lebih banyak menggunakan rasio daripada hadis.
[21] Menurut Ibnu Rusyd maksud syari’ah (maqshu>d al-syari>’ah) adalah 1) memberikan pembelajaran terhadap pengetahuan tentang al-H{aq (al-‘ilm al-H{aq) yaitu ma’rifah kepada Allah dan makhluknya serta mengetahui kebahagiaan dan kesengsaraan hidup di akhirat, 2) pendidikan terhadap perilaku kebenaran (al-‘amal al-h}aq) yaitu pelaksanaan terhadap perilaku yang berguna untuk kebahagiaan dan menjauhkan dari kehidupan yang sengsara, yang dalam bahas sederhana disebut kebahagiaan umat. Lebih lanjut baca Abu al-Wali>d ibn Rusyd, Fashl al-Maqa>l fi>ma baina al-H{ikmah wa al-Syari>’ah min al-Ittisha>l, dan diberi anotasi oleh Muh}ammad ‘Amma>rah (Mesir: Da>r al-Ma’a>rif, 1969), hlm. 54.
[22] Mashlah}ah oleh Syatibi diartikan sebagai kebaikan yang terkait dengan substansi kehidupan manusia dan pencapaian apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya dalam pengertaiannya yang mutlak. Maslah}ah juga berarti perlindungan terhadap kepentingan-kepetingan atau kebutuhan primer yang harus dipenuhi (dharu>ri), kebutuhan skunder (ha>jji), dan kebutuhan tertier atau tertier atau pelengkap untuk menghias keindahan hidup (tahsi>ni). Maqashid Daruri ini disebut harus (necessary) karena maqashid ini tidak bisa dihindarkan dalam menopang mashalih al-din (agama dan akhirat) dan dunia dengan pengertian jika mashalih ini dirusak maka stabilitas mashalih dunia pun rusak. Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial terj. Yudian W Asmin, (Surabaya: Al-Ihlas, tt), hlm. 229-230.
[23] Spencer memberikan contoh di Nigeria yang menegakkan syariat Islam secara rigit, di negeri ini seorang perempuan didakwa hukum rajam sampai mati karena dituduh berzina. Padahal, ia melapor diperkosa tetapi tidak mampu menghadirka empat orang saksi sebagaimana ketentuan dalam fikih Islam. Sementara sang pemerkosanya sendiri dibebaskan. Sebagai bacaan tentang kritik ini baca, Robert Spencer, Islam Ditelanjangi: Pertanyan-pertanyaan Subversif Seputer Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim, terj. Mun’im A Sirry (Jakarta: Paramadina, 2002).
[24] Memposisikan ijtihad secara manusiawi bukan berarti setiap individu boleh melakukannya tanpa memperdulikan pemenuhan syarat-syarat baik secara individual maupun kolektif (jamai) sebagaimana telah disebutkan di depan. Ijtihad sebagai produk keilmuan harus melalui prosedur ilmiah agar memiliki legitimasi yang tinggi.
[25] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern, terj. Hairussalim, Syarif Hidyatullah (Yogyakarta: Tiara wacana, 1997), hlm. 148.
[26] Al-Bajuri berpendapat bahwa ijitihad terputus atau terhenti setelah sekitar tigaratus tahun Islam berjalan. Menurut Bajuri pendapat ini berbeda dengan pendapat Jalal al-Din al-Suyuti bahwa ijtihad ini tetap eksis sampai akhir zaman sebagaimana dikatakan dalam hadis tentang “setiap seratus tahun Allah akan mengutus orang untuk melakukan pembaharuan bagi umat manusia tentang keagamaannya”. Tetapi, Bajuri mengartikan orang yang melakukan reformasi (tajdi>d) agama dengan melakukan penetapan terhadap hukum yang ada tersebut bukan mujtahid mutlak juga bukan mujtahid madzhab yaitu mujtahid istinbath hukumnya berdasarkan kaidah-kaidah imam madzhabnya seperti al-Muzany, dan bukan mujtahid fatwa yang berijtihad dengan melakukan tarjih berbagai pendapat yang ada seperti al-Rafii dan al-Nawawi. Yang menarik lagi pada tingkat mujtahid fatwa ini Bajuri mengecualikan ulama sekapasitas al-Ramly dan Ibnu Hajar, keduanya dikatagorikan sebagai muqallid saja atau hanya mampu mentarjih dalam sebagaian masalah atau problem hukum. Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim al-Ghazi, juz I (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, tt.), hlm. 19.
[27] Tradisi Arab juga telah mengalami proses islamisasi tradisi semisal pelaksanaan ibadah haji, Nabi membersihkan tradisi ini dari noda paganisme berupa pembersihan terhadap berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah. Ajaran Aqiqah, berasal dari tradisi Arab yang telah dibersihkan oleh Nabi dari kebiasaan “persembahan pagan” yang bertentangan dengan tauhid. Persembahan yang populer di antaranya adalah al-wa’d-u al-banat, pengorbanan bayi perempuan juga laki-laki (seperti kasus ayah Nabi Muhammad). Terkait dengan pengorbanan ini secara lebih lengkap baca Fatima Mernissi, Islam dan Antologi Ketakutan Demokrasi, terj. Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LKiS, 1992), hlm. 135-152. dan Nurcholish Madjid, Islam Agama Perdaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 289-290. Pelaksanaan peribadatan dan nilai religius selalu bersinggungan dan berdealiktika dengan tradisi lokal dan siapapun akan kesulitan untuk berlawanan terhadap nilai tradisi positif (sunnah h}asanah) masyarakat sekitar di mana mereka hidup.
[28] Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 ), hlm. 55-56.
[29] Revitalisasi ushul fiqh sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas dan keberanian menelorkan hukum yang dibutuhkan rakyat, diversisivikasi teks dalam artian menghadirkan nash tandingan sebagai alternatif probem solving, dan perluasan wilayah ta’wil untuk menopang keberanian mengungkap kemungkinan pluralitas makna agar tidak terpaku pada satu makna saja. Untuk contoh-contoh problem sosial yang telah dikupas dengan pendekatan ini baca, Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukerejo Situbondo, Fiqh Rakyat: Pertautan dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2000).
[30] Pembedaan ini dilakukan karena fikih itu sangat dipengaruhi oleh hukum dan yuriprudensi Romawi-Bizantium, berkembang secara kasuistik, tidak bebas dari faktor luar dan pengaruh politik sehingga cenderung tidak orsinal, dan terikat oleh madzhab, Selanjutnya baca pendapat Said al-Asymawi “ Fikih Islam” dalam Jahannes den Heijer dan Syamsul Anwar (red.), Islam, Negara dan Hukum, (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 119.
[31] Klasifikasi hukum seperti ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Wahbah al-Zuhaili, al-Qur’a>n al-Kari>m: Bunyatuh al-Tasyri>’iyyah wa Khasha>isuh al-H}adla>riyyah (Bairut/ Dimasqa: Dar al-Fikr al-Mu’ashir dan Dar al-Fikr, 1993), 28. Bagi al-Zuhaili hukum al-Qur’an dapat diklasifikasi menjadi tiga yaitu al-ah}ka>m al- i’tiqa>diyah, hukum yang terkait dengan keyakinan teologis, al-ah}ka>m al-khuluqiyah, hukum yang terkait dengan moralitas, al-ah}ka>m al-‘amaliyah, hukum yang terkait dengan perbuatan, ucapan, kontrak, dan prilaku transaksi seseorang. Hukum amaliyah ini dibagi menjadi dua pertama ibadah dan kedua muamalah. Yang tidak akan terjadi perubahan adalah yang terkait dengan hukum teologi dan hukum peribadatan mah}dhah, yang tata kerjanya sudah ada panduan juklaknya yang tetap dari Tuhan.
[32] Khalifah II Umar ibn Khattab (612-622 M.), ada beberapa hukum al-Qur’an yang tidak dinasakh tidak diberlakukan pada masanya yaitu ia tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf meskipun al-Qur’an memerintahkannya, dia melarang nikah mut’ah yang dibenarkan oleh sebuah ayat dalam al-Qur’an dan masih diberlakukan oleh kaum Syi’ah, dan ia melarang prajurit Muslim mengambil tanah rampasan perang yang disebut Tanah Sawad (di Irak dan Persia) yang menurut al-Qur’an sebagai hak prajurit yang menaklukkannya. Said al-Asymawi “ Fikih Islam” , hlm. 129-131.
[33] Dekonstruksi seperti ini dasar logika secara lebih lengkap dapat ditemukan dalam Abdullah Ahmad An-Naim, Dekosntruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 53-57.
[34] Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-esai agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 19-28. Untuk tawaran Kutowijoyo ini, diperlukan konsptualisasi ijtihad yang aplikatif secara khusus.
[35] Fakta historis menunjukkan ada perubahan pemberlakuan madzhab seperti madzhab al-Dzahiri yang berkembang di Andalusia dan lenyap pada abad ke delapan H, madzhab al-Auza’i (88-157 H) yang berkembang di Syuriah dan Andalusia tetapi kemudian dikalahkan oleh madzhab Syafi’i dan Maliki di Andalusia, madzhab al-Thabari (224-310) yang berkembang di Baghdad dan mengalami kemuduran pada abad kelima H dan akhirnya lenyap. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 197.
[36] Tentang semangat rasional dan filosofi umat Islam, informasi cukup menarik baca, Syed Ameer Ali, Api Islam: Sejarah Evolusi dan Cita-cita Islam dengan Riwayat Hidup Nabi Muhammad S.A.W. terj. H.B. Jassin (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 600-692.
[37] Ide pelaksanaan zakat menjadi bagian dari pembayaran pajak yang dikelola oleh negara telah ditetapkan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, sebelumnya ide tersebut pernah dilontarkan oleh Masdar Farid Mas’udi dalam Agama dan Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam tahun 1993. Dalam perkembangannya undang-undang tersebut dipertegas pelaksanaannya dengan Keputusan Menteri Agama Republik Indfonesia nomor 373 tahun 2003 tentang pelaksanaan undang-undang no 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat tersebut dibentuk BAZ (Badan Amil Zakat) dari tingkat pusat, propinsi, sampai kabupaten. Dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan badan Perpajakan dan Perbankan. Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Zakat (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Departemen Agama, 2003).
[38] Untuk penjelasan keenam kesadaran ini, lebih lanjut baca Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid:, hlm. 21-28.
[39] Prinsip Evolusioner ini jika diterapkan akan berpengaruh pada, diskriminasi perempuan seperti penghapusan terhadap poligami dan pembagian mawaris antara laki-laki sama atau sesuai kondisi ekonomi dan penghapusan terhadap diskriminasi non-muslim dalam perkawinan dalam arti seorang Muslim atau Muslimah diperbolehkan menikah dengan non Muslim karena kekhawatiran sosio-teologis yang ada pada masa lalu saat ini sudah tridak ada dan tidak aktual lagi. Tentang pemikirannya ini baca Abdullah Ahmad An-Naim, Dekosntruksi Syari’ah, hlm. 335-346.
[40] Ali al-Uwais, al-Thaba>thaba>’i wa Manhajuh fi Tafsi>rih al-Mi>za>n (Iran: Mu`a>waniyah al-Ri`a>sah li al-Ala>qa>t al-Duwaliyah, 1985), hlm. 51.

Tidak ada komentar: