Jumat, 08 Agustus 2008

Dari Iqra' Sampai Quantum I

DARI IQRA’ SAMPAI QUANTUM:
Mendialogkan Metode Pendidikan Islam (Bagian Pertama)

Oleh: Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag. [1]

Peserta didik seakan jenuh dan putus asa, dengan tumpukan tugas dari beberapa mata pelajaran yang dijejalkan oleh lembaga pendidikan. Perasaan ini tidak muncul begitu saja tetapi karena sederetan faktor dari keterpurukan ekonomi sampai dengan prilaku guru dalam mengajar yang terlihat “seenaknya sendiri”. Materi dan metode seakan “jimat” yang dikeramatkan sehingga tidak pernah dirubah dan dikembangkan (ghairu taghyir wat tazyid).
Metode yang monoton dalam mengajar menjadikan peserta didik tertekan dan seakan ingin lari dari kelasnya. Bagaimanakah memaknai metode, memahami, mempraktekan, dan mengemabangakan untuk efektifitas dan efesiensi pembelajaran dalam perspektif pendidikan Islam ? pertanyaan ini yang diusahakan untuk dijawab dalam tulisan ini dengan tidak lupa untuk “mengunyah” dan memasukkannya dalam “molen” yang memutar agar pemikiran ini menjadi adonan yang matang.
Upaya ini untuk membedakan antara ilmu pendidikan Islam dengan kajian Tafsir-Hadits Tarbawi yang masih terlihat jelas batu-bata bangunannya dari unsur Qur’an dan Hadis. Oleh karenanya dalam tulisan ini ayat dan hadis tidak nampak jelas dipermukaan dasar wahyunya karena sudah teranyam dalam pemikiran penulis.


A. Pengertian Metode, Strategi, dan Teknik
Metode (thariqah, method) seringkali disamakan dengan pendekatan (approach), strategi, dan teknik atau digunakan saling bergantian yang pada intinya adalah suatu cara atau jalan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan, cara yang tepat dan cepat untuk meraih tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pendekatan merupakan kerangka filosofis yang menjadi dasar pijak cara yang ditempuh seseorang untuk mencapai tujuan seperti pendekatan humanis, liberal, teologis, quantum, dan lainnya. Pendekatan ini terkadang disebut dengan teori. Setiap dasar filosofis yang dipakai dalam pendidikan akan berkonsekwensi pada kerangka metodologis dan teknik yang berbeda pula meskipun secara kasat mata terlihat sama.
Di Indonesia dikenal pendekatan[2] atau metode yang popular dalam pengajaran seperti cara belajar siswa aktif (CBSA) dan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM), yang dapat disebut dengan edutainment. Pendekatan pertama lebih menekankan pada keaktifan peserta didik sedang yang kedua pada kreatifitas dan menyenangkan. Pembelajaran aktif (active learning) sebagai dasar pijak yang menuntut pendidik untuk memberikan peran maksimal kepada peserta didik agar terwujud perkembangan kreatifitas. Dalam konteks pengembangan kreatifitas yang sama, pendekatan kedua menambahkan agar setiap proses pendidikan dan pembelajaran selalu melihat peserta didik sebagai manusia yang utuh dan harus dihargai serta dikasih sayangi. Upaya itu membutuhkan suasana pendidikan dan pembelajaran yang menyenangkan dengan dasar bahwa pendidikan dan pembelajaran yang menyenangkan akan berakibat pada peningkatan motivasi peserta didik untuk mengulang dan selalu mengulang.
Metode secara bahasa berarti cara yang telah teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai suatu maksud, atau cara mengajar dan lain sebagainya. [3] Dapat juga diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dengan menggunakan bentuk tertentu seperti ceramah, diskusi (halaqah), penugasan, dan lainnya. Metode yang dipakai pendidik akan berbeda antara ceramah yang menggunakan pendekatan liberal dan humanis misalnya. Meski sama-sama ceramah akan berbeda bentuknya jika dasar pendekatannya berbeda.
Metode pendidikan Islam adalah prosedur umum dalam penyampaian materi untuk mencapai tujuan pendidikan didasarkan atas asumsi tertentu tentang hakekat Islam sebagai supra sistem. [4] M. Athiyah al-Abrasyi mengartikan metode sebagai jalan yang dilalui untuk memperoleh pemahaman pada peserta didik. Abdul Aziz mengartikan dengan cara-cara memperoleh informasi, pengetahuan, pandangan, kebiasaan berfikir, serta cinta kepada ilmu, guru dan sekolah. Metode diperlukan untuk mengatur pembelajaran dari persiapan sampai evaluasi.
Teknik berarti cara atau kepandaian membuat atau melakukan sesuatu,[5] sedang secara etimologis dapat didefinisikan sebagai cara yang lebih khusus atau spesifik yang digunakan untuk mengajar (atau menguji) suatu kemahiran atau aspek dalam wujud aktivitas, strategi, atau taktik, dan bahan atau alat yang terkait dengan pendukungnya.[6] Teknik merupakan cara operasional yang diterapkan oleh pendidik dalam proses pembelajaran, misalnya pembelajaran aktif dengan teknik problem solving, demonstrasi, dan lainnya.
Teknik Pendidikan Islam adalah langkah-langkah kongkret pada waktu seorang pendidik melaksanakan pendidikan di kelas. Teknik merupakan pengejawantahan dari metode. Sedang metode merupakan penjabaran dari asumsi-asumsi dasar dari pendekatan materi Islam.[7] Tujuan metode : 1) menjadikan proses dan hasil belajar mengajar berdayaguna dan berhasil dan menimbulkan kesedaran peserta didik untuk mengamalkan ajaran Islam melalui teknik motivasi yang menggairahkan belajar pesta didik secara mantap[8] sehingga proses pembelajaran menjadi efektif dan efesien. Efisien adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan terbaik antara proses usaha dengan hasilnya. Hasil belajar dapat dikatakan efisien kalau prestasi belajar yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha minimal. Proses belajar dapat dikatakan efisien apabila dengan usaha belajar tertentu memberikan prestai balajar yang tinggi.[9]
Strategi pada awalnya terkait dengan ilmu siasat perang, sedang yang dimaksud di sini adalah akal/ tipu muslihat/ cara untuk mencapai suatu maksud atau tujuan.[10] Strategi pembelajaran aktif banyak sekali di antaranya dapat ditemukan dalam buku-buku strategi pembelajaran. Teknik pembelajaran secara lebih luas banyak sekali [11] yang paling awal adalah teknik hafalan[12] karena waktu masa Nabi dan para sahabat diperlukan teknik hafalan yang kuat untuk menjaga al-Qura’an transmisi hadis dari para sahabat yang hafal agar tidak hilang karena saat itu tradisi tulis belum merata. Seiring dengan teknik hafalan berkembang juga teknik dekte (imla’) untuk kepentingan penulisan al-Qur’an dan Hadis untuk menjaga keduanya bagi yang pandai menulis. Tradisi tulis ini kemudian berkembang dan mendapatkan perhatian tinggi dengan perkembangan seni khot (kaligrafi) dan imla’ (dekte).[13]
Meski ada perbedaan penekanan antara pendekatan, metode, strategi/ teknik pendidikan dan pembelajaran tetapi pada dasarnya mengacu pada efektifitas dan efesiensi dalam merealisasikan tujuan yang ditetapkan. Perbedaan pendidik, peserta didik, waktu, dan tempat bisa menjadi pertimbangan penggunaan cara tersebut agar efektifitas dan efesiensi dapat diraih. Konsistensi, kontinyuitas, kesabaran, totalitas (jiwa-raga), dan komunikasi yang baik antara pendidik dan peserta didik menjadi penentu keberhasilan pendidikan. Pesantren yang dikritik menggunakan metode tradisional tetapi dalam studi keislaman tetap diakui mampu mencetak alumni yang mumpuni dan berkualitas karena ketekunan, kontinyuitas, dan ketulusan kyai apalagi jika secara metodologis dapat ditingkatkan dan disempurnakan.
Tugas utama metode pendidikan Islam adalah mengadakan aplikasi prinsip-prinsip psikologis dan pedagogis sebagai kegiatan antar hubungan pendidikan dan terealisasinya melalui penyampaian keterangan dan pengetahuan agar siswa mengetahui, memahami, menghayati, dan meyakini materi serta meningkatkan keterampilan olah pikir dan membuat perubahan dalam sikap dan minat serta memenuhi nilai dan norma.[14]

B. Dasar Penggunaan Metode
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan sebagai dasar penggunaan metode pendidikan Islam adalah dasar agamis, biologis, psikologis yang meliputi :
1. Tujuan pendidikan dan pembelajaran yang akan disampaikan yang mencakup domain kongnitif (fikir), afektif (dzikir), dan psikomotorik (amal) guna mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan dunia- akhirat.
2. Peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi dan kelemahan individual dan kolektif sesuai dengan kondisi fisik dan psikis dan usianya. Kompleksitas bakat, minat, masing-masing peserta didik dilihat dan diperlakukan secara humanis dengan cara yang bijak.
3. Situsi dan kondisi lingkungan pembelajaran baik dari aspek fisik-material, sosial, dan psikis emosional.
4. Fasilitas dan media pembelajaran yang tersedia dan kualitasnya.
5. Kompetensi pendidik (baik profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadiannya).
Lima pertimbangan tersebut membuat penggunaan metode dan teknik menjadi fleksibel, relatif, dan tentatif. Fleksibel karena bisa berubah dan berbeda antara materi satu dengan lain bahkan memungkinkan ada perubahan dan penyesuaian di tengah-tengah proses pembelajaran berlangsung. Relatif berarti tidak ada kemutlakan kebenaran dalam penggunaan metode dan teknik pembelajaran karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Tentatif dimaksudkan tidak ada metode yang cocok untuk semua peserta didik dan dalam semua situasi dan kondisi. Lima pertimbangan dasar tersebut bersifat dinamis sehingga penggunaan metode dan teknik pun dinamis.
Dinamika ini menuntut pendidik untuk kreatif dengan kontinyu melakukan pembacaan terhadap dinamika kelima faktor tersebut dan secara akademik diharapkan pendidik secara berkala melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian tindakan kelas ini diharapkan untuk mendapatkan reliabelitas dan validitas data yang akan dijadikan dasar diagnosis terhadap kelemahan pembelajaran yang sedang berlangsung dan mencari alternatif menggali metode yang lebih baik.

C. Prinsip Metode Pendidikan Islam
Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara metode pendidikan Islam dengan pendidikan lain. Pembedanya hanya pada nilai spiritual dan mental yang menyertai pada saat metode tersebut dilaksanakan atau dipraktekan. Prinsip tersebut juga dimungkinkan ada kesamaan dengan prinsip metode pendidikan lain meski secara prinsip tetap ada unsur-unsur pembedanya. Prinsip metode pendidikan Islam[15] adalah:
1. Niat dan orientasinya untuk mendekatkan hubungan antara manusia dengan Allah dan sesama makhluk. Pendekatan kepada Allah disertai dengan tauhid, mengesakan Allah, tiada Tuhan kecuali Allah. Tauhid ini menjadi ruh bagi aktifitas makhluk Muslim. Prinsip ketauhidan ini yang membedakan dengan metode yang lain.[16] Penerapan metode apa pun diterima asal memperkuat keimanan dan pengabdian kepada Allah. Keimanan dan ketakwaan yang meningkat secara vertikal tersebut berkonsekwensi secara horizontal sehingga peserta didik menjadi lebih harmonis dengan sesame manusia dan sesama makhluk di dunia ini.
2. Keterpaduan (integrative, tauhid). Ada kesatuan antara iman-ilmu-amal, iman-islam-ihsan, dzikir-fikr (hati dan piker), dhahir-batin (jiwa-raga), dunia-akhirat, dulu-sekarang-akan datang. Integratif dan interkoneksitas ini merupakan artikulasi dari ketauhidan tersebut yang menjadi karakteristik pendidikan Islam.
3. Bertumpu pada kebenaran. Materi yang disampaikan itu benar, disampaikan dengan cara yang benar, dan dengan dasar niat yang benar. Mencari kebenaran dan jalan lurus (ihdinas shirathal mustaqim), harus terus dilakukan selama manusia masih menghembuskan nafas.
4. Kejujuran (sidq dan amanah). Berbagai metode yang dipakai harus memegang teguh kejujuran (akademik). Kebohongan dan dusta (kidzb) dalam bentuk apapun dilarang. Jika realitas (politik) bertentangan dengan hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka pendidik (peneliti) tetap harus menyampaikan kebenaran tersebut meskipun terasa pahit (qulil haqqa walau kana murran), katakana kebenaran meski terasa pahit.
5. Keteladanan pendidik. Ada kesatuan antara ilmu dan amal. Pendidik yang mengajar dituntut menjadi contoh tauladan bagi peserta didiknya. Tidak diperkenankan ada kata “saya hanya mengajar”. Pengajar shalat, ia harus juga melaksanakan shalat. Ada dispensasi (ruhkshah) jika pendidik berhalangan secara syar’i semisal ia mengajar tentang haji sementara ia belum memiliki biaya untuk naik haji sehingga belum mampu haji.
6. Berdasar pada nilai. Metode pendidikan Islam tetap berdasarkan pada ahlaqul karimah, budi utama. Pendidik mengajar praktikum kimia atau geologi tetap harus menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan, tidak berkhulwat atau berdua-duaan (di ruang tertutup atau di hutan belantara) yang mengakibatkan fitnah. Metode pendidikan Islam sarat nilai, tidak bebas nilai semisal proses pembejaran harus memperhatikan waktu shalat (wajib).
7. Sesuai dengan usia dan kemampuan akal anak (biqadri uqulihim). Memberikan pelajaran terhadap peserta didik minimal berusia 7 tahun,[17] dan mampu merangsang pemikiran mereka serta memperteguh keimanan dan daya kreatif-terampilnya. Bagi anak di bawah usia 7 tahun dimasukkan pendidikan anak usia dini dengan bentuk pendidikan yang didesain dalam permainan. Hal yang menonjol dalam PAUD adalah menyanyi, menggambar, dan permainan kreatif lain yang memiliki nilai edukatif. Tingkat kecerdasan juga menjadi pertimbangan penerapan metode.
8. Sesuai dengan kebutuhan peserta didik (child center), bukan untuk memenuhi keinginan pendidik apalagi untuk proyek semata.
9. Mengambil pelajaran pada setiap kasus atau kejadian (ibrah) yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan. Mengambil pelajaran ini dimulai dengan berfikir positif dan menerima perjalan hidup dengan sedang tidak berlebihan dalam mensikapinya.
10. Proporsional dalam memberikan janji (wa’d, targhib) yang menggembirakan dan ancaman (wa’id, tarhib) untuk mendidik kedisiplinan. Proporsional karena harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik. Pembiasaan terhadap hal-hal yang terpuji membutuhkan kedisiplinan dan kedisiplinan akan berjalan jika ada hukuman (punishment), sedang yang berprestasi diberikan hadiah (reward) agar selalu mengulang kebaikan dan prestasi itu sekaligus menjadi tradisi dalam hidupnya.[18] Penciptaan tradisi posistif juga bisa dikembangkan dengan permainan yang menggembirakan, menyenangkan, dan jauh dari kekerasan.[19]

D. Trend Edutainment dalam Pembelajaran
Dunia entertainment masuk dalam seluruh lini kehidupan manusia Sebagai iconnya adalah para silibriti (artis, aktris, bintang film). Banyak tokoh demam popularitas sebagaimana para silibriti. Kecenderungan ini memunculkan istilah politisi silibritis, kyai silibritis, pengusaha silibritis, dan sebaliknya para silibritis pun tidak mau ketinggalan, mereka juga gandrung menjadi politisi, berperan jadi kyai (beneran), dan menjadi pengusaha. Pendidikan (guru, kyai, dosen) banyak yang berusaha bagaimana membuat dunianya menjadi hiburan (penuh humor) agar laris manis sehingga ia bisa menjadi popular sebagaimana silibritis, dan meraup kekayaan.
Pendidikan yang lebih menekankan pada sisi hiburan ini disebut dengan edutainment, pendidikan yang menyenangkan. Edutainment secara epistemologis dapat dimaknai sebagai pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat dan menikmati proses pembelajaran dalam suasana yang kondusif dengan proses pembelajaran yang rilaks, menyenangkan, tidak menegangkan, dan bebas dari tekanan baik fisik maupun psikis.[20] Praktek edutainment ini dapat dilakukan dengan menggunakan humor yang diselipkan di tengah penyampaian materi atau humor yang didesain untuk contoh-contoh faktual yang menarik, terkait dengan materi yang dipelajari. Teknik bermain peran (role play) dan demonstrasi serta penggunaan multi media dengan diiringi musik yang menyentuh hati merupakan elternatif lain dari pelaksanaan edutainment.
Teori yang mendasari edutainment adalah bahwa setiap hal yang menyenangkan (dan bermanfaat) bagi seseorang akan diulang-ulang oleh orang yang merasakannya. Kenikmatan dan kesenangan bahkan telah memunculkan aliran hidonisme yang baginya orientasi hidup adalah untuk menikmati sepuas-puasnya kenikmatan itu. Terkait dengan editainment ini, teori Quantum Learning menyatakan bahwa setiap informasi yang masuk ke otak peserta didik akan menuju otak tengahnya yang berfungsi sebagai pusat pengarah. Jika informasi atau materi yang dipelajari itu terdapat unsur warna, ilustrasi, permainan, musik, dan nyanyian akan membuat emosi terlibat secara positif sehingga peserta didik akan mampu belajar dengan lebih baik. Berbeda dengan informasi pembelajaran yang berbarengan dengan rasa takut atau emosi negatif, maka otak tengah akan meredam dan menyaring informasi yang masuk dan sedikit sekali yang mencapai neokorteks. Hal ini di antaranya mengakibatkan otak tiba-tiba terasa kosong dan menurun taraf kemampuan berfikirnya sampai ke level yang lebih primitif. Pada saat emosi merasa terancam, neokorteks menerima lebih sedikit sehingga belajar menjadi kurang efektif.[21]
Desain pembelajaran yang berprespektif edutainment 1) membuat peserta didik gembira dan membuat belajar menjadi terasa lebih mudah, 2) mendesain pembelajaran dengan selipan humor atau mendesain humor dan pemainan edukatif untuk memperkuat pemahaman materi, 3) komunikasi yang efektif dan penuh keakraban, 4) penuh kasih sayang dalam berinteraksi dengan peserta didik, 5) menyampaikan materi pelajaran yang dibutuhkan dan bermanfaat, 6) Menyampaikan materi yang sesuai dengan usia dan kemampuan peserta didik, 7) memberikan pujian (reward) dan hadiah sebagai motivasi agar peserta didik dapat lebih berprestasi lagi. Meski demikian, pada kasus tertentu, pendidik dapat memberikan sanksi atau hukuman jika secara edukatif diperlukan.
Teknik aplikasi program edutainment adalah dengan dengan 1) menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, 2) mengembangkan motivasi belajar yang kuat, 3) mengenal dan memahami karakter dan gaya belajar peserta didik, 4) melakukan pembelajaran aktif dan total (kognitif, afektif, psikomotoriknya serta dhohir-batinya), 5) menggunakan pendekatan inquiry-dicovery sehingga peserta didik mampu memahami makna, menyimpan, dan mengembangkannya.
Penerapan edutainment, sekali lagi, tetap tidak meninggalkan sama sekali terhadap hukuman jika diperlukan untuk mendisiplinkan peserta didik. Hukuman meski seringkali membuat peserta didik tidak nyaman dan tertekan tetapi jika yang ada hanya reward atau hadiah maka upaya menciptakan kedisiplinan terhadap peserta didik menjadi lebih sulit direalisasikan. Di sisi lain tugas-tugas dan latihan juga harus tetap mendapatkan perhatian bagi pendidik untuk melatih dan memanfaatkan waktu. Proses pemberian tugas dan latihan tersebut yang harus diawali dengan motivasi untuk sukses dan menunjukkan manfaat riilnya dalam kehidupan.
[1] Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto.
[2] Dalam pendekatan aktif ini mencakup beberapa metode dan secara operasional diterjemahkan dalam strategi atau teknik pembelajaran. Penggunaan istilah ini dapat ditemukan dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 176-179, di buku ini disebutkan ada pendekatan tilawah (pengajaran), tazkiyah (penyucian), ta’limul kitab (kajian kitab), ta’limul hikmah (kajian filsafat), yu’allimukum ma lam takunu ta’lamun (pembelajaran hal baru yang belum diketahui), ishlah (perbaikan). Pendekatan yang disebutkan tersebut memiliki kemiripan dengan teknik hal ini bisa ditemukan pada pada halaman berikutnya.
[3] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 649.
[4] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 165.
[5] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 1035.
[6] Abdul Aziz Abd. Talib, Pedagogi Bahasa Melayu: Prinsip, Kaidah, dan Teknik, (Kuala Lumpur: Utusan Publication dan Distribution Sdn.Bhd., 2000), hlm. 29 dalam http://www.grunet.bn/%20news/pelita/19sept/pasbuday didownload pada tanggal 14 Juli 2008.
[7] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 166.
[8] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm 167.
[9] Penjelasan dan contoh baca Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Logos, 2001) pada bab V tentang Efesiensi, metode/ pendekatan, dan factor yang mempengaruhi belajar.
[10] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 965.
[11] Teknik yang ditawarkan di antaranya ada teknik ceramah, tulisan (kitabah), dialog (hiwar), Tanya jawab (as’ilah wa ajwibah), diskusi (niqasy), bantah-bantahan (mujadalah), brainstorming (sumbang saran), bercerita (qisshah), metafora (amstal), imitasi (qudwah), demosntrasi (tathbiq), permainan dan simulasi, drill (mumarasat), inquiry (kerja kelompok), discovery (penemuan), micro teaching, modul belajar, belajar mandiri (independent study), eksperimen, dan lainnya. Untuk penjelasan lebih luas baca Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 183-210.
[12] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 121.
[13] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat, hlm. 124.
[14] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 168.
[15] Bandingkan dengan pendapat Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam Ilmu Pendidikan Islam, hlm 170-176. Yang menggunakan istilah asas-asas pelaksanaan metode pendidikan Islam yaitu asas motivasi, aktivitas, apresiasi, peragaan, ulangan, korelasi, konsentrasi, individualisasi, sosialisasi, evaluasi, kebebasan, lingkungan, globalisasi, pusata-pusat minat, keteladanan, pembiasaan, bandingkan pula dengan prinsip-prinsip metode mengajar yang ditulis oleh Ramayulis dalam Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 189-190.
[16] Menurut M. Athiyah al-Abrasyi dalam Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm 183, menyatakan bahwa “Pendidikan Islam sebagian besarnya adalah bersifat kerohanian, akan tetapi tidak meremehkan pengetahuan-pengetahuan lain demi untuk mencari rizki dan kebutuhan-kebutuhan hidup.
[17] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat, hlm. 119.
[18] Tentang hukuman ini, ulasan tentang sejarah Islam yang terkait di antaranya ditemukan dalam tulisan Asma Hasan Fahmi, dalam Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 135-141.
[19] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 139.
[20] Konsep belajar dengan karakter edutainment ini diperkenalkan secara formal tahun 1980-an kemudian menjadi suatu metode pembelajaran yang sukses dan berpengaruh. Dalam konteks Pendidikan Islam, Hamruni telah melakukan penelitian (disertasi) dengan judul Konsep Edutainment dalam Pendidikan Islam (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2008). Untuk selanjutnya dengan beberapa elaborasi, pembahasan tentang edutainment ini banyak mengacu pada hasil penelitian ini.
[21] Hamruni, Ringkasan Disertasi Konsep Edutainment, hlm. 6.