Selasa, 04 Maret 2008

Dakwah Islam: Antara Harmonisasi dan Dinamisasi

DAKWAH ISLAM:
ANTARA HARMONISASI DAN DINAMISASI
Oleh. Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag *




A. Pendahuluan
Harmoni dalam kehidupan selalu didambakan semua orang baik dalam kehidupan keluarga, bertetangga, dan bermasyarakat secara lebih luas dalam lingkup regional, nasional, dan internasional. Indonesia bercita-cita ikut dalam ketertiban dunia dengan berpartisipasi di ASEAN, OKI, dan PBB. Meski demikian kasus 11 September 2001 tentang kehancuran WTC memicu konflik dan merobek harmoni yang secara susah payah dikembangkan. Konflik kemudian merebak dengan menggunakan isyu teroris. Kecurigaan terhadap komunitas Muslim menjadi meningkat bahkan berlebihan.
AS sebagai polisi dunia telah memicu konflik dunia Barat dan dunia Islam dengan invasi militernya ke beberapa Negara Muslim sep[erti Afganistan dan Irak meskipun dengan dalih perdamaian. AS pandai memainkan kata-kata dan data kelemahan umat Islam untuk kepentingan ambisi politiknya menjajah dunia atau menguasai ekonominya dengan berbagai kekuatan baik hard power mapun soft power yang dimilikinya.
Umat Islam dalam pertarungan politik telah kalah, untuk itu harus berbenah. Para aktifis Muslim termasuk para da’i atau muballigh dituntut berbuat lebih strategis dalam mendampingi dan memberdayakan umat. Da’i tidak harus menuruti kemanjaan umat sep;erti setiap pengajian agama harus ditampilkan muballigh atau penceramah yang lucu dan banyak humor. Pilihan ini tidak mendidik umat untuk kritis dan mampu berbuat sesuatu yang berarti karena hanya terpaku pada gaya dan humor muballigh itu. Bukan berarti humor tidak penting dalam dakwah, sebagai bumbu penyedap ia dibutuhkan secara proporsional.
Bagaiamana berdakwah di era global dan dunia semakin sempit karena kecanggihan alat komunikasi dan transportasi yang selalu membangun harmonitas sosial sekaligus menggerakkannya ke arah kemajuan. Pertanyaan ini yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini. Pertanyaan ini menarik bagi penulis di samping karena isyu disharmoni ditingkat internasional dan global, secara internal dalam komunitas Muslim sering terjadi konflik dan potensi konfliknya yang besar. Bisa dikatakan, tidak ada komunitas Muslim yang sepi dari perpecahan, bahkan dalam kehidupan keluarganya ditemukan perceraian, konflik antara anak-orang tua atau antara suami istri dan antara sesama anak. Untuk mengurai hal tersebut dibutuhkan kecerdasan, ketelitian, keuletan, dan jaringan. Pengalaman penulis sebagai aktivis lembaga dakwah Islam saat masih tinggal di DI. Yogyakarta[1] memberikan pengalaman riil-faktual bahwa dunia dakwah harus dikembangkan secara profesional. Kerja profesional harus terencana, melibatkan orang lain, dan bekerjasama.

B. Memahami Makna Harmoni dan Konflik
Siapa dia? Ia minha bukan minna, dia bagian “darinya” buka bagian dari “kita”. Tanya jawab seperti ini sering didengar dalam percakapan sehari-hari umat Islam. Jawaban demikian menandakan adanya psudoharmoni atau harmoni semu jika penyebutan itu dimaknai bahwa ia sebagai “musuh” dan bukan partner kerja untuk ber-fastabiqu al-Khairat, saling bergegas untuk menuju yang terbaik, karena beda organisasi.[2] Berbeda agama, organisasi, etnis, dan Negara bukan otomatis sebagai penghalang penciptaan harmoni tapi bisa sebagai media atau dasar penciptaan harmoni. Harmoni harus dibangun pertama kali dalam keluarga dengan komuniksi efektif dan kedekatan kemudian dikembangkan ke luar rumah. Kedekatan dan kemesraan yang ditunjukkan oleh sebuah keluarga menunjukkan nilai harmonis tersebut sebagaimana alat musik yang menunjukkan suara merdu dan enak jika didengarkan disebut harmoni.
Setiap keserasian, keselarasan, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan menunjukkan makna harmoni ini. [3] Pemaknaan kata seperti ini sesuai dengan kata harmoni ini yang berasal dari bahasa Inggris harmonious yang berarti rukun, seia-sekata; harmonious relationship yang berarti hubungan yang rukun; harmonize yang berarti berpadanan, seimbang, cocok, berpadu; harmony (j. nies) berarti keselarasan, keserasian, kecocokan, kesesuaian, kerukunan (to be in harmony with the universe, berkeselarasan dengan alam semesta).[4] Menjauh dengan alam selain membuat disharmonis dengan alam juga menimbulkan bencana dan konflik secara psikis pada diri dan lingkungan sosial.
Menelusuri makna hakiki harmoni berarti merujuk pada keserasian, kehangatan, keterpaduan, dan kerukunan yang mendalam dan melibatkan hati dan jiwa beserta bukti fisiknya. Integrasi antara fisik-psikis akan termanifestasikan dalam bentuk prilaku dan kenyamanan untuk bersanding dan berdampingan. Keengganan seseorang untuk mendengar, menyapa, dan bersanding menunjukkan bahwa harmoni orang tersebut sedang terganggu. Boleh jadi ia terlihat atau memperlihatkan adanya harmonitas (dhohir) terhadap seseorang tetapi dalam batinnya ada pertentangan dan pertikaian di antara mereka. Hal ini bukan hakekat harmoni. Harmoni sebenarnya merujuk pada keselarasan dhohir-bathin yang ada pada diri seseorang sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Sebagaimana disebutkan di depan, mendengar kata harmoni orang sering teringat akan musik. Gamelan, dangdut, pop, kenthongan, atau musik daerah juga mengisyaratkan adanya nilai harmoni di dalamnya. Keserasian antara gambang, suling, gendang, gong, dan lainnya terpadu dalam satu alunan lagu dan syair yang merdu dan enak didengar juga menunjukkan sisi harmoni ini. Berbeda dengan lagu yang menghentak-hentak, beringas, dan keras tidak beraturan seringkali dianggap menunjukkan disharmoni di dalamnya yang kemudian dimaknai pemainnya sedang murka dan melampiaskan dendam kesumat hatinya atau sebagai ekspresi protes pada lingkungannya yang disharmoni. Harmoni tidak berarti seragam dan serba monoton. Harmoni berarti adanya pluralitas dan keberbedaan yang saling melengkapi untuk kedamaian dan keindahan.
Selain itu, harmoni juga menunjuk pada adanya kratifitas yang progresif dan dinamis. Progresifitas dan dinamika hidup merupakan tuntutan kehidupan itu sendiri seperti halnya harmoni. Kehidupan tanpa keharmonisan kurang memiliki makna tetapi keharmonisan tanpa dinamika dan kreatifitas akan menghilangkan nilai harmoni itu sendiri sebab lambat laun akan terjadi konflik. Tidak ada keharmonisan dibanguin di atas kestatisan dan kejumudan. Kehidupan ideal bagi siapapun adalah kemampuan menciptakan sebuah budaya dan tradisi hidup yang harmonis secara fisik-psikis dalam diri, bermasyarakat, dan berbangsa. Dinamika hidup yang tinggi untuk menggapai keluhuran peradaban dan kemanusiaan. Cita-cita demikian menjadi dambaan setiap individu dan komunitas sosial. Kerukunan dan keharmonisan akan membuat kehidupan dalam kesantosaan atau kebahagiaan, meskipun antara idealitas-normatif dengan realitas-historis belum tentu sejalan di lingkungannya.
Harmonitas sosial dicapai jika tidak terjadi konflik-konflik sosial. Bukan berarti dengan adanya perbedaan dan keragaman di masyarakat itu lalu disebut sebagai konflik, karena keragaman dan keberbedaan merupakan bagian dari syarat terwujudnya keharmonisan sosial. Tanpa pluralitas atau kemajemukan tidak bisa ditemukan istilah harmonis, rukun, selaras, serasi, bersatu, dan semacamnya. Keberbedaan dan keragaman tersebut akan membentuk keharmonisan jika dikelola dengan baik dan tidak menjadikan di antaranya bertabrakan atau berbenturan dengan yang lain.
Meskipun berdekatan, konflik berbeda dengan kekerasan. Kekerasan merupakan segala tindakan, perkataan, sikap, struktur, dan sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, sosial, lingkungan, dan atau menghalangi individu untuk mencapai potensinya dengan baik. Menghalangi perempuan untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Konflik adalah hubungan antara dua atau beberapa pihak (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Kondisi ketidak sejalanan ini jika belum mengakibatkan pada tindak kekerasan maka konflik ini masih “berguna” untuk menciptakan keindahan hidup yang dinamis. Dinamika hidup individu dan sosial diproses dan dikembangkan melalui “konflik sehat” yang terjadi apabila dimaknai dan disikapi secara sportif. Sikap sportif terhadap konflik membutuhkan penguasaan manajemen konflik dan seninya.
Apabila ditilik dari aspek penyebanya, ada beberap teori tentang penyebab konflik yang terjadi di masyarakat tersebut yaitu : [5]
1. Teori “Hubungan Masyarakat”; konflik terjadi karena polarisasi yang terus menerus terjadi sehingga menimbulkan ketidak percayaan dan permusuhan antar kelompok masyarakat yang berbeda.
2. Teori “Negosiasi Prinsip”; konflik terjadi karena posisi-posisi yang tidak selaras atau terjadi perbedaan pandangan tentang posisi dan pencapaian sesuatu oleh pihak-pihak yang berkonflik. Ada kepentingan yang biasanya terkait dengan “pendapatan” materi dan bukan pendapat atau idealitas pemikiran untuk kemajuan.
3. Teori “Kebutuhan Manusia”; konflik berakar dari diri manusia disebabkan karena kebutuhan fisik, psikis, dan sosial yang tidak terpenuhi atau terkendala oleh keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi.
4. Teori “Identitas”; konflik terjadi karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada sesuatu yang hilang yang mengakibatkan penderitaan atau ketakutan di masa lalu yang belum terselesaikan.
5. Teori “Kesalahpahaman antar Budaya”; konflik terjadi karena ketidakcocokan tentang teknis atau cara-cara berkominikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Dalam lingkungan Muslim sering terjadi konflik karena misalnya “budaya tahlilan” yang satu menganjurkan dan yang satu membid’ahkan atau melarang.
6. Teori “Transformasi Konflik”; konflik terjadi karena problem ketidak setaraan dan ketidak adilan dalam budaya dan ekonomi. Perlakuan diskriminatif kepada perempuan atau kepada sebagian kelompok “Muslim” pada masa orde baru.[6]
Merujuk pada keenam teori tersebut, maka dalam mengatasi konflik yang terjadi perlu dilakukan dialog dan komunikasi efektif agar masyarakat memiliki pengertian tentang keragaman dan toleransi, melakukan negosiasi sesuai dengan berbagai kepentingan dan posisi yang ada dan membuat konsesus yang menguntungkan kedua atau berbagai pihak, mengidentifikasi kebutuhan dan mengupayakan bersama pencapaian kebutuhan tersebut, mengidenfikasi ancaman dan ketakutan yang terjadi untuk membangun rasa empati dan rekonsiliasi di antara mereka, memberikan informasi tentang budaya (yang disteriotipkan negatif) dan mengefektifkan komunikasi antar budaya, serta melakukan perbaikan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidak setaraan dan ketidakadilan tersebut terjadi, meningkatkan pengertian dan kerjasama, dan mengmbangkan proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi, dan pengakuan. Konflik antar agama yang sering terjadi juga harus menggunakan pendekatan yang humanis dengan mendasrkan pada toori tersebut, [7] jangan sampai melebar dan mengkristal.
Konflik harus segera diatasi agar tidak menimbulkan konflik baru yang lebih besar dan rumit. Sebenarnya konflik bisa dimanaj untuk membangun solidaritas kelompok, peningkatan nasionalisme, kekompakan dan komitmen organisasi, motivasi studi dan prestasi, persatuan, dan keharmonisan hidup sosial juga rumah tangga. Untuk itu diperlukan seni dan manajemen konflik untuk memanfaatkannya.
Dengan demikian dalam konteks dakwah konflik pun dapat dijadikan sebagai pintu masuk yang efektif untuk penyadaran dan pemberdayaan. Konflik tidak mesti berarti bencana yang mengerikan, tetapi konflik merupakan rahmad Tuhan dalam bentuk yang berlawanan dengan harmoni. Berfikir positif dalam memaknai konflik berarti telah melangkah pada wilayah dakwah bi al-ha>l, dakwah partisipatif yang memiliki manfaat lebih tajam dan efektif dari pada sekedar berucap dan berkomentar.

C. Harmoni dalam Dakwah Islam
Islam itu harmonis sebagaimana makna generik al-Islam dari kata salima yang berarti kepasrahan, ketundukan, penghormatan, keihlasan, tangga, kesehatan, keselamatan, kesejahteraan, kedamaian, keharmonisan.[8] Derivasi kata salima ada kata salim, salamah, salam, dan lainnya yang dalam bahasa Indonesia dikenal kata selamat, bersalam-salaman, dan berucap salam. Mengucap salam berarti menebar kesejahteraan, keselamatan, kedamaian, dan keharmonisan untuk sesama.
Simpul-simpul harmoni dalam Islam yang harus didakwahkan pertama-tama didasari oleh ruh tauhid, mengesakan Allah, niat atau perencanaan dan berfikir positif-prospektif, dan amal shalih atau kerja keras-profesional dengan menjaga kualitas dan kemanfaatan bersama. Tiga hal tersebut jika dilaksanakan dengan komitmen yang tinggi akan menciptakan rasa harmonis penuh kedamaian (salamah).
1. Tauhid (Rujukan Teologis)
Tauhid dari kata wah}h}ada berarti mengesakan, memanunggalkan, menyatukan, dan memadukan. Tauhid berarti melakukan proses kontinyu (istiqa>mah) untuk selanjutnya mengerucut ke satu titik tunggal sebagai pusat atau fokus gerak laku diri semua makhluk termasuk manusia. Gerakan yang terjadi atau dilakukan harus berada pada garis edar dan bertumpu pada satu titik keagungan Yang Maha Menggerakkan. Penyimpangan terhadap titik sentral gerak hidup akan berakibat pada hilangnya konsistensi dan komitmen diri kemudian akan menyebar, buyar-bubrah, berantakan dan saling bertabrakan mengakibatkan kehancuran.
Dalam perspektif hukum alam, gerak dinamis dan kontinyu tersebut menjadi bagian dari naluri alam yang gerakannya harmonis, berirama, dan memusat pada satu titik kekuatan metafisik. Tauhid merupakan proses seseorang untuk melakukan penyatuan gerak dinamis dan kreatifnya dengan kreatifitas Tuhan Yang Maha Agung. Proses berarti ada ikhtiar dan kerja dinamis yang memuat adanya usaha perbaikan dan peningkatan menuju kehendak Yang Agung. Kemandegan atau kestatisan dan kebekuan sekejab apapun akan menimbulkan disharmoni dan akan menyengsarakan kehidupan. Kemandegan dan kebekuan itu dalam konteks teologis adalah kekufuran dan kemusyrikan, dalam konteks sosiologis adalah kebodohan dan kemiskinan, dan konteks politik adalah kekalahan yang menyedihkan. Bertauhid yang benar berarti melakukan kerja keras untuk selalu berproses menuju prestasi untuk menunggal dengan Tuhan melalui pemberantasan kebodohan dan kemiskinan. Upaya mencerdaskan kehidupan individu dan sosial atau menyejahterakannya merupakan bagian dari upaya dakwah Islam untuk pemantapan tauhid yang akan membawa keharmonisan sedang upaya sebaliknya merupaka prilaku yang yang merusak dakwah Islam dan akan membawa disharmoni.
Apabila seseorang malas bekerja, belajar, dan beribadah berarti ia adalah orang yang statis, berhenti dari gerak maka ia akan mengalami keresahan dan kegelisahan. Katertekanan psikis seperti ini akan terus bertambah selama prilakunya tidak berubah menjadi bekerja keras, rajin belajar, dan taat beribadah. Ketaatan dan kerja keras merupakan tuntutan dari kebutuhan manusia itu sendiri. Kebutuhan yang terlupakan akan mengakibatkan benturan dan kekosongan yang membuat diri seseorang akan merana dan sengsara.
Ketauhidan berarti juga melakukan proses berfikir secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan dan pertimbangan teks ajaran kitab suci, konteks, dan kontekstualisasi. Berfikir holistik yang menempatkan berbagai segi secara proporsional memiliki peran masing-masing karena harus dipertimbangkan. Ketauhidan juga dimaknai bekerja profesional yang menjaga kualitas kerja dan hasilnya sekaligus agar bermutu karena Tuhan akan berkenan pada kerja keras yang baik dengan hasil yang berkualitas prima.
Bertauhid berarti juga bekerjasama dalam menunaikan tugas dan pekerjaan. Gotong-royong, saling membantu, dan saling mendukung merupakan gerak dinamis menuju satu titik fokus ketaatan kepada Yang Maha Mulia. Sikap individualistik dan egois adalah bentuk pengingkaran kepada nilai tauhid. Bertauhid berarti menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan meski dalam kebhenakaan. Percekcokan, pertengkaran, dan perpecahan adalah penyakit yang merongrong ruh tauhid.
Bertauhid berarti melibatkan Allah dalam setiap gerak hidup seseorang seperti saat makan, mencari makan, dan memberikan makan untuk sesama digerakkan oleh nilai ketuhanan yang ada dalam jiwa. Bertauhid berarti menjadikan Tuhan menjadi pendorong gerak laku seseorang untuk berbicara, melihat, berfikir, berjalan, dan merasa. Semua gerak tadi terikat oleh Allah dan tidak boleh keluar dari ajaran Allah. Bertauhid berarti menyatukan diri kepada semua makhluk Allah, tidak merusak dan membencinya tetapi bahkan mencintai dan menyayanginya meskipun berbeda dan kelihatan bertentangan atau menjadi ancaman. Bertauhid berarti bersahabat dengan sesama untuk itu tidak ada kekhawatiran dan ketakutan. Bertauhid berarti melibatkan Allah dalam setiap gerak hidup, berittihad, penyatuan makhluk dan khalik, penyatuan yang profan ke yang sacral tanpa mencabut identitas dan ego kemanusiannya.
2. Niat (Perencanaan) dan Berfikir Rasional-Prospektif
Harmonitas hidup seorang Muslim terkait dengan niat. Setiap individu Muslim harus memiliki niat yang baik dalam hidupnya. Niat untuk melakukan seuatu ke depan sepanjang hidupnya. Hidup memiliki dinamika yang tiada henti karenanya setiap insan harus memiliki niatan yang terus maju dan dinamis. Niat dalam konteks hidup keseharian adalah perencanaan untuk memberikan jalur dan garis hidup yang akan dilakukan dan dilalui.
Niat dimaknai perencanaan yang aplikasinya terkait dengan waktu dan masa depan, yang harus direncanakan dengan baik. Perencanaan yang baik adalah separo dari keberhasilan program dan cita-cita. Niat menjadi syarat untuk menggapai keharmonisan hidup, tanpa niat dan perencanaan hidup yang dilalui oleh seseorang seakan tanpa haluan dan tanpa garis petunjuk yang jelas. Tanpa niat dan perencanaan hidup yang baik seseorang menjadi terkesan kerja asal-asalan, dan setiap yang asal-asalan seringkali menunjukkan kualitas rendah dan disharmoni.
Berniat dalam Islam berarti berfikir rasional yang prospektif yaitu menjangkau waktu-waktu yang akan datang. Berfikir serba praktis-kini-di sini, tanpa melihat masa depan membuat wawasan tertutup dan kurang terbuka untuk hal-hal lain yang lebih baik dan produktif. Orang berfikir serba praktis cenderung konsumtif karena jangkauannya terbatas. Sikap poduktif muncul karena orang berfikir tentang masa depan berfikir tentang generasi dan kader.
Niyyatan sha>lihatan, niat yang baik dalam berorganisasi berarti menyiapkan kader dan generasi yang akan datang. Organisatoris ulung pasti memiliki kader yang militan dan handal yang memang disiapkan sejak awal kepemimpinanya. Penyiapan ini berujud pendidikan, pelatihan, penglaman, dan pemberdayaan kader. Setiap individu yang memiliki kader banyak dan potensial di belakangnya berarti ia seorang yang mampu “berniat” yang baik. Orang yang berniat baik adalah orang yang berfikir positif terhadap hidupnya sehingga ia menyiapkannya dengan baik. Niat yang baik membentuk karakter yang baik. Orang yang hidup tanpa kader yang baik ia akan mengalami kesepian dan memicu konflik internal. Konflik pasti akan muncul tinggal menunggu momen yang tepat.
Niat yang baik berarti memelihara kelestarian alam, sebab alam yang rusak akan menimbulkan bencana ke depan dan menghantui generasi yang akan datang. Berniat yang baik berarti berkenan untuk melakukan penghijauan, melindungi binatang khususnya binatang langka, menjaga kelestarian tumbuh-tumbuhan, dan berkenan hidup bersahabat dengan alam. Berbuat baik kepada alam berarti menjaga keharmonisan hidup bersama-sama juga.
3. Amal Shalih (Kerja Positif)
Amal shalih atau kerja positif adalah sebuah kerja yang didasari oleh dorongan niat untuk mendekat kepada Tuhan dan mensyukuri potensi fisik yang dimiliki dengan rencana dan cara pelaksanaan kerja yang baik sesuai dengan aturan pelaksanaannya. Ibadah shalat, misalnya, harus dilaksanakan dalam kerangkan menunaikan kebutuhan untuk mengabdi kepada Allah dan syukur atas kemampuan dan kesempatan yang telah dianugrahkan serta pelaksanaannya sesuai dengan aturan syara’ yaitu memenuhi syarat, rukun, dan sunnah shalat. Berjalan yang baik adalah melangkahkan kaki karena motivasi untuk melakukan kebaikan dengan cara yang sesuai dengan aturan yaitu berjalan di sebelah kiri dan seterusnya.
Amal shalih atau perbuatan yang baik sangat banyak. Semua perbuatan adalah baik kecuali ada larangan untuk melakukannya. Di antara amal shalih yang menjadi barometer harmonitas sosial adalah :
a. Pendidikan dan Pengembangan SDM (Tarbiyah)
Pekerjaan yang baik adalah pekerjaan yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang sebenarnya. Aturan yang ada tersebut adalah ilmu dan untuk mendapatkannya seseorang harus belajar. Tanpa pengetahuan tentang suatu pekerjaan atau pemahaman terhadap obyek seseorang akan mengalami kesulitan untuk melakukannya dengan baik.
Pendidikan akan mengantarkan individu untuk memahami suatu obyek pengetahuan tertentu sehingga ia akan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu terkait dengan hal itu. Setiap perintah mengerjakan sesuatu berarti perintah juga untuk mempelajari suatu media pelaksanaan perintah tersebut.
Pendidikan dan pengembangan SDM merupakan media menciptakan harmonitas hidup seseorang sementara kebodohan akan membuat hidup menjadi penuh konflik. Posisi strategis pendidikan dan peningkatan SDM ini yang mendasari hukum mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap individu. Pernyataan ini memberikan arti bahwa setiap individu yang tidak melakukan proses edukasi, proses pendidikan dan pengikatan kualitas SDM-nya maka ia berdosa karena telah menyengsarakan diri sendiri dan orang lain. Kebodohan akan membebani diri juga orang lain di sekitarnya.
b. Kontinyuitas Kerja dan Komitmen (Istiqamah)
Pekerjaan yang baik menuntut pelaksanaan yang berkualitas, berkembang, dan dilakukan secara kontinyu sesuai dengan aturan waktu pelaksanaan. Shalat wajib lima waktu, misalnya, harus dilakukan dengan upaya peningkatan kualitas kekhusyuannya dan dilaksanakan lima kali sehari-semalam secara kontinyu. Sikap istiqamah ini akan mendatangkan rasa teduh, menciptakan ketenangan jiwa dan harmoni dalam hidup. Dzikir, mengingat Allah secara kontinyu akan mendatangkan sinar dan ketenangan di hati. Dzikir yang dilakukan hanya sesaat dan tidak kontinyu kurang memberikan bekas pada ketentraman hati.
Istiqamah juga berarti melakukan usaha untuk meraih sesuatu yang bermanfaat dengan gigih dan tidak kenal menyerah. Dalam bahasa Arab usaha tersebut disebut ihktiyar, dari kata dasar khairun atau lebih baik artinya mencari sesuatu yang terbaik secara terus menerus tiada henti. Kegigihan seperti ini akan menghasilkan kemenangan, falah. Kemenangan akan mendatangkan kepuasan dan kepuasan akan memberikan rasa tenang, nyaman, dan aman. Kehidupan seperti ini menunjukan adanya nilai harmonis di dalamnya.
Istiqamah juga berarti berkomitmen tinggi. Orang yang istiqamah berarti orang yang sepenuh hati memegang komitmen atau janji setia dalam perjuangan. Penghianatan dalam bentuk apapun akan merongrong harmoni hidup. Istiqamah juga berarti mentaati mekanisme, prosedur, dan hasil keputusan organisasi. Keyakinan terhadap Tuhan dan kebenaran baru memiliki bentuknya yang nyata saat ia dipegang oleh orang yang berkomitmen tinggi. Bermuka dua mencerminkan penghianatan dan akan merendahkan martabat kemanusiaan. Bermuka dua atau nifaq menjurus pada permainan kotor dan mau enak atau enak sendiri. Orang yang memegang pekerjaan yang baik dengan istiqamah akan menjauhkan diri dari sifat nifaq, yang membuat disharmoni dalam dalam kehidupan sosial dan keresahan di hati. Istiqamah berarti memegang kejujuran dan amanah yang diberikan kepadanya. Kejujuran tetap bertengger kuat di hati orang yang ihlas dalam menggelar kehidupannya.
c. Berfikir Strategis (Ijtihad)
Ijtihad yang dimaksud di sini adalah dalam konteksnya yang luas [9] yang dalam dapat diartikan pengerahan kemampuan berfikir secara maksimal yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk memperoleh dan menemukan jawaban terhadap kasus atau problematika hukum, sosial-politik, dan ekonomi serta seni-budaya yang sedang dihadapi. Jawaban dan kata putus terhadap satu kasus harus segera didapatkan oleh seseorang baik jawaban tersebut diperoleh secara mandiri atau melalui orang lain. Dengan demikian ijtihad berarti harus atau wajib demi ketentraman individu dan sosial. Berijtihad secara individual atau kolektif diperlukan dalam kehidupan, sebab memendam suatu masalah akan mengakibatkan masalah lain yang sama atau lebih kompleks, minimal akan menimbulkan masalah psikis berupa keraguan yang terus menerus.
Ijtihad merupakan kebutuhan bagi manusia dan hanya dapat diperoleh jika seseorang melakukan proses pendidikan secara baik dan sungguh-sungguh. Pendidikan yang baik yang mampu menghantarkan tersedianya kader mujtahid menjadi wajib juga dibangun karena kebutuhan tersebut tidak bisa ditunda dan ditawar. Berdakwah berarti menfasilitasi bagaimana agar ijtihad ini menjadi mungkin riil terlaksana dalam kehidupan umat, dengan melakukan pemberdayaan dan menciptakan situasi yang kondusif bagi umat.
d. Persaudaraan (Ukhuwwah)
Manusia diciptakan dalam kondisi fisik yang lemah dan terbatas. Sementara kebutuhan hidup manusia sangat banyak dan bermacam-macam. Pemenuhan kebutuhan hidup setiap individu karena kelemahan dan keterbatasannya tidak mungkin dipenuhi oleh dirinya sendiri . Ia membutuhkan kehadiran dan bantuan yang lain.
Kebutuhan akan keberadaan yang lain dalam hidup manusia menunjukkan bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri. Di sinilah letak pentingnya persaudaraan. Ukhuwwah atau persaudaraan ini dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan fisik dan psikis individu. Penolakan terhadap persaudaraan berarti mengingkari keterbatasan dan kelemahannya sendiri. Penolakan seperti ini akan berakibat pada penindasan dan penyiksaan diri karena ia harus melayani dirinya sendiri yang tidak mungkin untuk dia lakukan.
Persaudaraan meliputi persaudaraan sesama makhluk Tuhan (ukhuwwah ‘alamiyah), persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah insaniyyah atau basyariyah), persaudaraan sesama bangsa dan negara (ukhuwwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama muslim (ukhuwwah islamiyah). Kesemua perasudaraan ini harus dijaga jika keharmonisan ingin diraih. Berdakwah berarti memjadi mediator dan fasilitator agar ukhuwwah bisa terwujud dan berkembang melalui silaturrahim dan penyadaran kepada umat sehingga beimplikasi pada sikap saling tolong menolong (ta’a>wun).
e. Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi (Zakat dan Shadaqah)
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak menunjukkan tingkat kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan seseorang tidak berdiri sendiri tetapi ia berada di antara tiang kehidupan orang lain di sekitarnya. Jika kebutuhan secara individual sudah terpenuhi maka ia harus segera memenuhi kebutuhan sosialnya. Melepaskan diri dari lingkup sosial berarti mencabut dirinya dari komunitasnya, jika hal itu dilakukan maka ia akan kehilangan jati dirinya yang berakibat akan meresahkan hidupnya.
Dalam kerangka pikir seperti itu, agama mewajibkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf untuk memberikan pintu kesadaran yang lebih luas untuk merasakan hidup sejahtera bersama-sama. Kesejahteraan sejati tidak mungkin terlepas dari kesejahteraan orang-orang di sekitarnya. Kesejahteraan dalam maknanya yang hakiki mengharuskan untuk merasakannya bersama-sama. Jika amanah dan kebutuhan luhur ini diingkari maka akan terjadi diharmoni sosial dan akan muncul konflik sosial. Zakat berarti upaya pembersihan harta kekayaan dan hati sedang shadaqah berarti sebuah pembuktian terhadap kejujuran diri dalam memegang kemitmen terhadap ajaran yang diyakini. Kata shidqun dengan dasar kata yang sama dengan shadaqah, berarti kejujuran. Nabi memiliki sifat shidiq, yang berarti setiap Nabi itu jujur. Jujur beberarti ada konsistensi antara ucapan, perbuatan dan keyakinan yang ada dalam hati.

D. Dinamisasi dalam Dakwah Islam
Mengkaji tentang dinamisasi dakwah, bisa menggunakan tiga kata kunci yang berakar dari kata jahada yaitu ijtihad, jihad, dan mujahadah yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh.[10] Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah , semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.[11]
Kata ini juga berarti membebani di luar batas kemampuannya (karena beban yang amat berat dan sulit). Jihad berarti perjuangan yang biasanya dikaitkan dengan kata fi sabilillah yang bermakna perjuangan berat karena terkait dengan al-juhada atau al-juhaida,, batas puncak kekuatan dan kemampuan. Mujahadah dari kata jahada berarti mencurahkan segala kemampuan (untuk berkontemplasi dan dzikir) yang lebih berkonotasi pada perjuangan spiritual dalam bentuk pembacaan do’a (sendiri atau bersama) secara khusyu’ untuk memohon kepada Allah agar diberikan bantuan agar mampu melakukan amanat yang berat. Sedang ijtiha>d dari kata ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ketekunan yang berupa pencurahan tenaga pikiran untuk mengambil hukum dari suatu dalil. Jadi, jihad lebih ke pengerahan potensi fisik-psikomotorik, mujahadah, ke potensi psikis-afeksi, sedang ijtihad lebih ke fokus pemikiran, nalar, dan kognitif yang ketiganya ditujukan untuk meraih ridla Allah Swt. Dalam praktiknya ketiganya saling berkait.
Kata ijtihad sering dikaitkan dengan hukum, yaitu usaha faqih, ahli hukum mencurahkan kemampuannya untuk mendapatkan hukum syar’i dari dalil dhanni. Upaya mencurahkan seluruh kemampuan untuk mencapai tujuan dengan cara pencarian berdasarkan dalil[12] dalam al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu. Sedang menurut para ahli Ushul al-Fiqh, antara lain Imam al-Syaukani dan Imam al-Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan istinbath (mengambil kesimpulan hukum).[13] Ijtihad harus dilakukan sebelum dan saat orang melakukan aksi jihad dan mujahadah.
Mensosialisasikan dan melakukan ijtihad-jihad-mujahadah berarti telah berdakwah secara proggresif. Semenjak awal Islam, masa Rasul Saw. ijtihad di samping jihad dan mujahadah ini dianjurkan dengan pendampingan Rasul Saw.[14] Ia memperbolehkan para sahabatnya melakukan ijtihad, di samping jihad dan mujahadah [15] sebagai contoh adalah apa dilakukan oleh Muaz ibn Jabal ketika ia diutus berdakwah ke Yaman, yaitu jika ia menghadapi problem dakwah Islam di Yaman ia akan merujuk pada al-Qur’an dan Hadis dan jika belum mendapatkan jawaban ia akan melakukan ijtihad.
Dinamisasi dakwah bisa dilakukan dengan membangun kerjasama dalam bidang intelektual seperti ijma’,[16] dengan mengikat semua kasus agar berstandar kitab suci seperti qiyas,[17] dan atau mencari format ideal ummat melalui prosedur istihsan, istishlah, (maslahah mursalah), istishab, dan ‘urf,[18] yang berhukum fardlu ain, yang wajib bagi setiap orang, fardlu kifayah, yang wajib dilakukan oleh sebagian orang, atau mandub atau anjuran sunnah bagi pada da’i atau muballigh.
Muballigh yang dinamis hartus memiliki kompetensi sebagaimana mujtahid, yaitu 1) memahami al-Qur’an dengan asbab al-nuzul dan naskh mansukh, 2) memahami hadis dan ilmu hadis, 3) menguasai bahasa Arab, 4) memahami ijma’, 5) mengusasi ushul fiqh, 6) mengetahui maqashid al-syari’ah, 7) memahami sosiologi-antropologi, dan 8) bersifat adil dan takwa[19] yang dikuasai secara individual maupun kolektif termasuk memanfaatkan bantuan media seperti CD atau lainnya.
Berdakwah secara dinamis harus berbingkai akhlak mulia bukan sekedar etika, yaitu berahlak yang meliputi sikap mental yang mendorong seseorang dalam bertingkah laku dan berperasaan, Jadi ahlak lebih dekat diterjemahkan dengan budi pekerti. Budi adalah dorongan batin sedang pekerti adalah perbuatan. Akhlak juga bukan sekedar tata krama lahiriah seperti bagaimana cara menerima tamu tetapi lebih luas yang juga menyangkut wilayah batin. Sebagaimana dikatakan A. Muchith Muzadi berdasarkan pada hadis Nabi, bahwa induk akhlak adalah ‘adalah (keadilan), syaja’ah (keberanian), hikmah (kebijaksanaan) dan ‘iffah (kesucian) atau bersih dan berwibawa.[20]
Secara faktual-historis berdakwah yang bersemangat harmonisasi dan dinamisasi dapat ditemukan di antaranya dalam dunia pesantren. Harmonitas dan keakraban hubungan antara kyai dan santri, antara santri dengan sesamanya, maupun santri dengan masyarakat lingkungannya. Tentang harmonitas ini, digambarkan dengan sangat menarik oleh dr. Sutomo:
“Pada zaman nenek saya, yaitu pada kira-kira pertengahan abad 19, pesantrenlah tempat perguruan yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolah gubernemen, pesantren itu ribuan bilangannya. Pengaruh perguruan itu masyarakat kita, “civilization” rakyat tidak dapat diabaikan. Perhubungan antara santri-santri yang dewasa (cara sekarang “studenten” dari “universiteit”, di dalam pondok-pondok yang besar juga diajarkan ilmu lahir dan batin, yang di waktu itu jarang didapati di tanah air kita) erat sekali. Umpamanya di waktu memanam dan mengetam padi, di waktu ada orang kematian, di waktu bulan puasa, perhubungan yang erat itu nyata benar. Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak-anak orang tani, saudagar, dan anak bangsawan berkumpul di dalam pondok itu, keadaan lahir dan batinya diberi bimbingan yang sama oleh guru, sehingga pemuda-pemuda itu, yang kemudian hari memegang pekerjaan yang beraneka warna di dalam masyarakat, toh merasa satu karena perikatan lahir dan batin yang telah diletakkan, di dalam pondok pesantren itu. “Levensuiting”, sikap kehidupan bangsa di waktu itu, dari lapisan manapun tidaklah terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.[21]

Model pesantren pada era dr. Sutomo tersebut masih tersisakan di beberapa pesantren salaf dan desa saat ini yang masih menggunakan media sederhana dan hubungan santri-kyai masih kental dan erat. Dengan perkembangan pendidikan pesantren yang merespon model pendidikan modern, keharmonisan dan kedinamisan yang indah tersebut sebagian telah tergerus oleh budaya baru, meskipun tetap menjadi wacana dan cita-cita yang dipentingkan dalam pesantren.
Proses dinamisasi yang harmonis dalam dakwah Islam dibutuhkan muballigh yang menguasai materi dakwah dengan baik paling tidak terkait dengan aqidah, fiqh, dan ahlak, strategi dakwah,[22] dan memiliki watak leadership[23] yang terampil merangkul, berkawan, dan mempengaruhi orang lain[24] sehingga ia mampu mempromosikan Islam, membimbing,[25] dan menembangkan umat Islam yang dinamis[26] tetapi tetap dalam situasi harmonis dalam kehidupannya. Muballigh yang demikian harus senang membaca, berdiskusi, dan bersilaturrahim yang bersifat akademis, spiritual, dan sosial.

E. Penutup
Harmonisasi dan dinamisasi dalam berdakwah harus selalu dilakukan secara integrative agar dakwah mencapai cita-cita Islam sebagai rahmat-an li al-‘alamin. Ketekunan, kedewasaan, keihlasan yang berdialog secara kontinyu dengan gerak kehidupan akan mampu membawa dakwah Islam yang segar, enak dipandang dan dirasakan, dan kemudian dibutuhkan oleh umat.
Harmonisasi dan dinamisasi dalam dakwah Islam harus dimulai dari diri sendiri, kemudian ditradisikan dalam keluarga sehingga menjadi keluarga maslahah, religius, akademis, dan berahlak.[27] Dari kehidupan terdekat yang kondusif ini dakwah Islam agar melebar ke lingkungan yang lebih luas.
Umat yang telah merasa butuh terhadap dakwah Islam, mereka akan mencari dengan motivasi yang tinggi dan menginternal. Pendekatan, strategi, dan kerjasama dengan berbagai pihak segera diupayakan dan dilaksanakan. Simpul-simpul harmonisasi dan dinamisasi mejadi pijakan dalam melangkah agar umat selalu bergerak dinamis tetapi tetap harmonis dalam rengkuhan ridlo Allah Swt. Wa Allah a’lam bi al-shawab.











DAFTAR PUSTAKA





Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Krapyak al-Ashri>: Kamus Kontemporer Arab – Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.

Azra, Azyumardi (pim red. peny.). Ensiklopedi Islam. jilid 2. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Carnegie, Dale. Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang (How to Win friends and Influence People). terj. Sumantri Mertodipuro. Jakarta: Gunung Jati, 1979.

Chirzin, M. Habib. “Tradisi Pesantren : Dari Harmonitas ke Emansipasi Sosial”. dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988.

Cohen, William A. Seni Kepemimpinan, terj. Anton Adiwiyoto. Jakarta: Mitra Utama, 1993.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1996.

al-Faqihi, ‘Ali ibn Muhammad Nashir, Manhaj al-Qur’an fiDa’wah ilaal-Iman. Makkah: Jami’ah al-Malik Abd al-Aziz, tt.

al-Ghulayaini, Musthafa. ‘Idhah al-Nasyi`’in. Surabaya, Salim ibn Sa’d Nabhan, tt.

Ibn Rusyd, Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Surabaya: al_hidayah, tt.

al-Jurjani, Ali ibn Muhammad. Kitab al-Ta’rifat. Jiddah: al-Haramain, tt.

al-Hasani, Muhammad Alwi al-Maliki. Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah. Makkah: Mathba’ al-Bahr, tt.

Hicks, Greg. Leader Shock: Keluar dari Guncangan Kepemimpinan sebagai Pemenang, terj. Rudijanto. Jakarta: BIP, 2003.

al-Khann, Musthafa Said. Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha`. Kairo: Mu`assasah al-Risalah, 1969.

Linda dan Richard Eyre, 3 Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis, terj. Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Lubis, Ridwan. Meretas Wawasan & Praksis Kerkunan Umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005.

Musnamar, Tohari dkk. (eds.) Dasar-dasar Konseptual Bimbingan & Konseling Islami (Yogyakarta: UII Press, 1992.

Muzadi, Muchith. “Sunni, Perlu Reinterpretasi” wawancara yang dimuat dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984.

al-Nabhany, Muhammad Faruq. al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami: Nasy’`atuh, Adwaruh al-Tarikhiyah- Mustaqbalah. Kuwait-Bairut: Waka>lah al-Mathbu’at – Dar al-Qalam, 1981.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 dan nomor: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendidrian Rumah Ibadah. Jakarta: Sekretariat Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006.

Sjadzali, Munawwir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina, 1997.

Salikin, Adang Djumhur. Reformasi Syari`ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran an-Na’im. Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

Syahid, Ahmad. “Sekilas tentang Ijtihad” dalam Abdurrahman Wahid, dkk., Kontroversi Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Syahrur, Muhammad. Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin Zuhri Qidsy & Badrus Syamsul Fata. Yogyakarta: LKiS, 2003.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.

* Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.
Ia pernah menjadi Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PW LDNU) propinsi DI. Yogyakarta pada tahun 1997-2002 dan sebagai wakil ketua Forum Komunikasi Lembaga Dakwah (FKLD) Propinsi DI. Yogyakarta tahun 1998-2002 yang berada di bawah koordinasi Kantor Wilayah Departemen Agama DI. Yogyakarta, serta pengalaman sebelumnya saat masih mahasiswa (S-1) aktif di KODAMA (Korp Dakwah Mahasiswa) Yogyakarta,

[1] Penulis menemukan data dan pengalaman bahwa lembaga dakwah Islam termasuk Fakultas Dakwah (atau jurusan Dakwah) dikelola kurang serius dan sambil lalu jauh dari kerja professional. Dakwah seringkali dimaknai hanya sebagai panggilan Ilahi yang dilakukan tanpa perencanaan yang baik, kurang koordinasi dalam pelaksaksanaan, tidak pro aktif, saling menyalahkan bukan saling melengkapi dan memperkuat, dan (yang dianggap) tokoh-tokoh Islam senang mengkritik tetapi tidak senang berbuat untuk dakwah. Saat ini agenda kerja dakwah Islam sangat besar dan berat, tidak mungkin dilakukan dan berhasil jika tanpa kekompakan, kerjasama (networking) dan dikelola secara professional.
[2] Kejelasan identitas diperlukan untuk membantu memahami orang lain seperti karakter, sikap, kecenderungan, pola pikir, dan prilaku sosial politiknya. Bertanya tentang identitas orang atau organisai, agama, dan semacamnya sebaiknya ditujukan untuk kepentingan ini.
[3] Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), hlm. 299 harmoni diartikan dengan keselarasan sedang harmonis berarti selaras, serasi.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 290.
[5] Disarikan dari Ridwan Lubis, Meretas Wawasan & Praksis Kerkunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), hlm. 65-66.
[6] Sebagai contoh, pada masa “Orde Baru” komunitas pesantren didiskriminasikan secara mencolok, seakan mereka tidak boleh menjadi pimpinan di negerinya sendiri seperti menjadi Menteri Agama, Ketua MUI, Ketua PPP bahkan sebagai KUA meskipun sangat disadari bahwa komunitas pesantren ini sangat besar dan berpotensi.
[7] Contoh penyelesaian konflik umat beragama yang patut didukung adalah kebijakan pemerintah yang memfasilitasinya dengan pembentukan FKUB, Forum Kerukunan Umat Beriman yang mandiri dan melibatkan berbagai kelompok agama, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat. Melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Meteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 dan nomor: 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendidrian Rumah Ibadah (Jakarta: Sekretariat Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2006). Secara faktual di lapangan, penulis sebagai Ketua FKUB Banyumas, melalui Forum ini telah berhasil menyelesaikan konflik “gereja Kebondalem” dan “pendirian gereja di Karangklesem” berkoordinasi dengan Kandepag dan Bakesbang Kabupaten Bayumas di akhir tahun 2006 dan awal tahun 2007. Manfaat riil, penciptaan keharmonisan sosial yang bisa dirasakan umat beragama.
[8] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984), hlm. 699-701.
[9] Tentang ijtihad dalam arti yang luas seperti ini baca, Munawwir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997).
[10] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, hlm. 234-235 dan Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Krapyak al-Ashri>: Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), hlm. 702 dan 1628.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 501-519. Shihab mengkaji jihad dalam buku ini dalam perspektif al-Qur’an. Terkait dengan teologi, politik, dan kehidupan sosial yang harmonis anti kekerasan, patut diperhatikan pemikiran Muhammad Syahrur tentang jihad ini dalam Tirani Islam: Genealogi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin Zuhri Qidsy & Badrus Syamsul Fata, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 412-450.
[12] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Jiddah: al-Haramain, tt.), hlm. 10.
[13] Azyumardi Azra (pimred.peny.), Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), jilid 2, hlm. 183
[14] Dalam arti Rasul melakukan penetapan atau koreksi terhadap keputusan dan prilaku sahabat. Muhammad Faruq al-Nabhany, al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami: Nasy’`atuh, Adwaruh al-Tarikhiyah- Mustaqbalah (Kuwait-Bairut: Wakalah al-Mathbu’at – Dar al-Qalam, 1981), hlm. 109.
[15] Ulasan lebih lengkap dapat dibaca, Musthafa Said al-Khann, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha` (Kairo: Mu`assasah al-Risalah, 1969), hlm. 31-34.
[16] Konsensus atau ijma’ merupakan bagian dari ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, yang menurut Ibnu Rusyd agar tidak lepas dari dasar utamanya dan diasumsikan bahwa sahabat membuat ajaran baru. Selanjutnya baca Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Surabaya: al_hidayah, tt), hlm. 4.
[17] Lengkapnya al-qiyas al-tamtsili, analogical reasoning, pemikiran analogis.
[18] Pandangan dinamis dalam hal ini dapat ditemukan dalam pemikiran an-Na’im ini, di antaranya baca Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari`ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran an-Na’im (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 62-71.
[19] Ahmad Syahid, “Sekilas tentang Ijtihad” dalam Abdurrahman Wahid, dkk., Kontroversi Pemikiran Islam Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 7-12.
[20] Muchith Muzadi, “Sunni, Perlu Reinterpretasi” wawancara yang dimuat dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988 hlm. 50.
[21] M. Habib Chirzin, “Tradisi Pesantren : Dari Harmonitas ke Emansipasi Sosial”, dalam Majalah Pesantren No. 4/ Vol. V/ 1988 hlm. 29-30.
[22] Tentang materi lengkap dengan dalilnya dan strategi secara global tentang dakwah baca ‘Ali ibn Muhammad Nashir al-Faqihi, Manhaj al-Qur’an fi Da’wah ila al-Iman, ( Makkah: Jami’ah Malik ‘Abd al-Aziz, tt.).
[23] Muballigh mempersiapkan diri dengan banyak membaca tentang ledership seperti William A. Cohen, Seni Kepemimpinan, terj. Anton Adiwiyoto (Jakarta: Mitra Utama, 1993) dan buku Greg Hicks, Leader Shock: Keluar dari Guncangan Kepemimpinan sebagai Pemenang, terj. Rudijanto, (Jakarta: BIP, 2003, dan berorganisasi untuk meningkatkan kedewasaan dan kesabaran.
[24] Muballigh harus memiliki teknik menyentuh hati orang lain dan meyakinkan orang lain, untuk informasi ini baca Dale Carnegie, Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang (How to Win friends and Influence People), terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Gunung Jati, 1979}.
[25] Membimbing umat membutuhkan penfekatan, teknik, dan seni. Buku panduan sederhana dapat dibaca di antaranya Tohari Musnamar, dkk. (eds.) Dasar-dasar Konseptual Bimbingan & Konseling Islami (Yogyakarta: UII Press, 1992).
[26] Dinamisasi dalam dakwah melalui kajian buku di antaranya dengan memperkenalkan buku-buku yang mampu menggelorakan kerja keras, ijtihad, jihad, mujahadah, dengan moralitas tinggi seperti buku ‘Idhah al-Nasyi`’in karya Musthafa al-Ghulayaini (Surabaya, Salim ibn Sa’d Nabhan, tt.). Aulah
[27] Sebagai pedoman keluarga ada perpustakaan dan guru keluarga sebagai rujukan agar keluarga tetap dinamis dan harmonis. Diantara rujukan tersebut adalah buku Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah (Makkah: Mathba’ al-Bahr, tt) dan Linda dan Richard Eyre, 3 Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis, terj. Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).

Tidak ada komentar: