Sabtu, 08 Maret 2008

Cerpen : Tikaman Cinta

CERPEN: TIKAMAN CINTA
Oleh. Moh. Roqib


Mata yang biasanya teduh di sore yang hampir magrib itu begitu tajam menatapku, seakan mau menelan mentah-mentah tubuhku. Mas Ari orang yang sudah kukenal tiga bulanan yang lalu tatkala berbelanja di sebuah supermarket. Ia dari desa jauh di ujung timur Jawa yang karena pendidikannya ia menjadi seorang pegawai di kota dan menetap dengan rumah sendiri yang cukup baik. Ia ganteng . Tinggi, tegap, dan ramah, meski terkadang suka berkata jorok dan cabul dalam gurauannnya. Sore itu, dia mengajakku jalan-jalan sore, je-je-es, untuk refreshing. Dengan mengendarai motor yang ia bawa dari rumahnya semenjak ke kota ini ia terlihat lebih gagah, mengajakku dengan senyumannya yang menawan.
“Neng ayo jalan-jalan, rasa-rasanya kok penat sekali ingin udara segar, seharian di kantor, terasa jenuh. Mau kan? Ayolah”
“Tapi mas As, sore-sore begini menjelang magrib lagi kan kurang baik, ra ilok. Nanti dimakan betara kala” Gurauku sambil mengingatkan bahwa menjelang magrib itu sebaiknya perempuan tidak keluar rumah untuk keperluan yang tidak jelas. Waktu aku masih sekolah di SMA dulu, demikian kata guruku dan juga ortuku weling sama anak perempuan agar pandai-pandai menjaga diri, apalagi saat candik olo. Waktu yang kurang baik dalam tradisi Jawa. Meskipun jaman telah berubah dan kemoderenan dapat dirasakan sampai ke desa, menurutku itu, tradisi yang baik tetap dilakukan toh tidak ada salahnya. Apalagi sebagai anak kos yang bekerja di toko dekat alun-alun kota ini berarti aku jauh dari ortuku yang hidup sederhana di desa, berarti aku harus pandai menjaga diri.
“Alaah itu kuno, masak ada Betharakala kelayapan di jaman yang sudah moderen seperti ini. Udahlah ayoo dah mau magrib ini…!”
Mas Ari menarik tanganku, sambil membunyikan motornya. Motor kebanggaan dari orang tuanya. Akhirnya aku berdua berjalan-jalan menyusuri kota, melihat pemandangan yang sebelumnya tidak asing bagiku. Sesekali mas Ari memberikan kritik pada kondisi kota yang semrawut, tidak tertata.
“Aku terasa tidak nyaman melihat tatanan kota yang tidak rapi dan tidak berkualitas. Coba alun-alun kok pateng crentel, tidak ditata dibiarkan pedagang kaki lima berjajar tidak karuan. Dulu katanya diperbaiki, ditanami rumput yang bagus, dirapikan, ee sekarang semrawut lagi. Apa saja yang dilakukan bupati ini, masak kota kabupaten kok ruwet begini. Belum lagi kalau saat orang-orang pergi dan pulang bekerja bersamaan dengan anak-anak sekolah, aduuh tidak tersisa lagi keindahan kota ini.”
Demikian gumam mas Ari yang panjang yang kuselingi dengan jawaban mengiyakan dan memperkuat pandangannya. Setelah bosan dengan pemandangan kota, motor mas Ari dari arah alun-alun dibelokkan ke kanan menuju stasiun. Kukira akan melihat-lihat pemandangan di sekitar stasiun, ternyata tidak, motor dibelokkan ke arah kiri melewati makam pahlawan ada jalan agak menanjak kemudian belok ke kiri, ke sebuah hotel sederhana yang terletak di sisi kanan jalan.
“Lho mas kok ke sini, katanaya jalan-jalan” kataku protes.
“Kan sudah terdengar adzan magrib, yaa mampir dulu. Apa kamu tidak salat dulu? Sana salat. Saya pesankan minuman ya?”.
Aku melihat tidak ada yang aneh dari ekspresi wajahnya, biasa. Memang dia ganteng dan pegawai negeri lagi. Aku bersukur bias bersamanya meskipun aku hanya lulusan SMA sementara dia sarjana yang bernasib baik.
“Ok, mas. Tidak bareng salatnya”.
