Minggu, 09 Maret 2008

Pengabdian Masyarakat dalam Perspektif Gender

PENGABDIAN MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF JENDER *
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag **


I. PENDAHULUAN :

Berbicara tentang perempuan terasa mengasikkan tidak tidak ada habis-habisnya. Pembicaraan tentang perempuan selalu menarik di samping perempuan memang “biasanya” menarik (karena dianggap indah bagi laki-laki dan perempuan) karena perempuan memiliki “sudut-sudut” kehidupan yang sensitif yang selama ini dianggap rentan terhadap ketindakadilan jender berupa marginalisasi, subordinasi, steriotipe, kekerasan, dan beban kerja (ganda/double burden). Di sisi fisik-biologis perempuan juga sering dijadikan “tontonan nikmat” (bagi laki-laki) hampir pada setiap “lekuk” tubuhnya terutama, menurut penelitian Tamrin Amal Tomagola (Kompas 22 Juli 2001)dari Universitas Indonesia, kaki/betis, dada, punggung, pinggul (pantat), rambut, dan bibir. Anehnya, perempuan hanyut dalam prilaku dan kenyataan keseharian ini. Hal ini dapat kita perhatikan misalnya lewat prilaku keseharian dan sinetron/film.
Model prilaku demikian dianggap oleh sebagian orang sebagai bagian dari kehidupan perempuan yang suka membuat laki-laki “megap-megap atau ngos-ngosan” nafsu seksualnya. Padahal hal ini memiliki rentetan siklus kehidupan yang panjang sebagai konstruksi budaya manusia dari waktu ke waktu.
Tulisan berikut tidak akan membicarakan teori-teori tentang studi jender yang “dakik-dakik” tetapi lebih terfokuskan pada pencaharian alternatif konsep pengembangan pengabdian masyarakat yang tidak bias jender dan selalu berada di atas dasar keadilan jender. Untuk itu tulisan ini terkesan “apa adanya”. Walaupun demikian, tulisan ini diharapkan mampu menjadi umpan untuk melakukan diskusi yang lebih serius guna memperoleh suatu format baru di bidang pengabdian masyarakat yang akan dilaksanakan oleh STAIN Purwokerto.
II. ANALISIS JENDER
Analisis dan teori sosial dilahirkan dalam sejarah untuk memerangi ketidak adilan. Meski demikian ada juga yang mempersoalkan metodologi dan epistemologi (positivisme) sebagai salah satu sumber ketidak adilan atau lebih menjadi alat untuk melanggengkan ketidak adilan.
Analisis jender merupakan satu analis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme untuk memmahami realitas sosial.
Sebagai teori, tugas utama analisis jender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya, tetapi analisis jender dilakukan untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada dan bukan menggantikannya. (Mansour Fakih, Analisis Gender & Tarnsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996 h. xii-xiii).

III. PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBERDAYAAN
Nawal Sa’dawi dalam Qadlaya Mar’ah wa al-Fikr wa al-Siyasah (Maktabah Madbuli, Kairo, 2001, hlm. 16) menceritakan tentang identifikasi diri anak perempuan pada ayahnya yang insinyur, pilot, dan presiden atau karena ayahnya. Perempuan tidak bermimpi seperti ibunya. Anak laki-laki dan perempuan boleh sama tetapi, demikian lanjut Nawal semua impian untuk menjadi pencipta dan pemeran utama ada pada setiap anak, namun bagi anak perempuan impian itu benar-benar hanya sebuah impian, dan mereka harus rela menjadi seperti ibunya yang tak pernah terbersit dalam impian kecilnya.
Bagi anak yang sedang dalam proses belajar tentu memiliki harapan dan cita-cita tetapi realitas sosial sering membuat mereka luluh dan malas studi. Karenanya di kalangan kita ada pernyataan “untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi toh nanti akan kembali ke dapur, sumur, kasur”. Padahal tugas-tugas perempuan baik tugas domistik maupun publik harus didasari oleh keilmuan, pengalaman, dan pendalaman yang mereka peroleh dari setiap gerakan kehidupannya sebagai manusia. Tanpa bekal yang memadai bagaimana mungkin perempuan dapat menjadi manusia utuh seperti yang dikehendaki oleh ajaran agama.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah (al-Markaz al-Tsaqafi al’Arabi, Bairut, 2000, h. 84-85) Mengungkapkan, “Pengekangan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik rumah tangga saja adalah satu hal yang mengandung kasalahan yang sangat fatal, karena jika tanggungjawab atas perkembangan generasi muda adalah terutama dimulai dari keluarga yang selanjutnya (sebagaian) dibebankan pada perempuan – sebagai ibu – maka pengekangan perempuan dalam urusan rumah saja dengan sendirinya menghilangkan satu faktor atau unsur terpenting bagi proses pendidikan itu sendiri, yairtu sensitivitas sosial. Hal ini akan menghalangi perempuan mendapatkan kesempatan kedewasaan secara aktif dan bebas, yaitu dengan cara beriteraksi langsung dengan segala fenomena di masyarakat. Sebaliknya jika perempuan hanya di rumah mereka akan mendapatkan proses ini dengan cara pasif dari media yang menemani mereka, baik media visual maupun nonvisual. Dan dengan sendirinya tanggungjawab pendidikan terhadap generasi penerus berpindah tangan kepada instansi yang terkait dengan media tersebut, dalam hal ini tidak pernah sama sekali disadari. Sedang perempuan telah jauh menuntut ilmu dan selanjutnya hanya berperan dalam Rumat Tangga, hal ini akan mematikan ilmu yang yang didapatkannya dan kesia-siaan dari pembelajarannya, karena ilmu yang dipelajari memerlukan implementasi yang perlu terus mendapatkan pembaharuan yang aktif.(Keterangan lebih lanjut baca, Kompas 29 Oktober 2001).
Pengabdian pada masyarakat dalam perspektif jender harus dimulai dari peningkatan SDM dan menyadarkannya bahwa peran-peran strategis akan mampu dilaksanakan dengan baik jika kualitas perempuan tinggi sehingga kehormatan sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki dapat diperoleh tanpa pertentangan dan tidak menimbulkan kerugian kedua belah pihak.
Dasar bahwa perempuan meiliki hak untuk sejajar di sisi Allah dan makhluk-Nya sudah menjadi keyakinan setiap Muslim walaupun realitasnya masih jauh dari prinsip dasar ajaran agama. Untuk itu upaya sosialisasi nilai ajaran dan prisnsip-prinsipnya perlu mendapatkan perhatian yang memadai.

IV. LIMA PRINSIP UNIVERSAL (AL-KULLIYAT AL-KHAMS)
Ada lima prinsip universal sebagai tujuan syari’at Islam. Lima hal tersebut menyangkut seluruh kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan.

NO
PRINSIP UNIVERSAL
ARTIKULASI PRINSIP
UNTUK KEADILAN JENDER
I





II



III




IV


V
Menjaga Agama (Hifdz al-Din)




Menjaga Jiwa / Kelangsungan Hidup (Hifdz al-Nafs)

Menjaga Akal/Rasio (Hifdz al-Aql )



Menjaga Harta (Hifdz al-Mal)

Menjaga Keturunan (Hifdz al-Nasl)

Menjamin kebebasan dalam pengembangan wacana pemikiran keagamaan dan mengekspresikannya dalam hubungan horisontal maupun vertikal. Tidak ada diskriminasi kadar keagamaan dan kebenaran (misalnya perempuan itu memang dari “sononya” bengkok atau agen setan).
Menjaga kesehatan ibu tatkala menstrusi, hamil, melahirkan dan menyusui, serta memenuhi kebutuhan dhahir-bathinnya agar anak sehat fisik-psikisnya.

Menjamin keamanan dan kehormatan individu dan kelompok sosial untuk berfikir kreatif dan bebas berekspresi dalam berpolitik, mengajar, berkomunikasi, dan menciptakan opini

Menjamin setiap individu dalam kepemiliki harta dan properti.

Menjamin kelangsungan keturunan (dengan tidak aborsi) walaupun keturunan tersebut merupakan hasil perzinahan dan atau perkosaan atau sebab perbedaan SARA, tidak memaksakan alat kontrasepsi dan sterilasasi. Menjamin kehormatan dan profesi siapa pun.




V. CONTOH KASUS BIDANG GARAP PENGABDIAN
Ada beberapa kasus terkait dengan pemberdayaan perempuan di antaranya; Operasi Pekat (penyakit masyarakat) yang dilakukan jajaran Polda Jawa Barat lebih menunjukkan teror untuk perempuan. Hal ini karena polisi “serampangan” dan membuat perempuan warga kota takut keluar malam karena takut dituduh PSK. Sementara laki-laki banyak juga yang nongkrong dan ugal-ugalan tetapi aman dari tuduhan negatif tersebut hanya disebabkan sulit pembuktiannya. ( Kompas, 24 September 2001)
Etos kerja. Seperti yang dilakukan oleh perempuan di desa-desa di Kabupaten Kuningan seperti desa Cikahuripan, Parakan, dan Karangmaja Kecamatan Lebakwangi dan di Desa Gewok dan Kutakembaran, Kecamatan Garawangi mereka mengusung batu di atas kepala, memecah batu, dan mengangkut sebakul dua bakul pasir. Ia melakukan kerja (bakti) menggantikan suami mereka yang hampir 90 persenmerantau ke Jakarta. Bahkan kata Jumi (50) “kalau tidak memprek batu badan saya malah pegal”. Penghasilan mereka sehari minimal Rp. 3.000,- (78.000 – 100.000,- per bulan). Pengalihan petan (mencari kutu) dengan kerja produktif sambil ngrumpi untuk tukan informasi. (Kompas, Senin, 24 September 2001).
Menolak diskriminasi dengan melakukan perlindungan terhadap buruh juga buruh migran. Untuk kasus buruh migran usaha telah dirintis oleh Komnas Perempuan dengan bekerjasama dengan Organisasi HAM Arab yang berkedudukan di Mesir. (Kompas, Senin 24 September 2001)
Dominasi laki-laki atas perempuan terlihat juga pada kasus aborsi yang selalu dikembalikan pada perempuan padahal faktor-faktor penting di dalamnya di antaranya kegagalan alat kontrasepsi, minimnya persediaan alat-alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak diinginkan, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja, dan ketidakmampuan secara ekonomi dan psikologis juga karena ada “industri prostitusi”.. Bukankah faktor-faktor ini ada dalam relasi perempuan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil yang mempunyai andil besar dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan dikonstruksi dalam masyarakat di mana semangat egaliter, kederajatan laki-laki dan perempuan semakin dikembangkan. (Kompas, 29 Oktober 2001)
Ketidaksetaraan jender yang merupakan akibat perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dari ketika masih dalam kandungan, masa kanak-kanak, dan remaja, dan sebagai manusia dewasa dibenarkan dalam keluarga dan masyarakat. Padahal tujuan pembangunan yang lebih besar adalah pencapaian keadilan, dan keadilan bagi semua.

VI. TEMA-TEMA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

1. Pemikiran keagamaan meliputi a. Memperjelas tentang kedudukan perempuan dan ayat-hadis yang dianggap missoginis. b. Perempuan antara khalifah dan presiden, c. Konsep mahram, d. Konsep haidz/menstruasi terakit dengan ibadah dan implikasi sosialnya (antropologi dan sosiologi menstrusi), e. Antropologi jilbab, f. Aurat (dan susra perempuan), g. Nusuz (durhaka dan perempuan yang menentang keinginan suami untuk berhubungan seks), h. Istri mencerai suami, i. Nikah sirri (nikah ala Dawudz Dhahiri), j. Nikah mut’ah, k. Sex education.
2. Ekonomi meliputi a. Beban kerja (double burden), b. Penghargaan kerja (produksi atau reproduksi), c. Gaji tenaga kerja, d. Pengiriman TKW dan jaminan keamanannya e. Keterampilan dan keamanan tenaga kerja, dan lain-lain.
3. Politik-hukum meliputi; a. HAM-HAR, b. Kepemimpinan perempuan dll.
4. Sosial-Budaya meliputi a. seni suara, lukis, seni panggung (sinetron/film), b. bela diri, olah raga, senam (body language), c. Human relation, d. tradisi, e. arsitektur (arkeologi), f. Media massa, dan lain-lain.

VII. STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
1. Memberlakukan sistem kuota (30 persen misalnya) yang mampu merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai langkah awal dengan memberikan tekanan pada opportunity atau kesempatan dan mementingkan kualifikasi sebagai dasar pertimbangan untuk membuat perasaingan jadi fair..
2. One door policy, agar kebijakan yang diambil tidak mengenyampingkan pertimbangan relasi jender.
3. Peningkatan SDM. Sebab, pendidikan perempuan (ibu) di antaranya sangat signifikan dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak (juga ibu/perempuan itu sendiri). Demikian dikatakan oleh Nicole Mellinton dan Lisa Cameron yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (Desember 1999). Dalam pengalaman sehari-hari kita temukan bahwa pendidikan berperan penting dalam menaikkan kesejahteraan seseorang. Pendidikan yang lebih baik memberikan upah yang lebih baik dibandingkan mereka yang pendidikannya kurang.
4. Melakukan affirmative action. Untuk memberikan perempuan kesempatan yang lebih besar bisa menikamti pendidikan, pemerintah harus menjalankan perannya secara aktif dengan pemberian beasiswa yang mengutamakan anak perempuan juga bisa menjamin tidak melebarnya kesenjangan jender dalam pendidikan. Tentu saja, affirmative action ini akan selalu ditinjau agar laki-laki dan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Affirmative action merupakan tindakan proaktif untuk mengahapuskan diskriminasi yang berbasis jender dan kelas. Pemerintah telah meneluarkan UU nomor 21 tahun 1999 mengenai penghapusan diskriminasi perempuan dalam pekerjaan dan jabatan.
5. Pembentukan jaringan. Perempuan dapat mempelopori upaya pembenahan, dengan cara membentuk jaringan kelompok konsumen misalnya di sektor air minum, listrik dan lain-lain.
6. Membuat gerakan perempuan yang mampu melihat spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif, secara sadar atau tidak sadar, kelompok atau organisasi yang memberoikkan tekanan terhadap penghapusan aspek subordinasi jender yang berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti didasarkan atas prefensi kelas, ras, etnis, usia, dan seks. Gerakan ini membangun identitas mereka dalam tindakan dan dalam merefleksiukan pengalaman penindasannya. Gerakan sosial bisa berupa jaringan yang tidak tampak dari kelompok-kelompok kecil yang muncul di tengah kehidupan sehari-hari. Manusia politik the personal is political. Tidak ada satu pun hal di ruang privat yang tidak bersifat politis dan bahwa apa yang didefinisikan sebagai kepentingan pribadsi senantiasa berkaitan dengan kepentingan umum di ruang publik., Ada “politik susu” dan “politik nasi bungkus” seperti demo (SIP) Suara Ibu Peduli di Bundaran Hotel Indonesia pada Februari 1998 lalu dan saat demonstrasi penurunan Presiden Soeharto. Yang terpenting adalah bagaimana perempuan bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan, di samping memperoleh kesehatan dan pendidikannya secara layak.
7. Membuat perencanaan yang sensitif jender dengan dasar data, kemudian membuat anggaran, kemudian program atau proyek misalnya data jumlah data perempuan buta huruf di Jawa yang dua kali lebih tinggi dari jumlah buta huruf pada laki-laki
* Tulisan ini merupakan refleksi mentah dan ringan sebagai “sentilan” pada Diklat Pengabdian STAIN Purwokerto tanggal 14 Nopember 2001.
** Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

Tidak ada komentar: