Kamis, 20 November 2008

MENGEMBANGKAN PARIWISATA BANYUMAS

PENGEMBANGAN PARIWISATA
YANG MENGHARGAI BUDAYA DAN AGAMA
SERTA MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT BANYUMAS [1]
Oleh: Muhammad Roqib [2]




Umat Islam diperintahkan Allah melakukan perjalanan di muka bumi untuk mencari karunia Allah (wabtaghu min fadlillah) selain itu juga diperintahkan untuk merenungkan tentang ciptaan-Nya; binatang, langit, gunung, bumi, air, dan lainnya untuk mendapatkan ketenangan batin dan kesejahteraan. Perjalanan tersebut ditujukan untuk meningkatkan daya fikir dan dzikir melalui gerak untuk menikmati keindahan makhluk Allah, memikirkan tentang rahasia hukum-Nya dalam alam semesta, kemudian memanfaatkannya untuk meraih ketenangan dan kebahagiaan batin-ruhaniyah serta kesejahteraan materi-dunyawiyah.
Alam semesta, ciptaan Allah yang terhampar ini memiliki keteraturan dan keindahan yang luar biasa. Alam menawarkan berbagai ragam untuk mengatasi kesulitan hidup manusia. Keindahannya jika tetap dipertahankan atau bahkan dikelola dengan baik dan profesional akan menyuguhkan panorama keindahan yang berdimensi fisik sekaligus bermanfaat untuk psikis-spiritual dan keilmuan. Keindahan yang dikemas apik menjadi tempat tujuan bagi manusia yang mendambakan ketenangan, peningkatan spiritual, dan keilmuan. Inilah hakekat tujuan yang ditawarkan oleh pariwisata.
Ke depan dunia pariwisata akan semakin menjadi andalan bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Pemerintah yang cerdas akan melihat potensi alam dan sosial-budayanya untuk dikembangkan agar menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Kehidupan modern dengan kecanggihan teknologi ikut mendorong kecenderungan ini.
Ada keuntungan berlipat bagi pemerintah saat mengembangkan pariswisata ini, selain menambah pendapatan asli daerah, juga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat baik sebagai tukang parkir, pedagang, penyedia jasa penginapan, jasa transportasi, atau lainnya. Di sisi lain pemerintah juga dapat memperindah wilayah sekaligus menyelamatkan bumi dengan penghijauan dan lainnya. Dari aspek budaya, dengan pariwisata pemerintah akan lebih mudah mempromosikan budaya daerah berupa makanan khas, batik, dan lainnya.

Pemberdayaan SDM dan Ekonomi Lewat Pariwisata
Mengembangkan obyek pariwisata erat kaitannya dengan tujuan mengembangkan SDM dan ekonomi masyarakat. Di luar tujuan itu, pemerintah hanya bermain-main dengan amanah yang diembannya. Indikator bahwa pemerintah serius dengan tujuan peningkatan SDM dan kesejahteraan umat (tasharruful imam ‘alar ra’iyah manutun bil mashlahah) di antaranya dalam mendesain pariwisata melibatkan berbagai phak terkait termasuk ulama dan ilmuan yang menjadi tokoh umat, melibatkan tenaga lokal yang sebelumnya telah dididik dan dilatih, mengantisipasi efek samping baik fisik maupun sosial, mengembangkan budaya lokal untuk menambah daya tarik obyek wisata, dan menambah fasilitas, sarana, dan prasarana dengan bijak, tidak dengan pendekatan “asal gusur”.
Menyapa budaya lokal masyarakat kemudian menyentuhknya dengan tangan kreatif agar lebih berkembang akan mampu menarik wisatawan dan kemudian akan memajukan perekonomian masyarakat. Membangun pariwisata dengan mematikan budaya akan bergerak berbalik atau mundur dan tidak akan dapat mencapai tujuan dari program pengembangan pariwisata.

Mengembangkan Pariwisata Secara Integratif
Pengembangan pariwisata secara intregratif (saling terkait dan mendukung antara obyek wisata yang satu dengan lainnya) dapat dilakukan dengan membuat lokasi wisata alam, keilmuan, dan ruhani sekaligus. Lokasi wisata satu paket seperti ini akan menarik perhatian wisatawan karena cenderung lebih murah dan lebih mudah dijangkau. Karena dalam satu paket sekaligus, nilai manfaatnya juga mudah dirasakan baik secara dhohir maupun batin. Pengalaman dan kepuasan wisatawan akan digethok tularkan kepada kawannya yang lain dan ini juga merupakan promosi gratis. Promosi dengan model ini dirasakan menguntungkan apalagi saat ini biaya iklan amat tinggi.
Paket wisata integratif ini berujud pengembangan potensi wisata yang ada dengan menonjolkan karakteriktis (khushushiyah) obyek wisata tersebut. Alam pegunungan yang asri di dalamnya dibangun masjid dengan sentuhan budaya lokal yang kuat dan indah yang diitari oleh gedung pendidikan dan latihan (diklat) lengkap dengan labiratorium ilmiahnya. Desain obyek wisata ini melibatkan ahli tata ruang dan pertamanan, ulama, budayawan, dan ilmuan. Keindahan yang ditawarkan akan menyentuh relung hati dan rasa para wisatawan karena desainnya yang indah, rapi, tertip, menawan penuh sentuhan estetik dan etik. Pada paket integratif potensi makam dan masjid juga demikian, di sekitarnya dibangun taman, tempat bermain (anak-anak), dan tempat pendidikan dan latihan disertai dengan laboratoriumnya. Perguruan tinggi juga dapat dikembangkan dengan menambahkan taman dan tempat bermain.
Wisata integratif ini juga dapat dikembangkan pada obyek wisata yang berbeda tetapi tempatnya tidak berjauhan. Lokasi wisata yang satu dapat melengkapi lokasi wisata yang lain. Paket wisata integratif ini jika dikembangkan, jauh ke depan akan menjadi acuan dan alternatif.

Bergeser ke Wisata Rohani
Berbicara pariwisata berarti berbicara jual beli keindahan dalam arti fisik juga psikis-spiritual dan keilmuan. Pariwisata secara fisik di antaranya adalah menjual keindahan laut dan air (terjun/curug, mancur, telaga), alam pegunungan, gua, hutan, dan lainnya. Pariwisata yang bersifat psikis-spiritual di antaranya berupa wisata rohani seperti ziyarah ke makam para wali, masjid, juga ke mall atau supermarket meski hanya untuk lihat-lihat neski tidak membeli (window shooping), sedang wisata yang bersifat keilmuan seperti study tour atau rihlah ‘ilmiyah ke Perguruan Tinggi, kebun atau lokasi binatang (langka), pohon langka,[3] ikan hias, dan lainnya.
Semakin tinggi kemajuan teknologi kegiatan manusia semakin monoton dan membosankan sehingga komunitas modern semakin jenuh dan stress, untuk mengobatinya dibutuhkan rileksasi dan refresing di antaranya dengan mengunjungi tempat-tempat wisata. Para artis, pengusaha, pejabat eksekutif-legislatif-yudikatif di negeri ini banyak yang melancong dan berbelanja sambil berwisata ke Malaysia, Singapura atau ke Makkah untuk haji dan umroh. Meski berdimensi ibadah, haji dan umroh memiliki fungsi rekreatif, tergantung niatnya jika lurus-ihlas mereka akan mendapatkan multi fungsi dan pahala.
Pada millennium ketiga ini ada kecenderungan bagi masyarakat Indonesia untuk berwisata rohani,[4] indikatornya adalah ramainya kunjungan ke makam para wali, pesantren (semisal Darut Tauhid Bandung dan Suryalaya Tasik), masjid Demak, Istiqlal dan Kubah Emas di Jakarta. Kecenderungan ini akan semakin meningkat karena kondisi lingkungan sosial-politik yang semakin “panas”. Masyarakat membutuhkan pendingin secara fisik sekaligus kesejukan psikis dan rohani. Wisata rohani semakin meningkat pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Romadlon oleh sebagian umat Islam dunia dimanfaatkan untuk meneguhkan dan memperkuat iman dengan beribadah umroh sedang untuk umat Islam Indonesia mengambil pada bulan lainnya untuk ziarah ke makam wali, kyai, dan masjid.
Untuk mengembangkan wisata rohani, paket wisata rohani dapat diprogramkan oleh ormas Islam seperti NU bekerjasama dengan pemerintah.[5] Program tersebut semisal paket Wisata Ruhani bagi Anggota Legislatif Banyumas, Wisata Rohani bagi Eksekutif, Wisata Rohani bagi Perbangkan, dan lain-lain. Paket “Wisata Rohani” ini didesain khusus dengan kurikulum dan strategi pembelajaran aktif yang menyenangkan dan efektif sehingga mampu berperan sebagai alat sapa yang bersangkutan untuk jalan lurus apalagi tatkala mereka tergoda untuk “menoleh” pada prilaku korupsi dan semacamnya. Untuk program ini harus ada political will dari pejabat terkait.

Masjid Soko Tunggal Cikakak dan Makam Syeh Maqdum Wali
Masjid ini amat menarik untuk dikembangkan menjadi tempat wisata rohani karena;[6] 1) masjid ini didirikan pada tahun 1288, masa kerajaan Singosari enam tahun sebelum kerajaan Majapahit berdiri tahun (1294), jauh sebelum kerajaan Demak berdiri, 2) Ornamen dan gaya arsitekturnya yang khas dengan saka tunggal di tengah-tengah yang terbuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni. Pesan religius dan etika sebagai mana ada dalam tradisi dan budaya Jawa amat kuat dirasakan oleh siapapun yang datang ke masjid ini, 3) masjid yang ditetapkan sebagai cagar budaya tahun 1980 ini memiliki ornament yang menyembunyikan banyak data sejarah masa Singosari dan Majapahit sehingga menarik untuk diteliti oleh pada ilmuan, 4) masjid yang sejak 1965 sudah dipugar dua kali ini tetap melestarikan tradisi ritualnya yang khas dan sebagian ada yang berbeda dengan masjid lain seperti puji-pujian atau ura-ura yang lagunya seperti kidung Jawa, sebagian jamaahnya menggunakan udeng biru bermotif batik, pada hari Jumat muadzin atau bilalnya berjumlah empat orang yang menggunakan udeng dan adzan bersama, serta pesan dan bacaan ayat khatib juga dilantunkan seperti berkidung.
Daya tarik masjid Soko Tunggal seperti ini dapat dikembangkan[7] dengan melengkapi taman, tempat bermain, tempat pendidikan dan latihan, juga tempat parkir. Pengembangan wisata rohani ini, sekali lagi, pemerintah perlu melibatkan berbagai komponen terkait seperti ilmuan, budayawan, dan ulama. Informasi yang cukup kepada masyarakat sekitar jauh-jauh hari juga sudah dilakukan pemerintah sekaligus penyiapan tenaga terampil-profesional dari pemuda dan tenaga kerja lokal.
Sebagai perbandingan tentang daya tarik yang luar biasa dari masjid Soko tunggal, model masjid ini telah menginspirasi Sri Sultan HB IX untuk membangun masjid Soko Tunggal di kawasan Tamansari Yogyakarta pada akhir tahun 1960-an, dimulai tahun 1967 dengan perancang utama Raden Ngabehi Mintoboedoyo, selesai dan diresmikan oleh HB IX pada 28 Februari 1973. [8] Masjid ini berfungsi untuk menyatukan balong pisah karena konflik politik.
Ketertarikan dengan masjid Soko Tunggal juga diekspresikan oleh KH. Nuril Arifin untuk mendirikan pesantren Soko Tunggal di Jl. Sendangguwo Raya no. 36-43 Semarang.[9] Pesantren ini diberi nama Soko Tunggal karena di lokasi pesanren ini dibangun juga masjid Soko Tunggal. Pesantren ini santrinya tidak dipungut biaya.
Makam Syeh Maqdum Wali juga menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan, selain dekat dengan kota Purwokerto, kecenderungan wisata rohani saat ini cukup menggembirakan. Desain yang tepat agar kehormatan makam ini terpelihara adalah dengan mengintegrasikannya dengan hutan kota yang berfungsi untuk rekreasi sekaligus penghijauan dan penyejuk kota. Selain hutan, lokasi ini bisa didampingi dengan “Taman Rakyat” yang luas dengan menyulap “Kali Logawa” serta aneka permainan anak kreatif, dan “Taman Budaya Banyumas”. Masyarakat kota (juga desa) membutuhkan lokasi yang indah dan lapang menghijau untuk menghalau kagerahan dan kekalutan batin karena berbagai problem hidup dan padatnya agenda kerja. Di tempat wisata ini warga dapat berekspresi bebas, lari, berteriak, atau menangis karena cinta Allah dan makhluknya, mensyukuri nikmat-Nya, dan mengharap ridlo-Nya.

Tradisi dan Budaya NU dalam Pengembangan Wisata
Sebagaimana disebutkan, bahwa budaya memiliki andil besar untuk mengembangkan pariwisata. Organisasi keagamaan yang mengapresiasi budaya dan tradisi lokal sebagai bagian dari kearifan lokal adalah NU. Selama tradisi masyarakat setempat tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam, NU mentolerirnya sebagaimana ajarannya yang populer dengan istilah tasamuh, tawashut, dan tawazunnya. Tradisi lokal, oleh NU dimaknai sebagai kreativitas bukan bid’ah sebagaimana yang dikumandangkan oleh sebagian organisasi Islam lain. Jika ada budaya dan trisi yang bengkok dan keluar dari ajaran Islam, NU akan segera meluruskannya dengan bijak dan tanpa kekerasan. Meski demikian, pada berbagai kasus, NU tetap bersikap tegas.
Penjelasan seperti ini penting disampaikan, terutama saat sebagian organisasi Islam berpenampilan garang bahkan ada yang sangat garang dengan budaya lokal melalui jargon bid’ah, khurafat, dan tahayul. Dengan alasan memberantas terhadap yang mistik, mereka menghanguskan budaya yang menjadi keunikan masyarakatnya. Dengan model dakwah seperti ini, berakibat Islam hadir dalam wajah yang kaku, seram, dan serba legal-formal. NU organsasi yang ramah dengan budayanya yang khas sekaligus giat mengembangkannya untuk membuat hidup ini semakin indah dan bumi ini semakin nyaman untuk dihuni.
Pemerintah yang ramah terhadap budaya lokalnya akan mendapatkan respon dan dukungan yang baik dari masyarakat. Jika itu yang dikehendaki, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali dengan mengajak tokoh dan warga NU untuk menata lebih serius budaya dan tradisinya yang religius dan ramah agar pariwisata dapat berkembang dengan baik sesuai dengan ajaran agama dan budaya luhur masyarakat Banyumas.

Pariwisata Banyumas Sebagai Model
Pemikiran ini adalah “secuil contoh” yang harus dikembangkan bersama sehingga terwujud sebuah “model pariwisata” yang integratif, yang menyatukan berbagai keinginan manusia yang hidup di era millennium ketiga dengan loncatan kekuatan teknologi yang luar biasa sekaligus melengkapi potensi wisata di satu lokasi atau mengaitkan potensi wisata pada lokasi yang berdampingan. Jika manusia tidak segera mengelolanya dengan mengawinkan teknologi dengan budaya Banyumas yang diakui adiluhung, lambat laun masyarakat ini akan asing dengan dirinya sendiri dan hidup dalam ketakutan karena yang asing itu meresahkan dan bisa menakutkan.
Potensi wisata Banyumas berupa curug, telaga, goa, masjid, makam wali, museum, taman, hutan, dan lainnya yang masih menunggu tangan-tangan kreatif dan bijak untuk dikelola, dilengkapi, dipromosikan, dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan warga. Pariwisata alternatif yang tetap menonjolkan budaya dan kekhasan local Banyumas yang disentuh apik dengan memanfaatkan teknologi mutakhir sehingga pariwisata ini tetap membawa nilai positif dan keistimewaan daerah. Jika demikian Banyumas akan tampil ke depan sebagai pelopor “wisata integratif” yang berdimensi spiritual dan keilmuan sekaligus. Pemikiran ini, meski masih dalam impian, dapat bergulir dan berkembang sesuai dengan kreatifitas pemerintah dan potensi yang dimiliki Banyumas. Selama tujuan dan strategi pengembangan di atas tidak diabaikan cita-cita ini kemungkin akan terwujud. Dengan obyek pariwisata yang integratif, kesejahteran warga dapat ditingkatkan, kenyamanan hidup dapat difasilitasi, kehidupan spiritual juga dapat ditingkatkan. Banyumas diharapkan menjadi gemah ripah loh jinawe tata tentren kerta raharja. Amin.


Purwokerto, 20 Nopember 2008
[1]Makalah singkat ini dipresentasikan pada acara Workshop Strategi Pemasaran Wisata Banyumasa dalam Rangka Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, kerjasama Pengurus Pusat LPNU dengan Direktorat Jendral Pemasaran DEPBUDPAR RI pada hari Kamis tanggal 20 Nopember 2008 di Hotel Queen Garden Baturaden.
[2] penulis Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto. Penulis buku Harmoni dalam Budaya Jawa (2007), Menggugat Fungsi Edukasi Masjid (2005), Pendidikan Perempuan (2003, dibeli oleh proyek Diknas RI 6000 eksemplar, 2007), Pendidikan Pembebasan (2001), dan penulis bareng (kontributor) untuk buku The Spirit of Love (2007), Menelusuri Amalaiah Wong NU (2007), dan Rabingah Cintailah Aku (kumpulan cerpen 2006), Ilmu Pendidikan Islam: Integrasi Pendidikan Keluarga, sekolah, dan Masyarakat (2009), Kepribadian Guru (2009), Prophetic Education (2011). Ketua LDNU propinsi DI. Yogyakarta tahun 1996-2001, dan bekerja sebagai pengajar di STAIN Purwokerto. Alamat Blog, http://mohroqib@blogspot.com dan http://roqibstain@blogspot.com.
[3]Penulis pernah dilibatkan untuk proyek penanaman pohon langka oleh pemerintah di lokasi wanawisata Baturaden pada tahun 2005 yang lalu. Kajian terhadap pohon langka ini dapat menjadi bagioan dari wisata yang berdimensi keilmuan.
[4]Suara Merdeka, Selasa 23 Agustus 2005 melaporkan bahwa “Pasar Wisata Bergeser ke Asia dan Wisata Rohani”. Diperkirakan lebih dari 50 persen dari sekitar 200 biro wisata di Jawa tengah sekarang menggarap potemsi pasar ini. Sebagai contoh, sebelum pengasuh pesantren Darut Tauhid dipersoalkan poligaminya, tiap akhir pekan pengunjung pesantren ini bias mencapai 3.000-5000 orang perhari demikian juga dengan pesantren Suryalaya milik Abah Anom. Selain pesantren situs peninggalan agama tertentu juga mendapatkan perhatian yang besar dari amasyarakat.
[5]Program Wisata Rohani seperti ini pernah penulis desain dan programkan tahun 1997 di Lokasi Wisata Kaliurang Yogyakarta, saat penulis menjadi Ketua Lembaga Dakwah NU propinsi DI. Yogyakarta.
[6]Kompas, Sabtu 13 september 2008 halaman 36 meneropong masjid ini dengan tema “Jejak Islam pada Masa Hindu”. Dalam Koran ini disebutkan tentang sebagian filosofi bentuk, ornament, dan amaliyah di mensjid ini meski serba singkat.
[7]Karena keterbatasan tanah yang ada di sekitar masjid, pengembangan ini bisa mengambil tempat di pinggir desa.
[8] Suara Merdeka, Selasa 3 Nopember 2005.
[9] Suara Merdeka, Senin 25 September 2006.