Senin, 19 Maret 2012

MERAJUT KERUKUNAN

IDUL ADHA: MERAJUT HABLUN MINALLAH HABLUM MINNAS *

Oleh al-Faqir: Mohammad Roqib

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ritual hari raya sering lewat begitu saja, tanpa bekas dan kurang menambah nilai spiritual kita. Apakah realitas demikian juga tetap berlangsung terus, tanpa ada perubahan pada diri kita? Berikut ini refleksi, tafakkur, tadzakkur sederhana untuk “mengantar” kita melakukan tafakkur dan tadzakkur yang lebih bermakna guna mendekat dan mendapatkan kasih sayang-Nya. Amin.

Hari raya berarti “waktu” yang dirayakan, diramaikan dan dibesarkan dengan rasa syukur berupa berbagai aktivitas amal shalih seperti berinfaq sodaqoh, meringankan beban orang lain, menghijaukan bumi dengan menanam pohon produktif, pohon penghijau dan peneduh lingkungan, mengajar generasi dengan hati dan ilmu, bertutur dan bergaul dengan ramah, menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan, dan lainnya. Begini cara memaknai hari raya, bukan pesta dengan berbagai makanan yang menjauhkan diri dari Allah. Masyarakat telah membuka berbagai tradisi pesta, pesta pernikahan, ulang tahun, dan lainnya yang tidak menunjukkan irama perayaan sebagaimana disebutkan di depan, tetapi pesta yang mengumbar nafsu angkara. Saat ini ada berbagai pesta yang keluar dari tradisi Islam yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Muslim, pesta tanpa do’a dan ceramah agama. Pesta yang mementaskan hiburan dan makan-makan, dan mengikuti gaya hidup hidonistik, serba tabdzir dan isyrof. Membuang sesuatu tanpa guna manfaat. Pesta atau perayaan seperti inilah yang berlaku di negara kapitalis, jahiliyah-paganis, dan animis-dinamis-mistis yang kita kritik dengan berbagai dalil. Ternyata kita juga fasih melakukan apa yang kita kritik itu.

Beralih pada pembahasan ‘Idul Adlha, atau Hari Raya Kurban. Hari Raya Kurban adalah hari yang dibesarkan dan diramaikan dengan berkurban. Simboliknya adalah berkorban dengan hewan kurban, petuahnya adalah membiasakan berkurban dengan kebaikan apapun yang dimiliki oleh seseorang. Orang kaya berkorban dengan hartanya, guru-kyai berkorban dengan ilmunya, pejabat berkorban dengan kebijakannya, aktivis organisasi berkorban dengan program kegiatan yang dilaksanakan untuk kemaslahatan umat, dan seterusnya. Berkorban berati memberikan yang terbaik bagi umat dengan hati yang tulus. Berkorban dengan “harapan” seperti ingin jabatan atau uang bukanlah “berkorban” tetapi ia sedang “beriklan”. Yang kedua inilah sekarang yang menggejala di lingkungan kita.

Berkurban itu manusiawi, orang yang tidak berkorban itu melanggar HAM. Berkorban dapat berujud memotong seperti memotong sebagian rizki untuk yang membutuhkan. Dalam makna ini orang yang sehat harus memotong rambut yang terus tumbuh memanjang dalam tubuhnya dan harus memotong kuku. Orang yang enggan memotong bukanlah manusia sehat, lambat laun ia akan dibilang gendruwo banaspati karena rambut dan kukunya yang kelewat panjang tidak terawat. Berkurban bisa berujud menahan seperti menahan nafsu dan perasaan seperti menahan nafsu untuk terus berkuasa, menang, dan hebat sendiri. Berkorban berati juga keberanian untuk berbagi; berbagi kesempatan, berbagi tugas, dan pengalaman.

Berkurban kepada Allah merupakan wujud hablum minallah, peribadatan kepada Allah. Berkurban berdimensi spritual dan harus berimplikasi sosial yang nyata. Dengan dasar niat karena Allah seseorang berkorban dengan menyembelih hewan kurban, memberikan uang, menyumbangkan tenaga, melahirkan pikiran kreatif, meluangkan waktu, menanam pohon, dan lainnya itu berdimensi sosial yang berarti untuk kemaslahatan umat. Berkurban yang diorientasikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi berarti, sekali lagi, ia sedang beriklan bukan berkurban. Berkurban selain untuk mendekat kepada Allah juga berarti melahirkan hubungan yang harmonis mutualistik dengan sesama (hablum minannas).

Idul Adlha jika dikaitkan dengan ibadah haji memiliki pesan agar hidup itu dinamis dengan berbagai “gerak” sebagai mana ritual ibadah haji yang kebanyakan adalah gerak seperti dari miqot saat ikhrom menuju Arofah, Muzdalifah, Mina, Jamarat, thawaf dan sa’i. Sekali lagi, dalam haji juga ada ritual memotong rambut (tahallul). Hidup, jika memakai makna haji, pasti bergerak dinamis. Idul adlha, juga menyeru manusia untuk merenung sejenak (wuquf) tentang persatuan manusia sejagad, kesucian (dengan simbol pakaian putih), ketulusan (pakaian ihram tanpa jahitan), kontinuitas jauh dari keterputusasaan (mengulang ritual 7 kali), keteraturan (tartib). Merenung untuk dilakukan. Mari kembali berkorban, mendekat kepada Allah, bersatu, rukun, dan sejahtera dengan makhluk-Nya.Wa Alla>hu a’lam bishshawa>b.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

.