“Kamu duluan, gampang aku nanti, kan salat itu nomer dua”. Dia memang suka gurauan yang menurutku melecehkan agama walaupun yang ia maksud ya salat nomor dua setelah sahadat. “Biarlah, dia memang begitu, kalau tidak mengkritik, ya berkata cabul dan suka humor yang berkonotasi meremehkan agamanya sendiri. Yang penting dia baik dan mau denganku”. Demikian aku memikirkan prilakuknya. Setelah aku selesai salat kami ngobrol di depan kamar hotel, sambil makan makanan ringat yang telah dipesan mas Ari.
“Kok makanya di sini bukan di restoran hotel? Masak di depan kamar begini sih. Udah salat?”. Tanyaku, sambil memperhatikan senyumnya yang membuat hatiku jadi penasaran.
“Gampang salat, masak aku ditanya udah salat, kayak belum tahu saja siapa aku. Ayo makan mumpung masih hangat, ayolah..”
Sebel juga mendengar jawabannya. Selama ini aku kalau berbincang dengannya memang hanya di ruang tamu tempat kosku atau di rumahnya. Belum pernah jalan-jalan begini.
“ Neng.. sepertinya aku jenuh sekali hari ini, mau nggak kau mijitin aku. Ya nanti setelah itu kita pulang. Capek sekali. Saya dah pesan kamar ini. Ayo makan dan minum dulu”.
“Ra ilok mas, masak perempuan dan laki-laki kok berada di satu kamar berduaan, pijitan lagi, nanti mbok kebablasan”
“Kok berduaan bukankah di sini ada tamu lain, ada boy room, ada pegawai lain. Berarti tidak berduaan doong. Lho kalau kebablasan kan juga nggak apa, kan nanti kita juga akan jadi suami istri, selama kamu cocok dan tetap setia mendampingiku”.
Saat itu hatiku tidak menentu, ada perasaan aku dikibuli. Diperlakukan seenaknya, dan dibuat diriku menjadi serba salah karena dihadapkan pada pilihan sulit antara melakukan sesuatu yang menurutku railok dan menolak ajakannya yang nanti akan membuahkan kesimpulan bahwa aku dianggap tidak cinta dan patuh padanya.
“Tapi jangan lama-lama ya mas. Kita segera pulang”
“ Jangan khawatir, ayo, rasanya lungkrah nggak karuan”
Aku melihat mas Ari melepas bajunga. Hatiku bergetar campur aduk antara senang melihat tubuh tinggi kekar berwajah ganteng itu sekaligus khawatir , jangan-jangat terjadi sesuatu yang tidak kuinginkan. Dengan menyanyikan lagu cinta, ia merebahkan diri di atas tempat tidur dengan senyumnya yang khas. Kupijit tubuhnya dengan perasaan gelisah dan setengah hati. Mas Ari bercerita tentang sesuatu yang aku sendiri rtidak perhatian dengan arah ceritanya. Pikiranku buyar kesana ke mari. Baru kali ini aku melakukan kesalahan besar dan amat rawat untuk keselamatanku sendiri. Kesadaranku sebenarnya telah muncul bersamaan dengan gerakan tangan mas Ari ke arah paha dan pinggangku. Duh gusti, aku akan bagaiamana untuk meresponnya? Saat pikiranku masih berkecamuk mas Ari memberikan serangan lebih agresif dan lembut membuatku tidak ,mampu lagi berfikir sehat. Satu jam kemudian aku tersadar bahwa aku telah melakukan perbuatan terkutuk, karena kelamahanku sendiri yang sebenarnya sudah aku sadari sejak awal.
“Mas, apa yang telah kita lakukan? Kamu bertanggungjawabkan? Bagaimana jika aku hamil?”
“Ya, yang sudah terjadi kan bukti rasa cinta kita berdua. Cinta yang berkembang di hati selama ini”.
“Tapi mas, kita kan belum menikah, cinta yang tulus kan tidak membabi buta dalam mengekspresikannya. Sepanjang yang saya tahu dari buku atau majalah yang aku baca bahwa cinta harus dikembangkan dalam kesadaran untuk membuat orang yang dicintainya jadi positif, bebas, dan tidak terbebani. Sekarang saya harus bagaimana mas”.
“Harus bagaimana maksudmu? Yang kita berjalan terus sebagaimana biasa. Cinta kita akan menjadi bagian dari proses perjalanan hidup kita”
Aku tidak jelas dengan jawaban mas Ari, yang menurutku ada indikasi untuk mempermainkan diriku. Jawaban yang serba kabur, agar ia dapat keluar dari tanggungjawab dengan permainan kata-katanya.
“Tanggungjawab kan mas, sampeyan tanggungjawab”
“Ya, selama kita dalam komitmen cinta ya aku tanggungjawab, jangan khawatir”

Seminggu kemudian kejadian terkutuk serupa, terjadi lagi. Sebagaimana kata orang, bahwa kipper akan kehilangan kepercayaan dirinya jika bola telah membobol gawang yang dijaganya. Aku juga demikian. Perasaan masgul terjadi kembali pada sore itu, karena kesalahan telah terulang kembali. Aku merasa tidak mampu menjawab “tidak” pada permintaannya. Pada malam takbir hari raya idul fitri, dua bulan berikutnya, di malam hari itu aku berbincang dengan kawanku, yang tinggal berdampingan dengan tempat kosku yang dekat dengan kampus itu. Teman yang dewasa dengan pemikiran dan sikap yang tegas. Rahma. Rahma seorang aktifis kampus, lincah, ayu, dan pengalaman organisasi. “ini waktu yang tepat untuk instroeksi diri saat alunan takbir menyentuh ahtiku”. Demikian kata hatiku. Bagiku aib ini harus kusampaikan dengan dia yang amanah dan dewasa, aku belum menceritakan aib ini kepada ortu atau saudaraku, karena mereka akan menghakimi dan membuatku tidak lagi memiliki makna lagi bagi mereka. Aku takut menyampaikan pada siapapun yang suka klaim. Rahma terlihat lebih dewasa dari pada mereka semua.
“Mbak Rahma, ada waktu. Aku ingin bicara”
“Ada waktu, silahkan. Ada dik Nuneng, ada masalah kok terlihat kuyu banget hari ini. Tidak pulang, mudik”.
“Tidak mudik mbak. Takut. Aku pusing. Aku mau bercerita panjang tentang diriku pada mbak, tolong mbak.”
“ya, silahkan, akan aku dengarkan. Ceritakan sejelas-jelasnya”
Aku bercerita tentang mas Ari, dari pertemuan pertama yang membuatku terpesona, tentang keluarganya yang kaya di sebelah timur pulau Jawa ini, tentang prilakunya. Dan yang terakhir aku ceritakan semua tentang akal bulusnya yang membuatku merasa tersiksa seperti sekarang ini. Mas ri yang suka mengulur-ulur waktu tatkala aku ajak ke rumahku. Mas Ari yang suka berkata cabul dan meremehkan agama. Ma Ari yang suka membuat pernyataan bersayap tentang tanggungjawab. Aku bilang bahwa rahasia ini adalah rahasia kita bertiga karena tidak pernah aku ceritakan pada yang lain.
“Begini dek Neng, menurutku cinta itu harus diorientasikan untuk hal yang membuat diri orang yang kita cintai positif dan bermasa depan. Meski kita sudah mencintainya setinggi langit tetapi jika dengan melepasnya ia akan lebih tentram dan bahagia, maka hal itu harus kita lakukan. Melepasnya adalah kedewasaan cinta. Cinta kanak-kanak adalah cinta seseorang yang ingin mengusasi dan menindas demi kemauannya sendiri. Orang benar-benar mencintai secara dewasa akan memberikan sesuatu yang amat dihargainya kepada yang dicintainya sebagai “kado dan kenangan” hidup yang tidak pernah diberikan kepada yang lain dengan “suka rela”, tanpa paksaan sedikitpun. Pemberian yang tidak meminta balasan. Pertanyaanya, apakah dek Neng memberikan kehormatan untuk tujuan materi, ingin menjadi istri orang kaya-berpendidikan, atau karena ketulusan?”
“Karena cinta dan ingin menjadi istri mas Ari yang pegawai negeri dan orang tuanya kaya”
“Baik, terimakasih atas keterbukaanmu kepadaku. Cinta yang demikian itu adalah cinta kanak-kanak yang tidak akan membuatmu tenteram. Coba dek, sesekali embaca buku tentang filsafat cinta, musalnya yang ditulis oleh Jalaluddin Rumi atau Erich Fromm, kau akan mendapatkan kedewasaan cinta yang adek rasakan selama ini. Nah sekarang coba renungkan, apakah mas Ari-mu itu melakukan hubungan seks karena cintanya padamu atau hanya karena ingin mendapatkan kenikmatan itu?. Untuk mengujinya jika kamu tidak mau melakukan hubungan seks dengannya kemudian dia menjahuimu maka dia bukan mencintaimu tetapi ingin menjadikamu sebagai budak seks. Jika ia memiliki cinta yang dewasa terhadapmu, ia akan memberikan dan mempertahankan rasa cintanya sampai ajalnya tiba, tanpa terkurangi meskipun ia harus berpisah denganmu untuk kebaikanmu.”
Demikian panjang jelas keterangan mBak Rahma, aku seakan tersadarkan di malam takbir kali ini. Bahwa yang Maha Besar pasti akan memberikan kekuatan pada diriku untuk mengatasi masalah ini. Pembicaraan dengan mBak Rahma terpotong karena ada kawan mBak Rahma dari aktifis BEM yang kebetulan belum mudik.
Pada tanggal 29 Oktober 2006, di hari Minggu beberapa hari setelah hari raya, mas Ari mengajakku untuk bermalam minggu, dengan alas an kangen setelah sekitar dua bulan tidak bertemu, yang memang aku berusaha untuk tidak bertemu sebelum aku menemukan jawaban yang jelas jika nanti aku bertemu lagi dan mas Ari menginginkan berhubungan seks untuk yang ketiga kalinya. Dengan bahasanya yang halus dan berbagai alasan, ia meminta kembali untuk berhubungan seks. Aku menjawabnya dengan keyakinan penuh :
“Tidak mas, tidak. Jika mas Ari benar-benar mencintaiku, segeralah ke rumah untuk meminangku”.
“Tidak. Kita kan sudah melakukannya dan itu atas kehendak kita berdua. Nikah itu gampang, dapat diatur belakangan”.
“Tidak bisa begitu mas, aku setelah kejadian dua kali itu terasa khawatir, tidak tenang, dan tersiksa, karena kamu belum memberikan kejelasan tentang hubungan kita ini”.
“Hubungan akan tetap berlanjut, selama kamu mau menjaga keharmonisan dan seirama dengan permintaanku”.
Saat jawaban itu keluar dari mulutnya, aku teringat kata mBak Rahma bahwa cinta yang bertendensi materi itu cinta kanak-kanak dan akan selalu minta dan menindas yang dicintainya. Aku tetapa dalam jawabanku “tidak”. Aku merasa bangga dengan diriku yang mampu berkata tidak, yang selama ini terasa kelu untuk mengucapkannya pada mas Ari. Memang, setelah kurenungkan aku mencintainya dengan penuh kekanak-kanakan demikian jyga dia lebih kanak-kanak. Cinya yang minta imbal balik materi dan bukan persembahan sacral dan keluar dari hati nurani. Aku memberikan kehormatanku karena ingin menyenangkannya dan agar ia mau menikahiku. Sementara ia merenggut kehormatanku untuk memuaskan kebutuhan biologisnya, dan tidak terpikir olehnya akan masa depanku bersamanya.
Setelah jawaban tidak itu kusampaikan ia merasa kecewa berat, dengan menghela nafas berkali-kali. Ia meninggalkanku dengan kata-kata singkat:
“Ok, jika itu jawabanmu. Terserah, ternyata kau sudah berubah”.
Aku tidak menjawabnya. Hanya perasaan lega karena bisa selamat dari terkaman harimau buas yang bersikap manis di depanku. Beberapa hari kemudian saat aku bertemu dengannya, mas Ari menunjukkan sikap kasar dan “cuek” kepadaku. Aku merasa terhina dan yang menghina adalah orang yang selama ini ada di hatiku. Aku sedih karena sesuatu yang berharga telah kuberikan kepada bajingan. Padahal mestinya kehormatan ini hanya akan aku berikan kepada orang yang dengan tulus mencintaiku dengan cinta yang penuh kedewasaan. Kesdihan yang tak terperikan membuat air mataku terkuras siang malam. Aku tersadar bahwa penderitaan ini harus kusudahi, dengan berbincang kembali dengan mbak Rahma. Aku membutuhkan bantuan orang lain yang amanah dan mau memahami kelemahanku dan kecerobohanku selama ini. Dan itu kutemukan pada mbak Rahma yang tegas tetapi berhati dan berlisan teduh.
Benar kata mBak Rahma. Ia mencintaiku dengan cinyanya yang masih kekanak-kanakan. Pada hari Rabu sosre aku bertandang ke mBak Rahma, menyampaikan berita terakhit. Jelas mbak Rahama kemudian.
“Berita terakhir tentang mas Ari-mu itu juga pengianatannya kepada kawannya sendiri. Cinta kanak-kanak akan menjalar bukan saja pada perempuan sepertimu tetapi juga akan terjadi pada kawan dekatnya sendiri. Ia menginginkan jabatan setingkat kepala dinas di kantornya, oleh yang berwenang dan itu kawan dekatnya sendiri ia diberi amanah jabatan sebagai kepala seksi. Ya kalau di kampusku ya setingkat ketua jurusan, tapi ia ingin jadi dekan atau pembantu dekan. Karena ia tidak bisa meraih harapan pada tingkat kepala dinas dan diberikan jabatan di bawahnya, mas Ari akhirnya memberontak dengan menyebarkan aib adan kawannya sendiri ke mana-mana. Meskipun ia mau juga menerima jabatan kasi itu. Nah itulah dek Neng cinta kanak-kanak. Mas Ari juga bilang katanya akan menjaga kesetiakawanan sampai kapan pun kepada kawannya, tetapi ia memang lemah di hadapan kekuasaan dan materi duniawi, kawan sendiri disrimpung dari belakang”. Mbak Rahma menjelaskannya dengan tenang bak ibu menasehati anaknya yang sedang ngambek. Ia meneruskan “Cinta kana-kanak itu pemilikinya tidak pandai bersyukur. Jika ia minta uang seratus juta lalu diberi tujuh juta, maka ia menganggap tujuh juta itu tidakada artinya bahkan akan dimaknai pelecehan terhadap dirinya. Hal lain berlaku juga untuk kasus seks, jika ia minta beberakali dan hanya kamu beri dua kali yang tidak dianggap bahkan kamu akan dihukum olehnya, demikian juga kasus jabatan. Ia minta delapan tahun menjabat ee… kok hanya diberi empat tahun maka ia akan marah dan tidak lagi menghargai jabatan yang empat tahun itu. Itulah cinta kanak-kanak dek. Dan itu mudah terjadi pada kita, juga telah menimpa mas Atimu itu”.
“Berarti dia memang kuarangajar ya mbak. Orang begitu harus dihukum, saya orangnya yang akan membalasnya”.
“Jangan bersikap demikian ia harus dibantu untuk emenmukan kesejatian cinta. Jika ia terus seperti itu, berarti akan terus memakan korban dan mengorbankan dirinya. Yak arena dia anaknya orang mampu, mungkin itu tidak terasakan terkait dengan materi tetapi secara psikologis dia tidak akan mendapatkan ketentraman, karena kehausan diri yang meluap dan melupakan cinta sebagai dasar bangunan nilai kemanusiaan yang harus dijaga dengan penuh kelegaan dan kesenangan hati”
“Aduh mbak, sampean kok kayak filosof begini, siapa yang ngajari? Apa kawan-kawan di kampus mbak juga memiliki kedewasaan berfikir seperti ini?”.
“Untunglah dek Neng, ada seseorang yang selama ini berkenan mendewasakanku. Sebelumnya aku tidak ada bedanya dengan dek Neng, yang serba kekanak-kanaan”.
Kata-kata mbak Rahma bagaikan air yang mampu memadamkan api dendam yang membara. Aku sudah tenang meski aku tidak tahu apakah ketenangan ini akan berjalan stabil dan aku amu mengampuni mas Ari atau aku akan berbuat b\sebaliknya dengan nasehat mbak Rahma kemudian menuntut balas dan akan menghancurkan masa depan mas Ari, bukankah dia seorang pegawai negeri yang ada aturan perundang-undangannya.
Aku harus memendam rahasia ini. Aku harus bangkit memperbaiki diri. Tuhan maafkan hambamu yang lemah ini. Berikan aku keuatan setelah aku ditikam oleh rasa cinta kekanak-kanaan ini.

Purwokerto, 8 Nopember 20

Tidak ada komentar: