Minggu, 09 Maret 2008

Penelitian Pendidikan dalam Perspektif Gender

KRITIK PENELITIAN
BERPERSPEKTIF JENDER VARIAN PENDIDIKAN*
(Pengantar Diskusi)
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag**


Tulisan ini, tidak akan mengulas lebih detail tentang penelitian pendidikan berperspektif gender untuk varian pendidikan, karena hasil penelitian penulis yang berjudul (Pendidikan Perempuan dalam Perspektif Muhammad Athiyah al-Abrasyi dan Bahasa Arab dalam Perspektif Gender) sudah ada di tangan peserta yang setelah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pendidikan Perempuan. Peserta diharapkan membaca dan mengkritisi hasil penelitian tersebut sebagai bahan diskusi. Tulisan berikut hanya mengantarkan agar perbincangan menjadi lebih hangat.

I. PENELITIAN PENDIDIKAN: SUB PENTING DALAM STUDI GENDER
Berbicara tentang gender terasa mengasyikkan dan tidak ada habis-habisnya. Pembicaraan gender terfokus pada keadilan gender dan terutama tentang perempuan. Perempuan memiliki “sudut-sudut” kehidupan yang sensitif, dilematis, dan rentan terhadap ketindakadilan jender berupa marginalisasi, subordinasi, steriotipe, kekerasan, dan beban kerja (ganda/double burden).
Tema-tema penelitian yang terkait dengan gender sudah banyak dilakukan di antaranya :
1. Dalam perspektif kitab suci yang mengkaji dan mempertanyakan dari pemahaman teks kitab suci sampai pada interpretasinya. Kajian tafsir dan Hadis sering dijumpai dalam beberapa literatur. Sebagian yang bisa disebut adalah penelitian dan tulisan Nasaruddin Umar mengenai Argumen kesetaraan gender, antropologi menstruasi, antropologi jilbab yang secara keseluruhan mempertanyakan tentang teks dan interpretasinya yang menurutnya ditemukan bias-bias jender
2. Perspektif sosial dan politik juga ada beberapa kasus yang telah mendapatkan perhatian untuk diteliti: operasi Pekat (penyakit masyarakat) yang dilakukan jajaran Polda Jawa Barat lebih menunjukkan teror untuk perempuan. Hal ini karena polisi “serampangan” dan membuat perempuan warga kota takut keluar malam karena takut dituduh PSK. Sementara laki-laki banyak juga yang nongkrong dan ugal-ugalan tetapi aman dari tuduhan negatif tersebut hanya disebabkan sulit pembuktiannya. ( Kompas, 24 September 2001). Di bidang politik keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga legislatif dan ekskutif masih kurang proporsional.
3. Fisik-biologis perempuan juga sering dijadikan “tontonan nikmat” (bagi laki-laki) hampir pada setiap “lekuk” tubuhnya terutama, menurut penelitian Tamrin Amal Tomagola (Kompas 22 Juli 2001) dari Universitas Indonesia, kaki/betis, dada, punggung, pinggul (pantat), rambut, dan bibir. Anehnya, perempuan hanyut dalam prilaku dan kenyataan keseharian ini. Hal ini dapat kita perhatikan misalnya lewat prilaku keseharian dan sinetron/film.
4. Terkait dengan perekonomian dan etos kerja seperti yang dilakukan oleh perempuan di desa-desa di Kabupaten Kuningan seperti desa Cikahuripan, Parakan, dan Karangmaja Kecamatan Lebakwangi dan di Desa Gewok dan Kutakembaran, Kecamatan Garawangi mereka mengusung batu di atas kepala, memecah batu, dan mengangkut sebakul dua bakul pasir. Ia melakukan kerja (bakti) menggantikan suami mereka yang hampir 90 persen merantau ke Jakarta. Bahkan kata Jumi (50) “kalau tidak memprek batu badan saya malah pegal”. Penghasilan mereka sehari minimal Rp. 3.000,- (78.000 – 100.000,- per bulan). Pengalihan petan (mencari kutu) dengan kerja produktif sambil ngrumpi untuk tukar informasi (Kompas, Senin, 24 September 2001). Perempuan karir yang membantu suami dalam konsep hukum Islam juga masih diperdebatkan.
5. Berhubungan dengan HAM dan HAR, ada kasus diskriminasi terhadap buruh, juga buruh migran. Untuk kasus buruh migran usaha telah dirintis oleh Komnas Perempuan bekerjasama dengan Organisasi HAM Arab yang berkedudukan di Mesir. (Kompas, Senin 24 September 2001) Kasus HAM dan nasib perempuan di propinsi Nangroe Aceh Darussalam pada masa DOM, perempuan Timor Timur, dan nasib perempuan tatkala ada kerusuhan. Hasil investigasi dan temuan sementara pada kasus-kasus seperti ini sulit diungkap ke permukaan karena kelangkaan bukti dan terkadang saksi tidak mau mengungkap karena malu atau takut. Poligami juga menjadi tema menarik dalam studi gender akhir-akhir ini dan kontrofersial.
6. Terkait dengan kesehatan reproduksi dominasi laki-laki atas perempuan terlihat juga pada kasus aborsi yang selalu dikembalikan pada perempuan padahal faktor-faktor penting di dalamnya di antaranya kegagalan alat kontrasepsi, minimnya persediaan alat-alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak diinginkan, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja, dan ketidak mampuan secara ekonomi dan psikologis juga karena ada “industri prostitusi”. Bukankah faktor-faktor ini ada dalam relasi perempuan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil yang mempunyai andil besar dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan dikonstruksi dalam masyarakat di mana semangat egaliter, kederajatan laki-laki dan perempuan semakin dikembangkan (Kompas, 29 Oktober 2001).
7. Berkaitan dengan pendidikan, perbincangan dan penelitian tentang kurikulum (buku ajar, kitab kuning), pendidik (guru, Kyai), peserta didik (siswa, mahasiswa, santri), dan metode dan strategi pembelajarannya sudah sering dilakukan dan sampai pada kesimpulan bahwa bias-bias gender banyak ditemukan karena kurangnya sensitifitas gender sehingga menimbulkan ketidak keadilan gender.

Bagi penulis, ketidak adilan gender terjadi karena adanya konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai “second sex/manusia kedua”. Relasi gender yang tidak sehat seperti ini berproses dan berlangsung cukup panjang sehingga membutuhkan waktu untuk mengurai. Solusi yang bisa ditawarkan adalah dengan melakukan proses pendidikan yang berkeadilan gender, pendidikan yang dikonstruk berdasarkan hasil penelitian pendidikan yang berperspektif gender. Dengan pendidikan yang memadai kualitas SDM perempuan bisa ditingkatkan sehingga perempuan mampu melakukan bargaining position diberbagai bidang kehidupan.
Pendidikan diartikan secara luas yang meliputi transfer of knowledge and values di dalam keluarga, lembaga pendidikan (sekolah dan luar sekolah), dan masyarakat termasuk berbagai media baik elektronik maupun cetak.

II. PENELITIAN DENGAN ANALISIS JENDER
Analisis dan teori sosial dilahirkan dalam sejarah untuk memerangi ketidak adilan. Meski demikian ada juga yang mempersoalkan metodologi dan epistemologi (positivisme) sebagai salah satu sumber ketidak adilan atau lebih menjadi alat untuk melanggengkan ketidak adilan.
Analisis jender merupakan satu analis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme untuk memahami realitas sosial.
Sebagai teori, tugas utama analisis jender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya, tetapi analisis jender dilakukan untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada dan bukan menggantikannya. (Mansour Fakih, Analisis Gender & Tarnsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996 h. xii-xiii).

III. MENGAPA MELALUI PENDIDIKAN
Kasus-kasus di atas apabila ditelusuri lebih jauh berawal dari minimnya pendidikan terhadap perempuan. Karena perlakuan terhadap perempuan yang rendah mengakibatkan kualitas SDM juga terbatas. Dengan keterbatasan ini daya tawar perempuan secara umum terjadi.
Sebagai ilustrasi perlakuan diskriminatif terhadap perempuan bermula dari keluarga patriarkhis sebagaimana diceritakan Nawal Sa’dawi dalam Qadlaya Mar’ah wa al-Fikr wa al-Siyasah (Maktabah Madbuli, Kairo, 2001, hlm. 16). Ia menceritakan tentang identifikasi diri anak perempuan pada ayahnya yang insinyur, pilot, dan presiden atau karena ayahnya. Perempuan tidak bermimpi seperti ibunya. Anak laki-laki dan perempuan boleh sama tetapi, demikian lanjut Nawal semua impian untuk menjadi pencipta dan pemeran utama ada pada setiap anak, namun bagi anak perempuan impian itu benar-benar hanya sebuah impian, dan mereka harus rela menjadi seperti ibunya yang tak pernah terbersit dalam impian kecilnya.
Bagi anak yang sedang dalam proses belajar tentu memiliki harapan dan cita-cita tetapi realitas sosial sering membuat mereka luluh dan malas studi. Karenanya di kalangan kita ada pernyataan “untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi toh nanti akan kembali ke dapur, sumur, kasur”. Padahal tugas-tugas perempuan baik tugas domistik maupun publik harus didasari oleh keilmuan, pengalaman, dan pendalaman yang mereka peroleh dari setiap gerakan kehidupannya sebagai manusia. Tanpa bekal yang memadai bagaimana mungkin perempuan dapat menjadi manusia utuh seperti yang dikehendaki oleh ajaran agama.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah (al-Markaz al-Tsaqafi al’Arabi, Bairut, 2000, h. 84-85) mengungkapkan, “Pengekangan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik rumah tangga saja adalah satu hal yang mengandung kesalahan yang sangat fatal, karena jika tanggungjawab atas perkembangan generasi muda adalah terutama dimulai dari keluarga yang selanjutnya (sebagian) dibebankan pada perempuan – sebagai ibu – maka pengekangan perempuan dalam urusan rumah saja dengan sendirinya menghilangkan satu faktor atau unsur terpenting bagi proses pendidikan itu sendiri, yaitu sensitivitas sosial. Hal ini akan menghalangi perempuan mendapatkan kesempatan kedewasaan secara aktif dan bebas, yaitu dengan cara berinteraksi langsung dengan segala fenomena di masyarakat. Sebaliknya jika perempuan hanya di rumah mereka akan mendapatkan proses ini dengan cara pasif dari media yang menemani mereka, baik media visual maupun nonvisual. Dan dengan sendirinya tanggungjawab pendidikan terhadap generasi penerus berpindah tangan kepada instansi yang terkait dengan media tersebut, dalam hal ini tidak pernah sama sekali disadari. Sedang perempuan telah jauh menuntut ilmu dan selanjutnya hanya berperan dalam Rumat Tangga, hal ini akan mematikan ilmu yang didapatkannya dan kesia-siaan dari pembelajarannya, karena ilmu yang dipelajari memerlukan implementasi yang perlu terus mendapatkan pembaharuan yang aktif (Kompas 29 Oktober 2001).
Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif jender harus dimulai dari peningkatan SDM dan menyadarkannya bahwa peran-peran strategis akan mampu dilaksanakan dengan baik jika kualitas perempuan tinggi sehingga kehormatan sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki dapat diperoleh tanpa pertentangan dan tidak menimbulkan kerugian kedua belah pihak.
Dasar bahwa perempuan memiliki kewajiban dan hak untuk sejajar di sisi Allah dan makhluk-Nya sudah menjadi keyakinan setiap Muslim walaupun realitasnya masih jauh dari prinsip dasar ajaran agama. Untuk itu upaya sosialisasi nilai ajaran dan prinsip-prinsipnya perlu mendapatkan perhatian yang memadai.

IV. STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Peran perempuan memang dilematis. Di satu sisi mereka dituntut memerankan peran-peran domestik sebagai pendidik anak, pendamping suami tetapi pada saat yang sama ia juga harus memerankan peran-peran publik.
Agar perempuan mampu mengemban “peran ganda” tanpa menimbulkan berbagai efek negatif maka ia harus meningkatkan kualitas SDM dan skilnya didukung oleh laki-laki. Sebab dalam kehidupan ini banyak sekali tantangan dan pilihan, untuk itu perlu prioritas-prioritas tatkala ia harus melangkah. Untuk kepentingan kebahagiaan hidup tersebut perempuan dituntut cerdas, berwawasan dan berpengalaman. Di samping itu perempuan dituntut untuk memahami ajaran agama dalam perspektif jender dan melakukan pemberdayaan bersama laki-laki agar keadilan jender dapat ditegakkan dan menjadi relitas sehari-hari.
Studi jender bertujuan untuk menciptakan keadilan jender, untuk itu setiap jenis kedlaliman dan ketidak adilan yang harus diberantas. Ketidakadilan jender bisa “dibunuh” dengan sikap santun, arif, dan hikmah. Sikap permusuhan jender bisa “dibasmi” dengan pengertian dan keadilan yang membuat orang (laki-laki ataupun perempuan) jadi susah untuk melakukan diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap orang (atau jenis) lainnya dan itu, menurut penulis, harus dilakukan melalui proses kependidikan dalam arti yang seluas-luasnya.
Peningkatan SDM dengan pendidikan perempuan di antaranya sangat signifikan dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak (juga ibu/perempuan itu sendiri). Demikian dikatakan oleh Nicole Mellinton dan Lisa Cameron yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (Desember 1999). Dalam pengalaman sehari-hari kita temukan bahwa pendidikan berperan penting dalam menaikkan kesejahteraan seseorang. Pendidikan yang lebih baik memberikan upah yang lebih baik dibandingkan mereka yang pendidikannya kurang dan manfaat positif lainnya
Di antara hal-hal praktis yang bisa dilakukan di samping proses pemberdayaan yang dilakukan secara kontinue lewat pendidikan adalah:
1. Memberlakukan sistem kuota (30% misalnya) yang mampu merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai langkah awal dengan memberikan tekanan pada opportunity atau kesempatan dan mementingkan kualifikasi sebagai dasar pertimbangan untuk membuat persaingan jadi fair.
2. Mempertimbangkan One door policy dalam setiap pengambilan kebijakan, agar kebijakan yang diambil tidak mengensampingkan pertimbangan relasi jender.
3. Melakukan affirmative action. Untuk memberikan perempuan kesempatan yang lebih besar bisa menikmati pendidikan, pemerintah harus menjalankan perannya secara aktif dengan pemberian beasiswa yang mengutamakan anak perempuan juga bisa menjamin tidak melebarnya kesenjangan jender dalam pendidikan. Tentu saja, affirmative action ini akan selalu ditinjau agar laki-laki dan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Affirmative action merupakan tindakan pro-aktif untuk menghapuskan diskriminasi yang berbasis jender dan kelas. Pemerintah telah mengeluarkan UU nomor 21 tahun 1999 mengenai Penghapusan diskriminasi perempuan dalam pekerjaan dan jabatan.
4. Pembentukan jaringan. Perempuan dapat mempelopori upaya pembenahan, dengan cara membentuk jaringan kelompok konsumen misalnya di sektor air minum, listrik dan lain-lain.
5. Membuat gerakan perempuan yang mampu melihat spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif, secara sadar atau tidak sadar, kelompok atau organisasi yang memberikan tekanan terhadap penghapusan aspek subordinasi jender yang berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti didasarkan atas prefensi kelas, ras, etnis, usia, dan seks. Gerakan ini membangun identitas mereka dalam tindakan dan dalam merefleksikan pengalaman penindasannya. Gerakan sosial bisa berupa jaringan yang tidak tampak dari kelompok-kelompok kecil yang muncul di tengah kehidupan sehari-hari. Manusia politik the personal is political. Tidak ada satu pun hal di ruang privat yang tidak bersifat politis dan bahwa apa yang didefinisikan sebagai kepentingan pribadi senantiasa berkaitan dengan kepentingan umum di ruang publik., Ada “politik susu” dan “politik nasi bungkus” seperti demo (SIP) Suara Ibu Peduli di Bundaran Hotel Indonesia pada Februari 1998 lalu dan saat demonstrasi penurunan Presiden Soeharto. Yang terpenting adalah bagaimana perempuan bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan, di samping memperoleh kesehatan dan pendidikannya secara layak.
6. Membuat perencanaan yang sensitif jender dengan dasar data, kemudian membuat anggaran, program atau proyek misalnya data jumlah perempuan buta huruf di Jawa yang dua kali lebih tinggi dari jumlah buta huruf pada laki-laki

V. SEKILAS KRITIK
Ada beberapa kritik terkait dengan penelitian pendidikan dalam perspektif gender di antaranya:
1. Penelitian pendidikan banyak yang dilakukan dengan masalah yang kurang fokus dan kurang komprehensif karena sebagian di antaranya karena mengejar waktu sehingga kurang tajam dan menggigit.
2. Sering terjadi pengulangan dengan variasi tempat atau lokasi penelitian.
3. Hasil Penelitian pendidikan dan penelitian sosial pada umumnya dalam perspektif gender dirasa kurang operasional dan belum mampu menjawab tantangan pendidikan ke depan.


Lampiran I
METODE PENELITIAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ATHIYAH AL-ABRASYI

1. Sumber Data

a. Sumber data primer penelitian ini adalah karya-karya Muhammad Athiyah Al-Abrasyi khususnya kitab al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, diterbitkan di Beirut, Dar al-Fikr, tt., dan buku-buku yang membahas tentang pendidikan, gender dan feminisme.
b. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku lain yang berkaitan dengan tema dan hasil diskusi dengan berbagai pihak yang menguasai dan menggeluti bidang yang sedang penulis teliti.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Library research, dengan teknik penelusuran pelbagai literatur yang ditulis atau yang berkaitan dengan Athiyah, khususnya yang berkaitan pendidikan perempuan.

3. Metode Analisa Data

Metode yang dipakai dalam menganalisis data yang terkumpul adalah metode analisa kualitatif dengan menekankan pada analisa deduktif-induktif-komparatif. Metode deduktif digunakan guna memperoleh identifikasi detail pemikiran Athiyah dan pemikir lain tentang pendidikan perempuan. Metode induktif digunakan untuk mendapatkan peta pemikiran ahli pendidikan dan feminis tentang tema yang diangkat. Adapun metode komparatif berguna untuk membandingkan antara pemikiran Athiyah dengan pemikir-pemikir tentang pendidikan perempuan lain yang relevan.
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan teologis-filosofis. Dalam arti pemikiran al-Abrasyi yang berasal dari doktrin keagamaan tersebut dianalisa dan diinterpretasi dengan melihat latar belakang sosio-kultural dan politik kapan dan di mana pemikiran itu muncul sekaligus dengan menggunakan pisau bedah logika dan filsafat sehingga nilai rasionalitas dan obyektifitas dapat diperoleh. Sedang untuk analisa isi (content analysis) menggunakan metode hermeneutik yaitu kajian filosofis tentang bagaimana melakukan interpretasi di balik ungkapan bahasa Athiyah.


















Lampiran II
METODE PENELITIAN BAHASA ARAB DALAM PERSPEKRIF JENDER

Karena penelitian merupakan penelitian lanjutan, data diperoleh dari hasil penelitian, buku atau kitab yang sebelumnya telah mengkaji tentang kata dan struktur bahasa Arab dan kitab-kitab Nahw-sharf. Dari data awal tersebut kemudian dikatagorisasi dan diklasifikasikan berdasarkan metode analisis jender dan sensitifitas gender yang dimiliki peneliti. Dari data yang telah terkumpul kemudian penulis lakukan analisa semantik untuk mendapatkan kedudukan dan pengertian yang tepat dan dilakukan pendekatan philopical history dan sosioliguistik untuk mendapatkan historical backgraund-nya.
Kemudian untuk mengetahui makna dan kontekstualisasinya digunakan metode hermeneutik sebuah teory of the interpretation (E. Sumargono, 1995:24) untuk menggali pesan-pesan yang berada di balik ungkapan bahasa. Atau dengan kata lain hermeneutik yang merupakan filsafat tentang bagaimana melakukan tafsir atau filsafat interpretasi tersebut difungsikan untuk mengungkap makna yang terdapat dalam bahasa Arab. Metode analisis ini dipakai untuk melengkapi teori pembuktian di atas agar aman dari penyusupan yaitu dengan melakukan pemahaman atas teks yang dikaitkan dengan situasi pembaca (Jurnal Ulumul Qur’an, 1992: 120, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 16 dan Komaruddin Hidayat, 1996: 24). Setelah itu untuk memantapkan pemahaman dilakukan kajian comparative linguistics (‘ilm al-lughah al-muqaran).
* Disampaikan pada acara Workshop Nasional Metodologi Penelitian Berperspektif Jender pada tanggal 12 – 16 Desember 2003 di Hotel Ardi Kencana Baturraden Purwokerto.
** Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

Pengabdian Masyarakat dalam Perspektif Gender

PENGABDIAN MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF JENDER *
Oleh. Dr. H. Muhammad Roqib, M.Ag **


I. PENDAHULUAN :

Berbicara tentang perempuan terasa mengasikkan tidak tidak ada habis-habisnya. Pembicaraan tentang perempuan selalu menarik di samping perempuan memang “biasanya” menarik (karena dianggap indah bagi laki-laki dan perempuan) karena perempuan memiliki “sudut-sudut” kehidupan yang sensitif yang selama ini dianggap rentan terhadap ketindakadilan jender berupa marginalisasi, subordinasi, steriotipe, kekerasan, dan beban kerja (ganda/double burden). Di sisi fisik-biologis perempuan juga sering dijadikan “tontonan nikmat” (bagi laki-laki) hampir pada setiap “lekuk” tubuhnya terutama, menurut penelitian Tamrin Amal Tomagola (Kompas 22 Juli 2001)dari Universitas Indonesia, kaki/betis, dada, punggung, pinggul (pantat), rambut, dan bibir. Anehnya, perempuan hanyut dalam prilaku dan kenyataan keseharian ini. Hal ini dapat kita perhatikan misalnya lewat prilaku keseharian dan sinetron/film.
Model prilaku demikian dianggap oleh sebagian orang sebagai bagian dari kehidupan perempuan yang suka membuat laki-laki “megap-megap atau ngos-ngosan” nafsu seksualnya. Padahal hal ini memiliki rentetan siklus kehidupan yang panjang sebagai konstruksi budaya manusia dari waktu ke waktu.
Tulisan berikut tidak akan membicarakan teori-teori tentang studi jender yang “dakik-dakik” tetapi lebih terfokuskan pada pencaharian alternatif konsep pengembangan pengabdian masyarakat yang tidak bias jender dan selalu berada di atas dasar keadilan jender. Untuk itu tulisan ini terkesan “apa adanya”. Walaupun demikian, tulisan ini diharapkan mampu menjadi umpan untuk melakukan diskusi yang lebih serius guna memperoleh suatu format baru di bidang pengabdian masyarakat yang akan dilaksanakan oleh STAIN Purwokerto.
II. ANALISIS JENDER
Analisis dan teori sosial dilahirkan dalam sejarah untuk memerangi ketidak adilan. Meski demikian ada juga yang mempersoalkan metodologi dan epistemologi (positivisme) sebagai salah satu sumber ketidak adilan atau lebih menjadi alat untuk melanggengkan ketidak adilan.
Analisis jender merupakan satu analis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme untuk memmahami realitas sosial.
Sebagai teori, tugas utama analisis jender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktek hubungan baru antara laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya, tetapi analisis jender dilakukan untuk menambah, melengkapi analisis sosial yang telah ada dan bukan menggantikannya. (Mansour Fakih, Analisis Gender & Tarnsformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996 h. xii-xiii).

III. PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBERDAYAAN
Nawal Sa’dawi dalam Qadlaya Mar’ah wa al-Fikr wa al-Siyasah (Maktabah Madbuli, Kairo, 2001, hlm. 16) menceritakan tentang identifikasi diri anak perempuan pada ayahnya yang insinyur, pilot, dan presiden atau karena ayahnya. Perempuan tidak bermimpi seperti ibunya. Anak laki-laki dan perempuan boleh sama tetapi, demikian lanjut Nawal semua impian untuk menjadi pencipta dan pemeran utama ada pada setiap anak, namun bagi anak perempuan impian itu benar-benar hanya sebuah impian, dan mereka harus rela menjadi seperti ibunya yang tak pernah terbersit dalam impian kecilnya.
Bagi anak yang sedang dalam proses belajar tentu memiliki harapan dan cita-cita tetapi realitas sosial sering membuat mereka luluh dan malas studi. Karenanya di kalangan kita ada pernyataan “untuk apa perempuan belajar tinggi-tinggi toh nanti akan kembali ke dapur, sumur, kasur”. Padahal tugas-tugas perempuan baik tugas domistik maupun publik harus didasari oleh keilmuan, pengalaman, dan pendalaman yang mereka peroleh dari setiap gerakan kehidupannya sebagai manusia. Tanpa bekal yang memadai bagaimana mungkin perempuan dapat menjadi manusia utuh seperti yang dikehendaki oleh ajaran agama.
Nasr Hamid Abu Zaid dalam Dawair al-Khauf Qira’ah fi Khithab al-Mar’ah (al-Markaz al-Tsaqafi al’Arabi, Bairut, 2000, h. 84-85) Mengungkapkan, “Pengekangan perempuan untuk berperan dalam sektor domestik rumah tangga saja adalah satu hal yang mengandung kasalahan yang sangat fatal, karena jika tanggungjawab atas perkembangan generasi muda adalah terutama dimulai dari keluarga yang selanjutnya (sebagaian) dibebankan pada perempuan – sebagai ibu – maka pengekangan perempuan dalam urusan rumah saja dengan sendirinya menghilangkan satu faktor atau unsur terpenting bagi proses pendidikan itu sendiri, yairtu sensitivitas sosial. Hal ini akan menghalangi perempuan mendapatkan kesempatan kedewasaan secara aktif dan bebas, yaitu dengan cara beriteraksi langsung dengan segala fenomena di masyarakat. Sebaliknya jika perempuan hanya di rumah mereka akan mendapatkan proses ini dengan cara pasif dari media yang menemani mereka, baik media visual maupun nonvisual. Dan dengan sendirinya tanggungjawab pendidikan terhadap generasi penerus berpindah tangan kepada instansi yang terkait dengan media tersebut, dalam hal ini tidak pernah sama sekali disadari. Sedang perempuan telah jauh menuntut ilmu dan selanjutnya hanya berperan dalam Rumat Tangga, hal ini akan mematikan ilmu yang yang didapatkannya dan kesia-siaan dari pembelajarannya, karena ilmu yang dipelajari memerlukan implementasi yang perlu terus mendapatkan pembaharuan yang aktif.(Keterangan lebih lanjut baca, Kompas 29 Oktober 2001).
Pengabdian pada masyarakat dalam perspektif jender harus dimulai dari peningkatan SDM dan menyadarkannya bahwa peran-peran strategis akan mampu dilaksanakan dengan baik jika kualitas perempuan tinggi sehingga kehormatan sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki dapat diperoleh tanpa pertentangan dan tidak menimbulkan kerugian kedua belah pihak.
Dasar bahwa perempuan meiliki hak untuk sejajar di sisi Allah dan makhluk-Nya sudah menjadi keyakinan setiap Muslim walaupun realitasnya masih jauh dari prinsip dasar ajaran agama. Untuk itu upaya sosialisasi nilai ajaran dan prisnsip-prinsipnya perlu mendapatkan perhatian yang memadai.

IV. LIMA PRINSIP UNIVERSAL (AL-KULLIYAT AL-KHAMS)
Ada lima prinsip universal sebagai tujuan syari’at Islam. Lima hal tersebut menyangkut seluruh kehidupan manusia baik laki-laki maupun perempuan.

NO
PRINSIP UNIVERSAL
ARTIKULASI PRINSIP
UNTUK KEADILAN JENDER
I





II



III




IV


V
Menjaga Agama (Hifdz al-Din)




Menjaga Jiwa / Kelangsungan Hidup (Hifdz al-Nafs)

Menjaga Akal/Rasio (Hifdz al-Aql )



Menjaga Harta (Hifdz al-Mal)

Menjaga Keturunan (Hifdz al-Nasl)

Menjamin kebebasan dalam pengembangan wacana pemikiran keagamaan dan mengekspresikannya dalam hubungan horisontal maupun vertikal. Tidak ada diskriminasi kadar keagamaan dan kebenaran (misalnya perempuan itu memang dari “sononya” bengkok atau agen setan).
Menjaga kesehatan ibu tatkala menstrusi, hamil, melahirkan dan menyusui, serta memenuhi kebutuhan dhahir-bathinnya agar anak sehat fisik-psikisnya.

Menjamin keamanan dan kehormatan individu dan kelompok sosial untuk berfikir kreatif dan bebas berekspresi dalam berpolitik, mengajar, berkomunikasi, dan menciptakan opini

Menjamin setiap individu dalam kepemiliki harta dan properti.

Menjamin kelangsungan keturunan (dengan tidak aborsi) walaupun keturunan tersebut merupakan hasil perzinahan dan atau perkosaan atau sebab perbedaan SARA, tidak memaksakan alat kontrasepsi dan sterilasasi. Menjamin kehormatan dan profesi siapa pun.




V. CONTOH KASUS BIDANG GARAP PENGABDIAN
Ada beberapa kasus terkait dengan pemberdayaan perempuan di antaranya; Operasi Pekat (penyakit masyarakat) yang dilakukan jajaran Polda Jawa Barat lebih menunjukkan teror untuk perempuan. Hal ini karena polisi “serampangan” dan membuat perempuan warga kota takut keluar malam karena takut dituduh PSK. Sementara laki-laki banyak juga yang nongkrong dan ugal-ugalan tetapi aman dari tuduhan negatif tersebut hanya disebabkan sulit pembuktiannya. ( Kompas, 24 September 2001)
Etos kerja. Seperti yang dilakukan oleh perempuan di desa-desa di Kabupaten Kuningan seperti desa Cikahuripan, Parakan, dan Karangmaja Kecamatan Lebakwangi dan di Desa Gewok dan Kutakembaran, Kecamatan Garawangi mereka mengusung batu di atas kepala, memecah batu, dan mengangkut sebakul dua bakul pasir. Ia melakukan kerja (bakti) menggantikan suami mereka yang hampir 90 persenmerantau ke Jakarta. Bahkan kata Jumi (50) “kalau tidak memprek batu badan saya malah pegal”. Penghasilan mereka sehari minimal Rp. 3.000,- (78.000 – 100.000,- per bulan). Pengalihan petan (mencari kutu) dengan kerja produktif sambil ngrumpi untuk tukan informasi. (Kompas, Senin, 24 September 2001).
Menolak diskriminasi dengan melakukan perlindungan terhadap buruh juga buruh migran. Untuk kasus buruh migran usaha telah dirintis oleh Komnas Perempuan dengan bekerjasama dengan Organisasi HAM Arab yang berkedudukan di Mesir. (Kompas, Senin 24 September 2001)
Dominasi laki-laki atas perempuan terlihat juga pada kasus aborsi yang selalu dikembalikan pada perempuan padahal faktor-faktor penting di dalamnya di antaranya kegagalan alat kontrasepsi, minimnya persediaan alat-alat kontrasepsi, kehamilan yang tidak diinginkan, ketakutan akan hukuman orang tua, kehamilan remaja, dan ketidakmampuan secara ekonomi dan psikologis juga karena ada “industri prostitusi”.. Bukankah faktor-faktor ini ada dalam relasi perempuan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil yang mempunyai andil besar dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan dikonstruksi dalam masyarakat di mana semangat egaliter, kederajatan laki-laki dan perempuan semakin dikembangkan. (Kompas, 29 Oktober 2001)
Ketidaksetaraan jender yang merupakan akibat perlakuan berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dari ketika masih dalam kandungan, masa kanak-kanak, dan remaja, dan sebagai manusia dewasa dibenarkan dalam keluarga dan masyarakat. Padahal tujuan pembangunan yang lebih besar adalah pencapaian keadilan, dan keadilan bagi semua.

VI. TEMA-TEMA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

1. Pemikiran keagamaan meliputi a. Memperjelas tentang kedudukan perempuan dan ayat-hadis yang dianggap missoginis. b. Perempuan antara khalifah dan presiden, c. Konsep mahram, d. Konsep haidz/menstruasi terakit dengan ibadah dan implikasi sosialnya (antropologi dan sosiologi menstrusi), e. Antropologi jilbab, f. Aurat (dan susra perempuan), g. Nusuz (durhaka dan perempuan yang menentang keinginan suami untuk berhubungan seks), h. Istri mencerai suami, i. Nikah sirri (nikah ala Dawudz Dhahiri), j. Nikah mut’ah, k. Sex education.
2. Ekonomi meliputi a. Beban kerja (double burden), b. Penghargaan kerja (produksi atau reproduksi), c. Gaji tenaga kerja, d. Pengiriman TKW dan jaminan keamanannya e. Keterampilan dan keamanan tenaga kerja, dan lain-lain.
3. Politik-hukum meliputi; a. HAM-HAR, b. Kepemimpinan perempuan dll.
4. Sosial-Budaya meliputi a. seni suara, lukis, seni panggung (sinetron/film), b. bela diri, olah raga, senam (body language), c. Human relation, d. tradisi, e. arsitektur (arkeologi), f. Media massa, dan lain-lain.

VII. STRATEGI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
1. Memberlakukan sistem kuota (30 persen misalnya) yang mampu merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai langkah awal dengan memberikan tekanan pada opportunity atau kesempatan dan mementingkan kualifikasi sebagai dasar pertimbangan untuk membuat perasaingan jadi fair..
2. One door policy, agar kebijakan yang diambil tidak mengenyampingkan pertimbangan relasi jender.
3. Peningkatan SDM. Sebab, pendidikan perempuan (ibu) di antaranya sangat signifikan dalam menurunkan angka kematian bayi dan anak (juga ibu/perempuan itu sendiri). Demikian dikatakan oleh Nicole Mellinton dan Lisa Cameron yang dimuat dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies (Desember 1999). Dalam pengalaman sehari-hari kita temukan bahwa pendidikan berperan penting dalam menaikkan kesejahteraan seseorang. Pendidikan yang lebih baik memberikan upah yang lebih baik dibandingkan mereka yang pendidikannya kurang.
4. Melakukan affirmative action. Untuk memberikan perempuan kesempatan yang lebih besar bisa menikamti pendidikan, pemerintah harus menjalankan perannya secara aktif dengan pemberian beasiswa yang mengutamakan anak perempuan juga bisa menjamin tidak melebarnya kesenjangan jender dalam pendidikan. Tentu saja, affirmative action ini akan selalu ditinjau agar laki-laki dan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan. Affirmative action merupakan tindakan proaktif untuk mengahapuskan diskriminasi yang berbasis jender dan kelas. Pemerintah telah meneluarkan UU nomor 21 tahun 1999 mengenai penghapusan diskriminasi perempuan dalam pekerjaan dan jabatan.
5. Pembentukan jaringan. Perempuan dapat mempelopori upaya pembenahan, dengan cara membentuk jaringan kelompok konsumen misalnya di sektor air minum, listrik dan lain-lain.
6. Membuat gerakan perempuan yang mampu melihat spektrum menyeluruh dari perbuatan individu atau kolektif, secara sadar atau tidak sadar, kelompok atau organisasi yang memberoikkan tekanan terhadap penghapusan aspek subordinasi jender yang berjalinan dengan penindasan lainnya, seperti didasarkan atas prefensi kelas, ras, etnis, usia, dan seks. Gerakan ini membangun identitas mereka dalam tindakan dan dalam merefleksiukan pengalaman penindasannya. Gerakan sosial bisa berupa jaringan yang tidak tampak dari kelompok-kelompok kecil yang muncul di tengah kehidupan sehari-hari. Manusia politik the personal is political. Tidak ada satu pun hal di ruang privat yang tidak bersifat politis dan bahwa apa yang didefinisikan sebagai kepentingan pribadsi senantiasa berkaitan dengan kepentingan umum di ruang publik., Ada “politik susu” dan “politik nasi bungkus” seperti demo (SIP) Suara Ibu Peduli di Bundaran Hotel Indonesia pada Februari 1998 lalu dan saat demonstrasi penurunan Presiden Soeharto. Yang terpenting adalah bagaimana perempuan bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan, di samping memperoleh kesehatan dan pendidikannya secara layak.
7. Membuat perencanaan yang sensitif jender dengan dasar data, kemudian membuat anggaran, kemudian program atau proyek misalnya data jumlah data perempuan buta huruf di Jawa yang dua kali lebih tinggi dari jumlah buta huruf pada laki-laki
* Tulisan ini merupakan refleksi mentah dan ringan sebagai “sentilan” pada Diklat Pengabdian STAIN Purwokerto tanggal 14 Nopember 2001.
** Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

Peta Keagamaan Banyumas (Jurnal JPA)

PETA KEAGAMAAN MASYARAKAT BANYUMAS
(Studi Eksploratif di Wilayah Kecamatan Purwokerto Utara)
Oleh. Dr. H. Muhamad Roqib, M.A.g.
(Direktur Pascasarjana STAIN Purwokerto dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa An Najah Purwokerto)


Abstrak
Suatu hal yang amat penting untuk dilakukan seseorang atau organisasi sebelum mengambil kebijakan adalah melakukan pemetaan. Konflik sosial keagamaan seringkali muncul di masyarakat disebabkan, antara lain, oleh pemetaan tentang sosial-keagamaan yang salah, sehingga kebijakan yang diambil oleh decision maker menjadi kurang tepat bahkan berimplikasi negatif.
Penelitian ini mencoba membidik peta keagamaan masyarakat Banyumas dengan sampel penelitian kecamatan Purwokerto Utara dengan pertimbangan wilayah ini memiliki tingkat dinamika yang relatif berbeda dengan wilayah lain, terutama dalam bidang pendidikan dan keagamaan, pluralitas penduduk, terdapat dua (2) perguruan tinggi negeri STAIN dan UNSOED serta SPN (Sekolah Polisi Negara) sehingga cukup representatif untuk menggambarkan Kabupaten Banyumas.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana potret keagamaan di wilayah ini meliputi SDM dan fasilitas pengembangan keagamaannya serta prospeknya.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa potret keagamaan masyarakat Purwokerto Utara memiliki karakteristik tersendiri, memiliki potensi besar tetapi belum dikembangkan. Indikator potensi tersebut adalah adanya STAIN, Pesantren al-Hidayah, pesantren Darul Abrar di Kelurahan Purwanegara, SPN (Sekolah Polisi Negara) yang memiliki Binroh dan Universitas Jendral Sudirman dengan UKI (Unit Kerohanian Islamnya). Di lain sisi ada kelompok pengajian dan tradisi keagamaan. Dari tujuh (7) kelurahan yang ada di Kecamatan Purwokerto Utara, Kelurahan Purwanegara merupakan kelurahan yang paling kental nuansa relegiusitasnya sedang kelurahan lainnya potensi dan aktifitas keagamaannya cukup baik dengan variasi kegiatan dan kendala yang beragam di antarnya fasilitas yang kurang memadai dan SDM yang kurang merata. Secara keseluruhan data menunjukkan bahwa prospek perkembangan keagamaan cenderung stabil dan kurang menunjukkan potensi untuk meningkat dengan cepat karena lemahnya perencanaan program dan minimnya koordinasi (peran organisasi).


Kata Kunci :

Peta Keagamaan, Potensi Wilayah, Strategi, Pengembangan Keagamaan, Pendidikan dan Dakwah.

I. Pendahuluan
Sudah menjadi kodrat alam (sunnatullah), jika manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial (zoon politicon), harus senantiasa mengerti dan memahami tentang seluk beluk kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya. Mengetahui kondisi kehidupan sosial masyarakat di lingkungan sekitar merupakan bukti yang menunjukkan akan kepekaan dan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Hal tersebut juga akan menjadikan dirinya lebih gampang untuk melakukan adaptasi, komunikasi dan selanjutnya berinteraksi. Selain itu, mengenali kondisi kehidupan lingkungan secara baik akan mempermudah dalam melakukan sosialisasi diri, ide, dan gagasan yang dimilikinya. Tentu saja akseptabilitas yang merupakan salah satu ukuran penting bagi keberhasilan dalam bermasyarakat akan lebih mudah terwujud. Demikian pula, mengetahui berbagai kondisi obyektif sebuah wilayah yang terkait dengan aspek geografis maupun sosiologis (sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama) menjadi sangat signifikan bagi upaya pengembangan keagamaan dalam masyarakat, karena paling tidak akan memberi informasi yang sangat memadai sebagai dasar acuan dalam menentukan langkah pengembangan yang lebih tepat.
Karena itu, penelitian tentang peta kehidupan keagamaan jelas akan memberi makna signifikan bagi penetapan kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong semangat keagamaan dan peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat terkait. Kebijakan – kebijakan yang diambil akan benar-benar selaras dengan tuntutan kebutuhan dan realitas masyarakat yang ada, sehingga akan memberi manfaat riil bagi kemajuan dan peningkatan moralitas masyarakatnya.
STAIN Purwokerto, secara geografis maupun administratif berada di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara, dan secara sosiologis senantiasa berhubungan secara langsung maupun tidak dengan komunitas di wilayah tersebut. Bagi civitas STAIN, mengetahui kondisi obyektif wilayah itu merupakan keniscayaan, karena akan menjadikan hubungan, komunikasi dan interaksi dapat dilakukan secara lebih take and give. Tentu menjadi ironis, jika civitas STAIN tidak mengetahui kondisi obyektif masyarakat di wilayah Purwokerto Utara, lebih khusus lagi kondisi obyektif kehidupan keagamaan yang berkembang di masyarakat tersebut, di mana civitas STAIN berada dan beraktivitas/ berkiprah di dalamnya. Sebenarnya, dengan mengetahui berbagai tradisi, kebiasaan, sifat, kecenderungan, karakter bahkan potensi pembangunan maupun konflik keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat dalam wilayah tersebut, akan menjadikan civitas STAIN lebih mudah dalam melakukan interaksi maupun komunikasi sosial, atau dapat mempermudah dalam merancang strategi atau model penanaman nilai-nilai keagamaan yang menjadi misi utama STAIN, khususnya dalam masyarakat tertentu di wilayah tersebut.
Hal lain yang perlu diketahui, bahwa Kecamatan Purwokerto Utara juga memiliki banyak spisifikasi dan potensi seperti didiami oleh banyak tokoh-tokoh penting, Perguruan Tinggi, dan SPN yang sering menjadi tempat kunjungan. Ada juga hal yang unik, bahwa setiap bulan ‘Idhul Adha, khususnya di Kelurahan Purwanegara, selalu menjadi perhatian. Di salah satu masyarakat yang termasuk dikategorikan abangan (menurut klasifikasi Geertz), meski belum dapat diketahui motivasinya secara jelas, ternyata mereka memiliki semangat berkorban yang cukup tinggi.
Dalam konteks seperti ini, memahami secara mendalam atas kondisi obyektif masyarakat di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara, baik yang berkaitan dengan kondisi geografis, ekonomi, politik, sosial, budaya bahkan kehidupan keagamaan menjadi amat signifikan bagi kelancaran pelaksanaan program-program utama STAIN sendiri juga program pemerintah khususnya yang terkait dengan kebijakan pengembangan keagamaan dan lainnya.
Agama (khususnya) Islam di Indonesia telah menjadi darah dan daging bagi sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga sadar atau pun tidak berbagai aspek kehidupan masyarakat telah dijiwai oleh agama itu (dalam kuantum dan intensitas yang gradual). Dengan demikian sikap seseorang terhadap kehidupan dan lingkungan sedikit banyak akan terpengaruh oleh sikap religiusnya. Untuk mengetahui pengaruh sikap religius seseorang terhadap kehidupan dan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, baik positif maupun negatif telah menjadi obyek dari berbagai penelitian keagamaan di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Menurut Ludjito, dalam tulisannya Mengapa Penelitian Agama, dikatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan kehidupan agama di Indonesia. Di antara permasalahan tersebut adalah meskipun terdapat golongan yang ekstrem dalam menyebarkan dan mengamalkan serta mempertahankan agama, namun sejarah mencatat pula bahwa mereka selalu merupakan kelompok minoritas dan karenanya tidak bertahan lama. Adanya ajaran agama bahwa tak ada hak seseorang untuk memaksa orang lain untuk memasuki agamanya, karena agama haruslah dipeluk dengan cara suka rela. Agama juga mengajarkan bahwa hendaklah penganutnya berusaha dengan sekuat tenaga untuk menuntut perbaikan hidup selama di dunia ini, karena kebahagiaan hidup di dunia (yang diridlai Tuhan) merupakan jembatan untuk kebahagiaan hidup di akherat dan tercapainya kebahagiaan hidup di dunia. Di samping itu, adanya kecenderungan bahwa pada setiap agama terdapat sekte-sekte yang berbeda satu sama lain dalam gradasi tertentu, yang dalam beberapa hal tertentu bahkan dapat saling menyerang di antara sesama mereka. Begitu pula terdapat suatu keyakinan dari setiap pemeluk suatu agama bahwa agamanyalah yang paling benar dari yang lain.[1] Truth claim ini telah mempengaruhi wajah kehidupan keagamaan di Indonesia.
Adapun penelitian-penelitian keagamaan secara lebih spesifik, misalnya terhadap beberapa komunitas Muslim di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para peneliti Muslim sendiri maupun para peneliti Non-Muslim. Sebagai contoh yang sangat populer, penelitian yang dilakukan oleh pihak Non-Muslim adalah penelitian Clifford Geertz yang mengkaji budaya dan agama di sebuah kota kecil di Jombang, Jawa Timur, di mana hasil yang ia ekspos adalah sebagai Agama di Jawa, sebagaimana yang ia munculkan dalam bukunya dengan judul The Religion of Java. Demikian pula bukunya yang berjudul Islam Observed : Religious Development In Marocco and Indonesia. [2] Dalam kajian Geertz tersebut, sebenarnya terdapat beberapa kelemahan dan problem ketika ia semata-mata menggunakan pendekatan sosial terutama dari sudut antropologi, yakni problem generalisasi dan problem gap antara perilaku sosial pemeluk Islam dengan ajaran normatif Islam. Di samping itu, sebagian problem yang ada dalam kajian Islam yang dilakukan oleh Sarjana Barat Non-Muslim, adalah kurangnya atau miskinnya kemampuan para sarjana tersebut tentang pengetahuan keislaman, sehingga problem yang sering muncul adalah kekeliruan sumber yang dipakai untuk mengetahui Islam oleh para ilmuwan sosial Barat. Meskipun demikian, banyak juga berbagai kelebihan dan hal baru yang sangat bermanfaat dari berbagai pendekatan yang dipakai oleh para Sarjana Barat untuk bisa diterapkan dalam melakukan berbagai penelitian keagamaan.
Kajian terhadap peta keragamaan pemikiran keagamaan secara lebih khusus, telah dilakukan oleh Abudin Nata dalam bukunya yang berjudul Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Dalam karyanya tersebut dipaparkan berbagai corak pemikiran Islam yang selama ini berkembang di Indonesia, yakni Islam fundamentalis, Islam teologis-normatif, Islam eksklusif, Islam rasional, Islam transformatif, Islam aktual, Islam kontekstual, Islam esoteris, Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam kultural dan Islam inklusif-pluralis. Masing-masing corak pemikiran Islam tersebut dijelaskan pula pengertiannya, latar belakang munculnya, bentuk paham atau ciri-cirinya dan pengamalannya.[3]
Dalam pandangan Dawam Rahardjo, ada tiga tahap dalam perkembangan pandangan mengenai agama dalam konteks pembangunan dan modernisasi di Indonesia. Pada mulanya, agama menjadi sasaran perubahan dan dilihat sebagai hal yang tidak relevan, bahkan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan dan modernisasi. Pada tahap kedua, timbul tidak saja keprihatinan terhadap kedudukan agama, tetapi orang mulai melihat peranan agama yang bisa menunjang perubahan masyarakat. Pada tahap ketiga, yakni harapan pada masa mendatang, yakni keyakinan keagamaan mestinya dijadikan dasar untuk menatap kehidupan masa depan yang mencerahkan.[4]
Menurut kaca mata Atho’ Mudzhar, dalam penelitian keagamaan sangat penting dilakukan dengan pendekatan sosiologi, dan dapat mengambil beberapa tema di antaranya : Pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Ketiga, studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat. Keempat, studi pola sosial masyarakat beragama. Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.[5]
Di sisi lain, meskipun telah banyak dilakukan penelitian-penelitian keagamaan yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama Islam maupun yang dilakukan atau difasilitasi oleh jajaran Departemen Agama Pusat, namun menurut Moeslim Abdurrahman, terlepas dari segi-segi kelebihannya, penelitian-penelitian tersebut beberapa di antaranya memiliki sejumlah “kelemahan pendekatan” yang berpengaruh sekali terhadap kerangka analisa yang dikembangkan. Beberapa “kelemahan dasar” tersebut di antaranya ialah : (1) peneliti cenderung menempatkan dua kelompok umat beragama atau lebih, yang berbeda dalam posisi dikotomi sosio-kultural secara ketat; (2) mengabaikan variable-variabel lain di luar agama; (3) mengabaikan peranan dan persepsi individu sebagai anggota persekutuan salah satu agama dengan cara menekankan “analisa kelompok”, dan (4) seringkali “gampang” mengangkat generalisasi terhadap hasil dari suatu studi kasus. Oleh karenanya untuk menghindari beberapa kelemahan tersebut, dapat dilakukan beberapa cara di antaranya : (1) menempatkan obyek penelitian sebagai satu kesatuan sosio-kultural masyarakat sebuah desa dengan memperhatikan segala macam ikatan primordial yang mengitarinya; (2) melihat faktor-faktor lainnya yang secara obyektif bisa mendorong timbulnya konflik dan integrasi sosial dengan mempertimbangkan semua jenis variabel sejauh yang bisa diketahui; (3) kemudian menentukan seberapa jauh “agama” menjadi variable penting sebagai sumber konflik maupun integrasi sosial yang terjadi.[6]
Bertolak dari berbagai problem dan urgensi dalam penelitian keagaman sebagaimana tersebut di atas, kami (para peneliti) termotivasi untuk mencoba menjadikan STAIN Purwokerto sebagai referensi atau sumber data bagi umat khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas (yang dalam hal ini, untuk sementara terfokus pada wilayah Kecamatan Purwokerto Utara) yang terkait dengan masalah kehidupan keagamaan, dengan melakukan penelitian tentang Peta Keagamaan Masyarakat Banyumas (Studi Eksploratif di Wilayah Kecamatan Purwokerto). Penelitian yang serupa sebenarnya telah dilakukan oleh para peneliti lain di STAIN Purwokerto pada tahun lalu, dengan memfokuskan daerah penelitian di wilayah Kecamatan Kebasen dan Purwojati. Meskipun demikian, sebagai tindak lanjut berikutnya yang mengarah pada penelitian keagamaan secara komprehensif meliputi seluruh wilayah Kabupaten Banyumas, maka penelitian ini dipandang layak untuk dilakukan. Apalagi, melihat dari hasil penelitian-penelitian yang lalu, masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam pencarian dan penyajian data, serta pembahasan dan analisisnya.

II. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data secara umum akan dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara dengan berbagai tokoh dan komponen masyarakat yang berkompeten dan dokumentasi terhadap beberapa data yang diperlukan, sedang data yang berkaitan dengan masalah kehidupan keagamaan akan menggunakan teknik sampling, dimana akan diambil sebagian individu yang mewakili masyarakat untuk dijadikan sebagai subyek dalam penelitian ini.
Data yang terkumpul akan dipaparkan secara diskriptif, apa adanya. Selanjutnya data-data tersebut akan dibahas dan dianalisa dengan menggunakan teori-teori dan perspektif keagamaan.
Adapun permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah masalah kehidupan keagamaan, termasuk di dalamnya adalah dinamika kehidupan keagamaan (potensi, harapan dan tantangan) dan kehidupan sosial pada umumnya di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara. Mengetahui berbagai kondisi sosial masyarakat di wilayah kecamatan Purwokerto Utara seperti potensi, harapan, dan tantangan terhadap pelaksanaan nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan potensi tersebut, bagaimana kehidupan keagamaan masyarakat dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal.
Dengan data yang akurat terkait dengan peta keagamaan masyarakat Purwokerto Utara diharapkan jalinan hubungan yang lebih komunikatif dan konkret antara komunitas STAIN dengan masyarakat di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara dapat terwujud dengan baik, sehingga STAIN mampu berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat sehingga kehidupan keagamaan yang inklusif dapat terbangun dengan baik.

III. Hasil Penelitian dan Analisis
Dari penelitian tersebut dihasilkan pemetaan bahwa kondisi keagamaan di Kecamatan Purwokerto Utara:
1. Potret Pemeluk Agama.
Bahwa pemeluk Islam sangat dominan di wilayah ini, 42.944 orang (96,27%) diikuti oleh Protestan 741 orang ( 1,66%), katholik 710 orang ( 1,59%) Budha 24 orang ( 0,05%), Hindu 18 orang ( 0,04%). Yang menarik dari tabel di atas adalah jumlah pemeluk aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejumlah 173 ( 0,39 %).
Apabila diklasifikasi berdasarkan jumlah pemeluk agama pada masing-masing kelurahan diperoleh data bahwa kelurahan Purwanegara merupakan wilayah mayoritas Muslim (8743 orang), diikuti Protestan (242 orang), dan Katholik (230 orang), Hindu 18 orang dan Budha (5 orang). Sebuah komposisi yang memenuhi semua agama hanya aliran kepercayaan yang keseluruhan bertempat tinggal di Karang Wangkal yang memang di kenal dengan wilayah “abangan” karena potret keagamaanya.
2. Potret Fasilitas tempat Peribadatan.
Dalam perspektif fasilitas rumah peribadatan hanya agama Islam yang memiliki tempat ibadah di semua kelurahan (jumlah total di tempat ibadah; masjid 32 buah dan mushola 82 buah) dan agama Budha yang jumlah pemeluknya hanya 6 orang di Sumampir tetapi pemeluk Budha ini telah memiliki tempat ibadah.
3. Potret Kualitas SDM
Potret keagamaan kecamatan Purwanegara yang mayoritas Muslim tersebut di atas memiliki lembaga kajian yang secara kuantitatif memadai hanya wilayah Purwanegara dengan jumlah tokoh agama yang signifikan. Meskipun demikian wajah “asal-asalan” dengan perencanaan yang kurang serius tetap dirasakan. Hal ini disebabkan miskinnya koordinasi antar tokoh dan sistem pengelolaan lembaga informal keagamaan yang seadanya seperti belum memiliki kurikulum serta fasilitas pendidikan dan pembelajaran yang memadai. Jumlah Tokoh Agama ada 63 orang yang mayoritas berada di kelurahan Purwanegara bahkan di kelurahan ini ada tokoh pengajar agama Islam, Kristen dan Hindu.
Dari hasil penelitian di atas dapat dianalisa bahwa:
Peta keagamaan masyarakat Purwokerto Utara memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini paling tidak disebabkan oleh adanya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dengan dua ribuan lebih mahasiswa yang sebagiannya kost atau bertempat tinggal di sekitar kampus yang lokasinya berada di kelurahan Purwanegara Purwokerto Utara. Masyarakat Purwokerto Utara yang mayoritas penduduknya beragama Islam semakin menunjukkan identitas religius tersebut di antaranya karena keberadaan STAIN ini. Di sisi lain keberadaan Pesantren al-Hidayah dan pesantren Darul Abrar di Karangsuci semakin memperkuat nuansa keagamaan yang dimiliki oleh Kelurahan Purwanegara dan umumnya kecamatan Purwokerto Utara karena sebagian santri juga ikut berperan sebagai da’i atau guru agama, apalagi di Purwokerto Utara ini juga ada SPN (Sekolah Polisi Negara) yang memiliki Binroh dan Universitas Jenderal Soedirman dengan UKI (Unit Kerohanian Islamnya).
Di antara tujuh (7) kelurahan yang ada di Kecamatan Purwokerto Utara, Kelurahan Purwanegara merupakan kelurahan yang paling kental nuansa relegiusitasnya. Potensi tersebut mendukung semarak kehidupan keagamaan di kelurahan ini. Hal ini disebabkan oleh antara lain:
Adanya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dengan P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Tim Dakwah, dan Mahasiswanya, di antaranya yang tergabung dalam Fokus atau Forum Komunikasi Anak Kost) yang ikut mewarnai wilayah ini.
Adanya dua (2) pondok pesantren dengan jumlah santri sekitar 300-an telah memberikan kontribusi besar terhadap dinamika keagamaan masyarakat.
Sekolah yang bercirikan keagaman di Karang Suci yaitu MTs al-Hidayah dan SMU Diponegoro di bawah Yayasan al-Hidayah. Yayasan ini didirikan oleh Kyai kharismatik KH. Muslih, seorang tokoh daerah sekaligus tokoh nasional yang banyak mewarnai aktifitas dakwah Islamiyah.
Kualitas SDM tokoh agama yang dimiliki juga cukup mumpuni baik yang bergelar dokor (S-3) maupun yang magister (S-2) agama.
Dengan faktor-faktor di atas dapat ditarik benang merah terkait dengan fasilitas dan aktifitas keagamaan yang lebih menonjol dibandingkan kelurahan lain.
Secara keseluruhan potensi dan aktifitas keagamaan di enam (6) kelurahan selain kelurahan Purwanegara di kecamatan Purwokerto Utara cukup baik dengan variasi kegiatan dan kendala yang beragam. Walaupun demikian setiap kelurahan memiliki prospek yang baik untuk berkembang sebagaimana kelurahan Purwanegara atau bahkan lebih baik.
Peta keagamaan di Purwokerto Utara ini, secara umum, kurang memberikan kemungkinan dinamika kemajuan keagamaan yang berarti dan cepat. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab terutama oleh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan secara umum oleh seluruh warga masyarakat. Kondisi yang kurang kondusif bagi perkembangan yang dinamis ke depan adalah di antaranya karena:
Secara kuantitatif sarana ibadah baik Masjid maupun mushalla cukup representatif (kecuali di beberapa wilayah seperti desa Karang Ajing sebelah timur jalan raya yang belum memiliki musholla), namun sarana ibadah tersebut belum berfungsi secara signifikan karena model pengelolaan dan pendayagunaannya masih cenderung tradisional. Hanya beberapa masjid yang telah berusaha untuk memakmurkannya secara optimal dengan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan pemberdayaan jama’ah.
Fasilitas pendidikan agama yang berupa madrasah diniyah / ibtidaiyah di wilayah Purwokerto Utara sangat tidak memadai dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Institusi keagamaan di Purwokerto Utara belum mampu melakukan usaha-usaha perberdayaan masyarakat umum.
Kualitas SDM tokoh-tokoh agama yang diakui kurang memiliki standar profesional dan tokoh-tokoh agama tersebut terkonsentrasi pada wilayah tertentu, tidak tersebar secara merata.
Adanya konflik di antara sebagian tokoh-tokoh agama Islam yang dalam kasus tertentu berakibat pada terjadinya polarisasi di kalangan jama’ah.
Kaderisasi yang tidak terencana dan mengalami keterputusan program karena generasi penerusnya yang kurang mumpuni atau tidak dipersiapkan. Kegiatan keagamaan banyak didominasi kalangan orang tua sedang kegiatan keagamaan remaja cenderung minim dan kurang mendapat pendampingan dari tokoh maupun seniornya.
Secara umum hubungan antar intern umat beragama dan antar umat beragama telah menunjukkan adanya hubungan yang harmonis, bahkan sudah ada kerjasama dalam bidang sosial keagamaan.

IV. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisa di atas dapat disimpulkan; Bahwa semua wilayah memiliki karakteristik keagamaan yang dilatarbelakangi oleh background historis dan sosiologisnya masing-masing. Warna keagamaan akan semakin kental dan terlihat religius apabila pusat-pusat studi keagamaan, fasilitas, dan ketersediaan SDM (ulama atau tokoh agama) yang memadai.
Potret tersebut dalam penelitian ini dapat dilihat di wilayah Purwanegara yang kental nilai religiusitasnya dibandingkan dengan kelurahan lain hal ini disebabkan karena ada peran STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) dengan dua ribuan lebih mahasiswa dan tenaga dosen yang sebagiannya kost atau bertempat tinggal di sekitar kampus. Di sisi lain ada lembaga Pesantren al-Hidayah dan pesantren Darul Abrar yang memberikan corak tersendiri ditambah lagi dengan peran Binroh SPN (Sekolah Polisi Negara).
Dengan peta keagamaan tersebut dibutuhkan kerja keras dari tokoh-tokoh agama bekerjasama dengan berbagai pihak untuk membuat perencanaan kegiatan pengembangan keagamaan dan pelaksanaannya di lapangan. Upaya ini niscaya dilakukan karena, secara umum, data menunjukkan bahwa kekurangan yang menonjol dari potret pengembangan keagamaan di wilayah ini, termasuk Purwanegara yang lebih religius, kurang dimanaj secara baik sehingga belum memberikan peluang untuk kemajuan keagamaan yang berarti dan cepat di masa yang akan datang.




END NOTE


[1] A. Ludjito, “Mengapa Penelitian Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 11-14.
[1] Secara lebih lengkap baca, Clifford Geertz, The Religion of Java dan Islam Observed : Religious Development in Marocco and Indonesia, The University of Chicago Press, Chicago, 1971.
[1] Lihat, Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
[1] M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, h. 26.
[1] M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam”, dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam : Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, h. 30-33.
[1] Moeslim Abdurrahman, “Posisi Berbeda Agama Dalam Kehidupan Sosial di Pedesaan”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 140-141.











DAFTAR PUSTAKA


A. Ludjito, “Mengapa Penelitian Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Clifford Geertz, The Religion of Java. The University of Chicago Press, Chicago, 1971.

_________, Islam Observed : Religious Development in Marocco and Indonesia. The University of Chicago Press, Chicago, 1971.

M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam”, dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam : Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000.

M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.

Moeslim Abdurrahman, “Posisi Berbeda Agama Dalam Kehidupan Sosial di Pedesaan”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

Monografi Kecamatan Purwokerto Utara Tahun 2003.







Peta Keagamaan Banyumas (Jurnal JPA)

PETA KEAGAMAAN MASYARAKAT BANYUMAS
(Studi Eksploratif di Wilayah Kecamatan Purwokerto Utara)

Abstrak
Suatu hal yang amat penting untuk dilakukan seseorang atau organisasi sebelum mengambil kebijakan adalah melakukan pemetaan. Konflik sosial keagamaan seringkali muncul di masyarakat disebabkan, antara lain, oleh pemetaan tentang sosial-keagamaan yang salah, sehingga kebijakan yang diambil oleh decision maker menjadi kurang tepat bahkan berimplikasi negatif.
Penelitian ini mencoba membidik peta keagamaan masyarakat Banyumas dengan sampel penelitian kecamatan Purwokerto Utara dengan pertimbangan wilayah ini memiliki tingkat dinamika yang relatif berbeda dengan wilayah lain, terutama dalam bidang pendidikan dan keagamaan, pluralitas penduduk, terdapat dua (2) perguruan tinggi negeri STAIN dan UNSOED serta SPN (Sekolah Polisi Negara) sehingga cukup representatif untuk menggambarkan Kabupaten Banyumas.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana potret keagamaan di wilayah ini meliputi SDM dan fasilitas pengembangan keagamaannya serta prospeknya.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa potret keagamaan masyarakat Purwokerto Utara memiliki karakteristik tersendiri, memiliki potensi besar tetapi belum dikembangkan. Indikator potensi tersebut adalah adanya STAIN, Pesantren al-Hidayah, pesantren Darul Abrar di Kelurahan Purwanegara, SPN (Sekolah Polisi Negara) yang memiliki Binroh dan Universitas Jendral Sudirman dengan UKI (Unit Kerohanian Islamnya). Di lain sisi ada kelompok pengajian dan tradisi keagamaan. Dari tujuh (7) kelurahan yang ada di Kecamatan Purwokerto Utara, Kelurahan Purwanegara merupakan kelurahan yang paling kental nuansa relegiusitasnya sedang kelurahan lainnya potensi dan aktifitas keagamaannya cukup baik dengan variasi kegiatan dan kendala yang beragam di antarnya fasilitas yang kurang memadai dan SDM yang kurang merata. Secara keseluruhan data menunjukkan bahwa prospek perkembangan keagamaan cenderung stabil dan kurang menunjukkan potensi untuk meningkat dengan cepat karena lemahnya perencanaan program dan minimnya koordinasi (peran organisasi).


Kata Kunci :

Peta Keagamaan, Potensi Wilayah, Strategi, Pengembangan Keagamaan, Pendidikan dan Dakwah.

I. Pendahuluan
Sudah menjadi kodrat alam (sunnatullah), jika manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial (zoon politicon), harus senantiasa mengerti dan memahami tentang seluk beluk kehidupan sosial di lingkungan sekitarnya. Mengetahui kondisi kehidupan sosial masyarakat di lingkungan sekitar merupakan bukti yang menunjukkan akan kepekaan dan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar. Hal tersebut juga akan menjadikan dirinya lebih gampang untuk melakukan adaptasi, komunikasi dan selanjutnya berinteraksi. Selain itu, mengenali kondisi kehidupan lingkungan secara baik akan mempermudah dalam melakukan sosialisasi diri, ide, dan gagasan yang dimilikinya. Tentu saja akseptabilitas yang merupakan salah satu ukuran penting bagi keberhasilan dalam bermasyarakat akan lebih mudah terwujud. Demikian pula, mengetahui berbagai kondisi obyektif sebuah wilayah yang terkait dengan aspek geografis maupun sosiologis (sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama) menjadi sangat signifikan bagi upaya pengembangan keagamaan dalam masyarakat, karena paling tidak akan memberi informasi yang sangat memadai sebagai dasar acuan dalam menentukan langkah pengembangan yang lebih tepat.
Karena itu, penelitian tentang peta kehidupan keagamaan jelas akan memberi makna signifikan bagi penetapan kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong semangat keagamaan dan peningkatan kualitas keberagamaan masyarakat terkait. Kebijakan – kebijakan yang diambil akan benar-benar selaras dengan tuntutan kebutuhan dan realitas masyarakat yang ada, sehingga akan memberi manfaat riil bagi kemajuan dan peningkatan moralitas masyarakatnya.
STAIN Purwokerto, secara geografis maupun administratif berada di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara, dan secara sosiologis senantiasa berhubungan secara langsung maupun tidak dengan komunitas di wilayah tersebut. Bagi civitas STAIN, mengetahui kondisi obyektif wilayah itu merupakan keniscayaan, karena akan menjadikan hubungan, komunikasi dan interaksi dapat dilakukan secara lebih take and give. Tentu menjadi ironis, jika civitas STAIN tidak mengetahui kondisi obyektif masyarakat di wilayah Purwokerto Utara, lebih khusus lagi kondisi obyektif kehidupan keagamaan yang berkembang di masyarakat tersebut, di mana civitas STAIN berada dan beraktivitas/ berkiprah di dalamnya. Sebenarnya, dengan mengetahui berbagai tradisi, kebiasaan, sifat, kecenderungan, karakter bahkan potensi pembangunan maupun konflik keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat dalam wilayah tersebut, akan menjadikan civitas STAIN lebih mudah dalam melakukan interaksi maupun komunikasi sosial, atau dapat mempermudah dalam merancang strategi atau model penanaman nilai-nilai keagamaan yang menjadi misi utama STAIN, khususnya dalam masyarakat tertentu di wilayah tersebut.
Hal lain yang perlu diketahui, bahwa Kecamatan Purwokerto Utara juga memiliki banyak spisifikasi dan potensi seperti didiami oleh banyak tokoh-tokoh penting, Perguruan Tinggi, dan SPN yang sering menjadi tempat kunjungan. Ada juga hal yang unik, bahwa setiap bulan ‘Idhul Adha, khususnya di Kelurahan Purwanegara, selalu menjadi perhatian. Di salah satu masyarakat yang termasuk dikategorikan abangan (menurut klasifikasi Geertz), meski belum dapat diketahui motivasinya secara jelas, ternyata mereka memiliki semangat berkorban yang cukup tinggi.
Dalam konteks seperti ini, memahami secara mendalam atas kondisi obyektif masyarakat di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara, baik yang berkaitan dengan kondisi geografis, ekonomi, politik, sosial, budaya bahkan kehidupan keagamaan menjadi amat signifikan bagi kelancaran pelaksanaan program-program utama STAIN sendiri juga program pemerintah khususnya yang terkait dengan kebijakan pengembangan keagamaan dan lainnya.
Agama (khususnya) Islam di Indonesia telah menjadi darah dan daging bagi sebagian besar rakyat Indonesia, sehingga sadar atau pun tidak berbagai aspek kehidupan masyarakat telah dijiwai oleh agama itu (dalam kuantum dan intensitas yang gradual). Dengan demikian sikap seseorang terhadap kehidupan dan lingkungan sedikit banyak akan terpengaruh oleh sikap religiusnya. Untuk mengetahui pengaruh sikap religius seseorang terhadap kehidupan dan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, baik positif maupun negatif telah menjadi obyek dari berbagai penelitian keagamaan di berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Menurut Ludjito, dalam tulisannya Mengapa Penelitian Agama, dikatakan bahwa terdapat beberapa permasalahan kehidupan agama di Indonesia. Di antara permasalahan tersebut adalah meskipun terdapat golongan yang ekstrem dalam menyebarkan dan mengamalkan serta mempertahankan agama, namun sejarah mencatat pula bahwa mereka selalu merupakan kelompok minoritas dan karenanya tidak bertahan lama. Adanya ajaran agama bahwa tak ada hak seseorang untuk memaksa orang lain untuk memasuki agamanya, karena agama haruslah dipeluk dengan cara suka rela. Agama juga mengajarkan bahwa hendaklah penganutnya berusaha dengan sekuat tenaga untuk menuntut perbaikan hidup selama di dunia ini, karena kebahagiaan hidup di dunia (yang diridlai Tuhan) merupakan jembatan untuk kebahagiaan hidup di akherat dan tercapainya kebahagiaan hidup di dunia. Di samping itu, adanya kecenderungan bahwa pada setiap agama terdapat sekte-sekte yang berbeda satu sama lain dalam gradasi tertentu, yang dalam beberapa hal tertentu bahkan dapat saling menyerang di antara sesama mereka. Begitu pula terdapat suatu keyakinan dari setiap pemeluk suatu agama bahwa agamanyalah yang paling benar dari yang lain.[1] Truth claim ini telah mempengaruhi wajah kehidupan keagamaan di Indonesia.
Adapun penelitian-penelitian keagamaan secara lebih spesifik, misalnya terhadap beberapa komunitas Muslim di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para peneliti Muslim sendiri maupun para peneliti Non-Muslim. Sebagai contoh yang sangat populer, penelitian yang dilakukan oleh pihak Non-Muslim adalah penelitian Clifford Geertz yang mengkaji budaya dan agama di sebuah kota kecil di Jombang, Jawa Timur, di mana hasil yang ia ekspos adalah sebagai Agama di Jawa, sebagaimana yang ia munculkan dalam bukunya dengan judul The Religion of Java. Demikian pula bukunya yang berjudul Islam Observed : Religious Development In Marocco and Indonesia. [2] Dalam kajian Geertz tersebut, sebenarnya terdapat beberapa kelemahan dan problem ketika ia semata-mata menggunakan pendekatan sosial terutama dari sudut antropologi, yakni problem generalisasi dan problem gap antara perilaku sosial pemeluk Islam dengan ajaran normatif Islam. Di samping itu, sebagian problem yang ada dalam kajian Islam yang dilakukan oleh Sarjana Barat Non-Muslim, adalah kurangnya atau miskinnya kemampuan para sarjana tersebut tentang pengetahuan keislaman, sehingga problem yang sering muncul adalah kekeliruan sumber yang dipakai untuk mengetahui Islam oleh para ilmuwan sosial Barat. Meskipun demikian, banyak juga berbagai kelebihan dan hal baru yang sangat bermanfaat dari berbagai pendekatan yang dipakai oleh para Sarjana Barat untuk bisa diterapkan dalam melakukan berbagai penelitian keagamaan.
Kajian terhadap peta keragamaan pemikiran keagamaan secara lebih khusus, telah dilakukan oleh Abudin Nata dalam bukunya yang berjudul Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Dalam karyanya tersebut dipaparkan berbagai corak pemikiran Islam yang selama ini berkembang di Indonesia, yakni Islam fundamentalis, Islam teologis-normatif, Islam eksklusif, Islam rasional, Islam transformatif, Islam aktual, Islam kontekstual, Islam esoteris, Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam kultural dan Islam inklusif-pluralis. Masing-masing corak pemikiran Islam tersebut dijelaskan pula pengertiannya, latar belakang munculnya, bentuk paham atau ciri-cirinya dan pengamalannya.[3]
Dalam pandangan Dawam Rahardjo, ada tiga tahap dalam perkembangan pandangan mengenai agama dalam konteks pembangunan dan modernisasi di Indonesia. Pada mulanya, agama menjadi sasaran perubahan dan dilihat sebagai hal yang tidak relevan, bahkan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan dan modernisasi. Pada tahap kedua, timbul tidak saja keprihatinan terhadap kedudukan agama, tetapi orang mulai melihat peranan agama yang bisa menunjang perubahan masyarakat. Pada tahap ketiga, yakni harapan pada masa mendatang, yakni keyakinan keagamaan mestinya dijadikan dasar untuk menatap kehidupan masa depan yang mencerahkan.[4]
Menurut kaca mata Atho’ Mudzhar, dalam penelitian keagamaan sangat penting dilakukan dengan pendekatan sosiologi, dan dapat mengambil beberapa tema di antaranya : Pertama, studi tentang pengaruh agama terhadap masyarakat atau lebih tepatnya pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat. Kedua, studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman ajaran agama atau konsep keagamaan. Ketiga, studi tentang tingkat pengamalan beragama masyarakat. Keempat, studi pola sosial masyarakat beragama. Kelima, studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang melemahkan atau menunjang kehidupan beragama.[5]
Di sisi lain, meskipun telah banyak dilakukan penelitian-penelitian keagamaan yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama Islam maupun yang dilakukan atau difasilitasi oleh jajaran Departemen Agama Pusat, namun menurut Moeslim Abdurrahman, terlepas dari segi-segi kelebihannya, penelitian-penelitian tersebut beberapa di antaranya memiliki sejumlah “kelemahan pendekatan” yang berpengaruh sekali terhadap kerangka analisa yang dikembangkan. Beberapa “kelemahan dasar” tersebut di antaranya ialah : (1) peneliti cenderung menempatkan dua kelompok umat beragama atau lebih, yang berbeda dalam posisi dikotomi sosio-kultural secara ketat; (2) mengabaikan variable-variabel lain di luar agama; (3) mengabaikan peranan dan persepsi individu sebagai anggota persekutuan salah satu agama dengan cara menekankan “analisa kelompok”, dan (4) seringkali “gampang” mengangkat generalisasi terhadap hasil dari suatu studi kasus. Oleh karenanya untuk menghindari beberapa kelemahan tersebut, dapat dilakukan beberapa cara di antaranya : (1) menempatkan obyek penelitian sebagai satu kesatuan sosio-kultural masyarakat sebuah desa dengan memperhatikan segala macam ikatan primordial yang mengitarinya; (2) melihat faktor-faktor lainnya yang secara obyektif bisa mendorong timbulnya konflik dan integrasi sosial dengan mempertimbangkan semua jenis variabel sejauh yang bisa diketahui; (3) kemudian menentukan seberapa jauh “agama” menjadi variable penting sebagai sumber konflik maupun integrasi sosial yang terjadi.[6]
Bertolak dari berbagai problem dan urgensi dalam penelitian keagaman sebagaimana tersebut di atas, kami (para peneliti) termotivasi untuk mencoba menjadikan STAIN Purwokerto sebagai referensi atau sumber data bagi umat khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas (yang dalam hal ini, untuk sementara terfokus pada wilayah Kecamatan Purwokerto Utara) yang terkait dengan masalah kehidupan keagamaan, dengan melakukan penelitian tentang Peta Keagamaan Masyarakat Banyumas (Studi Eksploratif di Wilayah Kecamatan Purwokerto). Penelitian yang serupa sebenarnya telah dilakukan oleh para peneliti lain di STAIN Purwokerto pada tahun lalu, dengan memfokuskan daerah penelitian di wilayah Kecamatan Kebasen dan Purwojati. Meskipun demikian, sebagai tindak lanjut berikutnya yang mengarah pada penelitian keagamaan secara komprehensif meliputi seluruh wilayah Kabupaten Banyumas, maka penelitian ini dipandang layak untuk dilakukan. Apalagi, melihat dari hasil penelitian-penelitian yang lalu, masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam pencarian dan penyajian data, serta pembahasan dan analisisnya.

II. Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data secara umum akan dilakukan dengan observasi lapangan, wawancara dengan berbagai tokoh dan komponen masyarakat yang berkompeten dan dokumentasi terhadap beberapa data yang diperlukan, sedang data yang berkaitan dengan masalah kehidupan keagamaan akan menggunakan teknik sampling, dimana akan diambil sebagian individu yang mewakili masyarakat untuk dijadikan sebagai subyek dalam penelitian ini.
Data yang terkumpul akan dipaparkan secara diskriptif, apa adanya. Selanjutnya data-data tersebut akan dibahas dan dianalisa dengan menggunakan teori-teori dan perspektif keagamaan.
Adapun permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah masalah kehidupan keagamaan, termasuk di dalamnya adalah dinamika kehidupan keagamaan (potensi, harapan dan tantangan) dan kehidupan sosial pada umumnya di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara. Mengetahui berbagai kondisi sosial masyarakat di wilayah kecamatan Purwokerto Utara seperti potensi, harapan, dan tantangan terhadap pelaksanaan nilai-nilai keagamaan. Berdasarkan potensi tersebut, bagaimana kehidupan keagamaan masyarakat dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal.
Dengan data yang akurat terkait dengan peta keagamaan masyarakat Purwokerto Utara diharapkan jalinan hubungan yang lebih komunikatif dan konkret antara komunitas STAIN dengan masyarakat di wilayah Kecamatan Purwokerto Utara dapat terwujud dengan baik, sehingga STAIN mampu berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat sehingga kehidupan keagamaan yang inklusif dapat terbangun dengan baik.

III. Hasil Penelitian dan Analisis
Dari penelitian tersebut dihasilkan pemetaan bahwa kondisi keagamaan di Kecamatan Purwokerto Utara:
1. Potret Pemeluk Agama.
Bahwa pemeluk Islam sangat dominan di wilayah ini, 42.944 orang (96,27%) diikuti oleh Protestan 741 orang ( 1,66%), katholik 710 orang ( 1,59%) Budha 24 orang ( 0,05%), Hindu 18 orang ( 0,04%). Yang menarik dari tabel di atas adalah jumlah pemeluk aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sejumlah 173 ( 0,39 %).
Apabila diklasifikasi berdasarkan jumlah pemeluk agama pada masing-masing kelurahan diperoleh data bahwa kelurahan Purwanegara merupakan wilayah mayoritas Muslim (8743 orang), diikuti Protestan (242 orang), dan Katholik (230 orang), Hindu 18 orang dan Budha (5 orang). Sebuah komposisi yang memenuhi semua agama hanya aliran kepercayaan yang keseluruhan bertempat tinggal di Karang Wangkal yang memang di kenal dengan wilayah “abangan” karena potret keagamaanya.
2. Potret Fasilitas tempat Peribadatan.
Dalam perspektif fasilitas rumah peribadatan hanya agama Islam yang memiliki tempat ibadah di semua kelurahan (jumlah total di tempat ibadah; masjid 32 buah dan mushola 82 buah) dan agama Budha yang jumlah pemeluknya hanya 6 orang di Sumampir tetapi pemeluk Budha ini telah memiliki tempat ibadah.
3. Potret Kualitas SDM
Potret keagamaan kecamatan Purwanegara yang mayoritas Muslim tersebut di atas memiliki lembaga kajian yang secara kuantitatif memadai hanya wilayah Purwanegara dengan jumlah tokoh agama yang signifikan. Meskipun demikian wajah “asal-asalan” dengan perencanaan yang kurang serius tetap dirasakan. Hal ini disebabkan miskinnya koordinasi antar tokoh dan sistem pengelolaan lembaga informal keagamaan yang seadanya seperti belum memiliki kurikulum serta fasilitas pendidikan dan pembelajaran yang memadai. Jumlah Tokoh Agama ada 63 orang yang mayoritas berada di kelurahan Purwanegara bahkan di kelurahan ini ada tokoh pengajar agama Islam, Kristen dan Hindu.
Dari hasil penelitian di atas dapat dianalisa bahwa:
Peta keagamaan masyarakat Purwokerto Utara memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini paling tidak disebabkan oleh adanya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri dengan dua ribuan lebih mahasiswa yang sebagiannya kost atau bertempat tinggal di sekitar kampus yang lokasinya berada di kelurahan Purwanegara Purwokerto Utara. Masyarakat Purwokerto Utara yang mayoritas penduduknya beragama Islam semakin menunjukkan identitas religius tersebut di antaranya karena keberadaan STAIN ini. Di sisi lain keberadaan Pesantren al-Hidayah dan pesantren Darul Abrar di Karangsuci semakin memperkuat nuansa keagamaan yang dimiliki oleh Kelurahan Purwanegara dan umumnya kecamatan Purwokerto Utara karena sebagian santri juga ikut berperan sebagai da’i atau guru agama, apalagi di Purwokerto Utara ini juga ada SPN (Sekolah Polisi Negara) yang memiliki Binroh dan Universitas Jenderal Soedirman dengan UKI (Unit Kerohanian Islamnya).
Di antara tujuh (7) kelurahan yang ada di Kecamatan Purwokerto Utara, Kelurahan Purwanegara merupakan kelurahan yang paling kental nuansa relegiusitasnya. Potensi tersebut mendukung semarak kehidupan keagamaan di kelurahan ini. Hal ini disebabkan oleh antara lain:
Adanya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) dengan P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Tim Dakwah, dan Mahasiswanya, di antaranya yang tergabung dalam Fokus atau Forum Komunikasi Anak Kost) yang ikut mewarnai wilayah ini.
Adanya dua (2) pondok pesantren dengan jumlah santri sekitar 300-an telah memberikan kontribusi besar terhadap dinamika keagamaan masyarakat.
Sekolah yang bercirikan keagaman di Karang Suci yaitu MTs al-Hidayah dan SMU Diponegoro di bawah Yayasan al-Hidayah. Yayasan ini didirikan oleh Kyai kharismatik KH. Muslih, seorang tokoh daerah sekaligus tokoh nasional yang banyak mewarnai aktifitas dakwah Islamiyah.
Kualitas SDM tokoh agama yang dimiliki juga cukup mumpuni baik yang bergelar dokor (S-3) maupun yang magister (S-2) agama.
Dengan faktor-faktor di atas dapat ditarik benang merah terkait dengan fasilitas dan aktifitas keagamaan yang lebih menonjol dibandingkan kelurahan lain.
Secara keseluruhan potensi dan aktifitas keagamaan di enam (6) kelurahan selain kelurahan Purwanegara di kecamatan Purwokerto Utara cukup baik dengan variasi kegiatan dan kendala yang beragam. Walaupun demikian setiap kelurahan memiliki prospek yang baik untuk berkembang sebagaimana kelurahan Purwanegara atau bahkan lebih baik.
Peta keagamaan di Purwokerto Utara ini, secara umum, kurang memberikan kemungkinan dinamika kemajuan keagamaan yang berarti dan cepat. Hal ini merupakan tantangan yang harus dijawab terutama oleh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan secara umum oleh seluruh warga masyarakat. Kondisi yang kurang kondusif bagi perkembangan yang dinamis ke depan adalah di antaranya karena:
Secara kuantitatif sarana ibadah baik Masjid maupun mushalla cukup representatif (kecuali di beberapa wilayah seperti desa Karang Ajing sebelah timur jalan raya yang belum memiliki musholla), namun sarana ibadah tersebut belum berfungsi secara signifikan karena model pengelolaan dan pendayagunaannya masih cenderung tradisional. Hanya beberapa masjid yang telah berusaha untuk memakmurkannya secara optimal dengan berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan pemberdayaan jama’ah.
Fasilitas pendidikan agama yang berupa madrasah diniyah / ibtidaiyah di wilayah Purwokerto Utara sangat tidak memadai dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mayoritas beragama Islam.
Institusi keagamaan di Purwokerto Utara belum mampu melakukan usaha-usaha perberdayaan masyarakat umum.
Kualitas SDM tokoh-tokoh agama yang diakui kurang memiliki standar profesional dan tokoh-tokoh agama tersebut terkonsentrasi pada wilayah tertentu, tidak tersebar secara merata.
Adanya konflik di antara sebagian tokoh-tokoh agama Islam yang dalam kasus tertentu berakibat pada terjadinya polarisasi di kalangan jama’ah.
Kaderisasi yang tidak terencana dan mengalami keterputusan program karena generasi penerusnya yang kurang mumpuni atau tidak dipersiapkan. Kegiatan keagamaan banyak didominasi kalangan orang tua sedang kegiatan keagamaan remaja cenderung minim dan kurang mendapat pendampingan dari tokoh maupun seniornya.
Secara umum hubungan antar intern umat beragama dan antar umat beragama telah menunjukkan adanya hubungan yang harmonis, bahkan sudah ada kerjasama dalam bidang sosial keagamaan.

IV. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisa di atas dapat disimpulkan; Bahwa semua wilayah memiliki karakteristik keagamaan yang dilatarbelakangi oleh background historis dan sosiologisnya masing-masing. Warna keagamaan akan semakin kental dan terlihat religius apabila pusat-pusat studi keagamaan, fasilitas, dan ketersediaan SDM (ulama atau tokoh agama) yang memadai.
Potret tersebut dalam penelitian ini dapat dilihat di wilayah Purwanegara yang kental nilai religiusitasnya dibandingkan dengan kelurahan lain hal ini disebabkan karena ada peran STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) dengan dua ribuan lebih mahasiswa dan tenaga dosen yang sebagiannya kost atau bertempat tinggal di sekitar kampus. Di sisi lain ada lembaga Pesantren al-Hidayah dan pesantren Darul Abrar yang memberikan corak tersendiri ditambah lagi dengan peran Binroh SPN (Sekolah Polisi Negara).
Dengan peta keagamaan tersebut dibutuhkan kerja keras dari tokoh-tokoh agama bekerjasama dengan berbagai pihak untuk membuat perencanaan kegiatan pengembangan keagamaan dan pelaksanaannya di lapangan. Upaya ini niscaya dilakukan karena, secara umum, data menunjukkan bahwa kekurangan yang menonjol dari potret pengembangan keagamaan di wilayah ini, termasuk Purwanegara yang lebih religius, kurang dimanaj secara baik sehingga belum memberikan peluang untuk kemajuan keagamaan yang berarti dan cepat di masa yang akan datang.




END NOTE


[1] A. Ludjito, “Mengapa Penelitian Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 11-14.
[1] Secara lebih lengkap baca, Clifford Geertz, The Religion of Java dan Islam Observed : Religious Development in Marocco and Indonesia, The University of Chicago Press, Chicago, 1971.
[1] Lihat, Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.
[1] M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989, h. 26.
[1] M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam”, dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam : Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, h. 30-33.
[1] Moeslim Abdurrahman, “Posisi Berbeda Agama Dalam Kehidupan Sosial di Pedesaan”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, h. 140-141.











DAFTAR PUSTAKA


A. Ludjito, “Mengapa Penelitian Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

Abudin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Clifford Geertz, The Religion of Java. The University of Chicago Press, Chicago, 1971.

_________, Islam Observed : Religious Development in Marocco and Indonesia. The University of Chicago Press, Chicago, 1971.

M. Atho’ Mudzhar, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam”, dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam : Studi Islam Dengan Berbagai Pendekatan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000.

M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama : Sebuah Pengantar, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1989.

Moeslim Abdurrahman, “Posisi Berbeda Agama Dalam Kehidupan Sosial di Pedesaan”, dalam Mulyanto Sumardi (Penyusun), Penelitian Agama : Masalah dan Pemikiran, Sinar Harapan, Jakarta, 1982.

Monografi Kecamatan Purwokerto Utara Tahun 2003.







Pendidikan Inklusif (Jurnal Insania)

PENDIDIKAN INKLUSIF :
PLURALISME DALAM ISLAM
Oleh Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag. ٭٭

Abstrak

Dalam hubungan sosial dibutuhkan paham pluralisme di mana masing-masing etnisitas dalam masyarakat tetap memegang identitas kelompoknya, tetapi dalam beberapa hal ada identitas yang sama dan dikembangkan bersama-sama. Hal ini berbeda dengan etnosentrisme yang masing-masing masyarakat bersikukuh dengan identitas budayanya dan menolak campurtangan kebudayaan lain, juga berbeda dengan melting pot yang merupakan peleburan komponen-komponen etnis ke dalam hanya satu identitas baru.
Paham kemajemukan (pluralisme) merupakan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.
Pendidikan inklusif ini dimulai dari keluarga kemudian dikembangkan dalam komunitas lain yang lebih besar. Strategi untuk melakukan pendidikan inklusif di masyarakat adalah dengan berpegang pada prinsip 1) kalimat al-sawa’ (common platform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai interest masyarakat yang plural, 2) kebebasan berijtihad bagi intelektual Muslim yang telah mampu melakukannya, 3) pemahaman terhadap teks-teks (bahasa) agama yang sehat sehingga mampu melahirkan sikap dan pandangan yang integrativ, egaliter, inklusif, relatif, dan plural 4) melakukan penguatan metodologis tentang Islamic studies serta 5) mengembangkan musyawarah (dialog) yang merupakan sikap terbuka untuk mengakui dan menerima kelebihan atau kekurangan orang lain.


Kata Kunci: Pendidikan, Inklusif, Pluralisme, Islam.





I. PENDAHULUAN

Pendidikan (termasuk pendidikan Islam) adalah sebagaian institusi yang tergugat tatkala kerusuhan antara agama dan etnis muncul di beberapa tempat di Indonesia. Dengan tragedi tersebut pendidikan disinyalir kurang memberikan bekal yang cukup terhadap peserta didik tentang bagaimana mereka mengembangkan sikap toleran sejati sehingga mampu menerima keperbedaan dan keragaman yang akan dan atau telah ada di masyarakat. Kegelisahan ini dikaitkan dengan institusi kependidikan disebabkan karena lembaga pendidikan selama ini diyakini sebagai pencetak manusia yang berilmu, berbudipekerti luhur, dan profesional sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga pendidikannya.
Atas kegelisahan tersebut, Yayasan Swarahati Banyumas pada tanggal 18 Mei 2003 lalu menyelenggarakan Pelatihan Fasilitator tentang Pendidikan Inklusif yang di antara temanya adalah “Landasan Teologis Pluralisme dalam perspektif Islam Katolik, Kristen, Hindu, dan Konghucu” (dan kebetulan penulis diminta untuk menyampaikan untuk perspektif yang pertama).
Karena pemahaman tersebut amat luas, tulisan ini akan membahas serba singkat tentang pluralisme, realisasi dalam kesejarahan dan sikap, dan terakhir tentang konsep ajaran Islam terkait hal tersebut. Tulisan ini ditutup dengan pendekatan dalam pembelajaran tema-tema pluralisme tersebut.

II. SEKILAS TENTANG PLURALISME
Dalam Islam plural sama dengan jam’ atau majmu’ yang berarti lebih dari satu atau perkumpulan yang terdiri dari beberapa hal / sesuatu. Dalam bahasa Arab ada kata jama’ah yang menunjukkan arti kebersamaan atau untuk shalat (jamaah) berarti salat tersebut dilakukan secara bersama bersama antara imam (yang memimpin shalat) dan ma’mum yang mengikuti imam dalam shalat. Dalam konteks sosial ada kata Ijtima’iyah yang berarti sosial-kemasyarakatan.
Perkembangan Fiqh akhir-akhir ini juga bersentuhan dengan kehidupan sosial yang kemudian dikenal dengan sebutan fiqh ijtima’i atau fiqh sosial. Kajian fiqh dalam perspektif baru ini ini mendapatkan perhatian serius dari kalangan intelektual Muslim di antaranya oleh KH. Ali Yafie[1] dan KH. Sahal Mahfudz[2] dan juga oleh santri Ma’had Ali yang telah menerbitkan Fiqh Rakyat[3] yang di awal bab mengkaji tentang “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Pengembangan pemikiran fiqh sosial di atas mulai terbangun kuat dan berkembang pesat di pesantren-pesantren NU pada umumnya, sedangkan dalam konteks sosial yang lain seperti tauhid sosial lebih gencar digelindingkan oleh komunitas Muhammadiyah yang memang sejak awal tauhid sebagai pijakan dakwah perserikatan ini.
Sesuatu yang menarik dicermati dalam konteks ini adalah kecenderungan Kyai atau ulama yang tertarik fiqh dan tauhid sebagai pijakan awal berfikirnya. Kyai atau intelektual Muslim yang lebih mengedepankan aspek fiqh dalam pengembangan berfikirnya dikenal lebih mengembangkan watak akomodatif-kultural dalam dakwahnya sehingga tidak menimbulkan konflik dengan budaya lokal di mana Islam dikembangkan. Berbeda dengan tokoh atau intektual Muslim yang corak berfikirnya lebih teologis (aqidah) dikenal watak berfikir dan gerakan dakwahnya cenderung tegas dan legal-formal atau bahkan radikal tatkala menyapa kultur atau budaya setempat.
Istilah Fiqh sosial dan Tauhid sosial selama ini lebih tertuju pada sisi aplikatif nilai ajaran dalam kehidupan sosial. Pendekatan fiqh lebih dimungkinkan adanya pengembangan kedamaian hubungan antar agama dan sikap pural dibandingkan dalam pendekatan tauhid. Dalam konteks pendidikan inklusif hal demikian perlu didialogkan agar pemikiran yang berkembang dalam Islam tidak menimbulkan ekses negatif bagi umat Islam sendiri dan juga bagi umat lain. Islam yang dikenal sebagai rahmatan lil ‘alamin harus dibuktikan dalam kehidupan riil umat.
Berbicara tentang hubungan budaya dalam masyarakat majemuk ada tiga teori yang menunjukkan corak yang berbeda yaitu etnosentrisme, melting pot (peleburan), dan pluralisme.[4] Etnosentrisme terjadi bila masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, dan menolak campurtangan kebudayaan lain. Melting pot ialah peleburan komponen-komponen etnis ke dalam hanya satu identitas baru. Sementara pluralisme dimaksudkan bahwa masing-masing etnisitas tetap memegang identitas kelompoknya, tetapi dalam beberapa hal ada identitas yang sama.
Pluralisme (atau paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya,[5] bukan sekedar “kebaikan negatif” (negative good) yang difungsikan sebagai upaya menyingkirkan fanatisme.[6]
Pluralisme, dengan demikian, membutuhkan pengakuan, penerimaan, dan sikap tulus terhadap kemajemukan yang ada sebagai rahmat Allah SWT untuk membawa manusia ke akulturasi budaya dan peradaban yang tinggi dan dinamis (masyarakat mutamaddin atau civil society).
Pluralisme yang berkembang bisa menuju ke arah positif tetapi juga bisa negatif. Pluralisme menjadi positif apabila individu memahami di luar agamanya ada agama lain yang harus dihormati dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya yang berarti bersikap positif terhadap agamanya sendiri. Tetapi pluralisme akan negatif jika individu mengumpamakan agama seperti baju yang dengan mudah ia menggantinya sesuai dengan kondisi dan selera (kepentingan sesaat). Pluralisme negatif akan menimbulkan masalah baru yaitu ketersinggungan para pemeluk agama karena agamanya dibuat mainan dan kurang berarti.

III. SIKAP PLURAL DAN REALITAS HISTORISNYA
Konflik terjadi hampir di seluruh permukaan bumi termasuk Indonesia. Indonesia yang memiliki Pancasila dengan jargon Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, ternyata belum mampu menunjukkan ketangguhannya untuk meminimalkan sikap-sikap radikal dan ekstrim dari sebagian pemeluk agama.
Pada dasarnya, agama apapun memiliki kecenderungan untuk melakukan truth claim. Hal demikian terjadi karena agama sebagai nilai kepercayaan yang harus dipegang teguh pemeluknya. Sikap truth claim tersebut akan bernilai positif apabila hanya diorientasikan ke dalam (intrinsic orientation) dalam penghayatan dan aplikasinya, bukan untuk ke luar dirinya (extrinsic orientation). Jika demikian maka akan menimbulkan prasangka (negatif) bagi orang lain.[7] Agama intrinsik memenuhi seluruh hidup dengan motivasi dan arti sedang agama ekstrinsik agama diperbudak untuk mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi.
Sikap klaim kebenaran jika mencuat ke luar dirinya maka akan menimbulkan benturan dengan orang lain yang memiliki apresiasi, pengetahuan, pemahaman, dan ekspresi yang berbeda dengan dirinya walaupun orang tersebut sama agamanya. Pemeluk agama mendasarkan kehidupannya pada ayat-ayat suci sementara ayat-ayat yang sakral dan absolut tersebut tatkala masuk dalam diri individu maka akan profan, relatif dan tentative. Karenanya dalam bingkai agama yang sama sekalipun tetap akan menimbulkan pluralitas berfikir dan ekspersesi keagamaan yang sangat ragam. Apalagi dalam keberbedaan agama, suku, bangsa dan budaya.
Menginginkan pemahaman keagamaan yang seragam sama halnya meniadakan agama itu sendiri. Sebab sikap yang menginginkan serba sama akan menimbulkan konflik beruntun karena bertentangan dengan nilai kemanusiaannya sendiri. Dalam sejarah telah terbukti bahwa karena sikap-sikap eksklusif seperti itu mengakibatkan pertentangan dan atau peperangan oleh sesama pemeluk agama atau antar pemeluk agama.
Sikap menerima (toleran) mungkin dirasa oleh sebagian individu kurang nyaman, tetapi karena hal ini prinsip yaitu memegangi kebenaran.[8] Dengan kesadaran plural diharapkan tumbuh sikap toleransi sejati tidak hanya sikap prosedural-formal dan menjaga “nikmatnya” harmoni antar kelompok. Memahami toleransi (tasamuh) harus dimulai dari kesadaran bahwa toleransi merupakan prinsip ajaran dan kewajiban yang mesti dilaksanakan yang pada gilirannya akan bermanfaat untuk menumbuhkan tatacara pergaulan yanga baik, terbuka, dan sehat.
Secara faktual-historis sikap kemajemukan sampai saat ini eksistensinya diakui tetapi realitanya masih tersia-siakan. Konflik yang dilatarbelakangi sikap keberagamaan yang eksklusif dengan mudah dijumpai. Penghancuran beberapa tempat yang diyakini melanggar ajaran agama atau beda dengan agamanya sering dilakukan oleh pemeluk agama.
Sikap memusnahkan orang lain karena keterbedaan terjadi dalam komunitas Muslim tidak lama setelah Islam ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Saw. Menurut W. Cantwell Smith, sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer, ia mengatakan :
“Bahwa pada abad-abad pertama Islam konsep Syara’i ahkam (ketetapan-ketetapan hukum syara’) lebih bersifat moral daripada legal. Ahkam pada periode awal Islam masing-masing merupakan “tuntutan ilahiyah” yang diwajibkan secara moral dan benar-benar personal, untuk mana orang dapat mempertanggungjawabkannya pada hari perhitungan. Hanya pada perkembangannya belakangan (abad 8/9 H), ia mengalami depersonalisasi sampai ke satu titik di mana ia sejajar dengan ahkam al-Syara’iyyah.[9]

Pada perkembangan selanjutnya terjadi pergulatan antara agama dan politik yang sulit dipisahkan. Perkembangan seperti ini di antaranya karena kepentingan politik sehingga seseorang suka menarik sesuatu yang profan ke wilayah sakral sebagai justifikasi politiknya. Kondisi demikian, dalam berbagai kasus, masih dengan mudah ditemukan sampai saat ini.

IV. MENDIDIK PLURALISME DALAM KEHIDUPAN MUSLIM
Hubungan antar agama perlu dikembangkan solidaritas yang mampu menciptakan kerukunan sampai pada kerjasama. Untuk membangun hubungan tersebut perlu dilakukan inward looking dengan melakukan dialog, seminar, dan sarasehan dalam perspektif agamanya menuju outward looking yaitu dialog antaragama untuk memikirkan bersama kemajuan bangsa ini.
Dalam teks kitab suci, ditemukan ayat yang mendorong seseorang untuk berprilaku inskusif tetapi juga ditemukan ayat yang mudah dimaknai sebagai pendorong untuk bersikap eksklusif. Inward looking ini penting dilakukan agar seorang pemeluk agama memahami betul ajaran agamanya dan pada program pengembangan selanjutnya melakukan outward looking untuk memahami pluralitas ajaran di luar agamanya yang memiliki dasar pijakan kebenaran yang harus dihormati.
Dalam Islam ajaran tentang sikap kemajemukan ini bisa dipahami dan diaplikasikan lewat beberapa pemahaman terhadap dasar ajaran yang harus dipegangi di antaranya :
1. Berpegang pada prinsip kalimat al-sawa’ (common platform) untuk pergaulan antar umat beragama dan berbagai interest masyarakat yang plural. Kalimat al-sawa’ atau titik persamaan secara kontekstual bukan saja secara teologis umat manusia harus memiliki dan berpegang pada titik persamaan, tetapi juga secara sosial merupakan transaksi sekuler. Pada titik simpul ini aturan main ditetapkan dan setiap individu harus mentaatinya untuk menjamin kebebasan dan interest setiap individu. Kesamaan terhadap kebutuhan untuki mencintai Tuhan (hubb Allah), mencintai makhluk Tuhan (hubb khalq Allah), dan mengakui suara hati Nurani (istifti Qalbak). Untuk ketiga hal di atas semua agama mengajarkannya lalu bagaimana pemeluk agama mengembangkannya sebagai common platform-nya.
2. Ijtihad bagi intelektual Muslim yang telah mampu melakukannya. Ijtihad merupakan pintu terbuka bagi setiap individu Muslim untuk mengapresiasi ajaran agamanya terkait dengan realitas kehidupan riilnya. Kalau ditelusuri secara cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap kemelut kehidupan beragama, karena tidak ada consensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dipahami bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu berdialog dengan bebas. Pernyataan kaum Mu’tazilah bahwa “Qur’an” itu makhluk berikut koreksi (di antaranya) dari al-Asy’ari adalah wujud kebebasan saat itu. Sifat kosmopolitan mulai terputus setelah muncul taqdis al-afkar al-diny.
3. Pemahaman teks-teks (bahasa) agama yang sehat dan mampu melahirkan sikap dan pandangan integrative, egaliter, inklusif, relatif, dan plural dengan melakukan penguatan metodologis tentang Islamic studies semisal pengembangan metode takwil (hermeneutic), redefining self and other seperti rethinking Iman, kufr, dan redefinding Islam.[10] Kekeliruan memahami agama sering terjadi karena pemahaman yang kurang tepat pada teks-teks kitab suci dan aspek metodologisnya, karenanya harus dimatangkan.
4. Musyawarah (wa amruhum syura bainahum / wasyawirhum fi al-amr wa idza ‘azamta fatawakkal ‘ala Allah) merupakan sikap mengakui dan menerima kelebihan dan kekurangan orang lain yang dilakukan secara dialektik untuk menemukan kebenaran. Kebenaran bisa datang dari manapun, termasuk dari orang yang dibenci sekalipun. Untuk itu pemahaman keagamaan harus dibangun secara inklusif dan tidak dengan mengedepankan klaim. Untuk menyebut sebagian, klaim yang tendensius seperti yang dimuat dalam laporan Badan Lintbang Departemen Agama yang mengatakan bahwa masyarakat tradisional (NU) sering di posisikan negatif sebagai ahli bid’ah, bodoh, miskin, kyainya memiliki motiv materialistik dalam mengembangkan tradisi keagamaan dan dakwah serta maasayarakat tradisional ini harus diluruskan berbeda dengan masyarakat modern (Muhammadiyah Cs.) yang terdidik dan bersikap lurus. Generalisasi seperti ini akan memunculkan persepsi negatif dan permusuhan.[11] Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Andree Feillard, Greg Fealy, Mitsuo Nakamura, Greg Barton, Martin Van Bruinessen[12] dan lainnya yang dalam ungkapannya lebih proporsional dan santun dalam mengapresiasi budaya komunitas tradisional (NU) yang dimaknainya sebagai dakwah kultural dan tidak struktural-formal. Klaim kebenaran dari suatu kelompok dengan menafikan kebenaran dari kelompok lain akan menimbulkan kecurigaan dan pertentangan. Dalam kehidupan sosial terjadi keonfergensi atau tepatnya pluralitas dari kaomunitas sosial yang satu dengan yang lainnya sehingga generalisasi mengandung kelemahan dan cenderung truth claim. Oleh karena itu dalam Islam ada konsep musyawarah yang pada aplikasinya musyawarah dapat dikembangkan sampai pada penyelenggaraan program bersama antar komponen masyarakat dan oleh umat Islam bergandengan tangan dengan umat lain untuk kemajuan bangsa dan dunia.
5. Pelaksanaan terhadap lima jaminan dasar (al-muhafadhat al-khams) bagi setiap individu a). hifdh al-din, menjamin keselamatan keyakinan agama masing-masing, b). hifdh al-nafs, jaminan keselamatan jiwa warga masyarakat yang mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan yang adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing, c). hifdh al-‘aql, menjamin setiap bentuk kreasi baik bersifat intelektual maupun budaya dan seni. Pemikiran keagamaan apapun harus dihargai dan tidak boleh dimatikan. Formalisasi pemikiran keagamaan akan menindas hak individu untuk menganut kebenaran. Islam memberikan ruang bagi setiap individu untuk melakukan eksperimentasi kebenaran melalui pengalaman esoteris dan proses dialektis, d). hifdh al-nasl, menjamin keselamatan keluarga dengan menampilkan sosok moral yang kuat. Berawal dari keluarga keimanan dan toleransi akan tumbuh dan berkembang, e) hifdh al-mal, menjamin keselamatan harta benda (al-milk, property) dan hak kepemilikannya. Dengan hak tersebut warga masyarakat secara peroranmgan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan kreatifitas diri dan kesediaan untuk melakukan transformasi dalam kehidupannya sesuai dengan pola yang ia pilih dan tidak keluar dari alur umum kehidupan masyarakat.[13]
Konsep dasar tersebut secara dini harus ditanamkan pada setiap Muslim lewat pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Terkait dengan pendidikan agama, agama harus diajarkan secara integral-komprehensif dengan memandang kebenaran dari berbagai perspektif walaupun tetap meyakini kebenaran agama Islam yang dianutnya.
Keluarga merupakan pintu pertama dalam pendidikan anak. Toleransi dan bersikap plural cukup efektif untuk dikembangkan dalam kehidupan masyarakat jika setiap individu keluarga telah menyadari terhadap arti penting pluralisme. Bukan hanya pluralisme, keluarga dengan berbagai dukungan institusi sekolah maupun pendidikan luar sekolah, akan mampu membangun manusia baru yang berkeadilan dan berperadaban.














DAFTAR PUSTAKA

Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial. Mizan: 1997, 1997.

Andee Fellard, NU Vis-à-vis Negara. Yogyakarta: LKiS, 1999.

A. Sahal Machfudh, Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LKiS, 1998.

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Benteng, 1994.

Azril Yahya dan Wakhid Sugiarto (Perangkum), Agama dalam Dimensi Sosial dan Budaya Lokal. Jakarta: Balai Litbang Depag RI, 1998.

Buddy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.

Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligius Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.

Greg Fealy & Greg Barton (ed), Tradisionalism Radikal. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997.

Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2001.

Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999).

Robert W. Crapps, Dialog Psikologi Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yogyakarta: LKiS, 2000.


٭٭ Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., adalah dosen Jurusan Tarbiyah, Direktur Program Pascasarjana STAIN Purwokerto, dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa (Pesma) An Najah Purwokerto.

[1] Ali Yafie, Wacana Baru Fiqh Sosial (Mizan: 1997, 1997).
[2] KH. A. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 1998).
[3] Tim Redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan (Yogyakarta: LkiS, 2000).
[4] Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hal. 155.
[5] ……Sekiranya Allah tidak menahan suatu golongan atas golongan yang lain, niscaya binasalah bumi ini. Tetapi Allah penuh karunia atas alam semesta. (QS. Al-Baqarah/ 2:251).
[6] Nurcholis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 63.
[7] Pendapat tersebut di antaranya dikemukakan oleh Gordon W. Allport, selanjutnya baca Robert W. Crapps, Dialog Psikologi Agama sejak William James hingga Gordon W. Allport (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 28-29.
[8] Hai orang-orang yang memiliki keyakinan (beriman), Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi-saksi, karena Allah, dan janganlah kebencian orang kepadamu membuat kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah tahu benar yang kamu kerjakan (Qs. Al-Maidah /5:8). Bandingkan dengan Qs. Yunus/10:99, Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (sepertimu?).
[9] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Bentang, 1994), hal. 10.
[10] Terkait dengan kajian ini, bisa dibaca antara lain Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996) dan Farid Esack, Qur’an Liberation & Pluralism: An Islamic Perspektive of Interreligius Solidarity Against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), bandingkan dengan Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LkiS, 2001).
[11] Baca laporan hasil penelitian Azril Yahya dan Wakhid Sugiarto (Perangkum), Agama dalam Dimensi Sosial dan Budaya Lokal (Jakarta: Balai Litbang Depag RI, 1998).
[12] Andree Felliard, NU Vis-à-vis Negara (Yogyakarta: LkiS, 1999) dan Greg Fealy & Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal (Yogyakarta : LkiS, 1997).
[13] Diantara penjelasan tersebut baca, Abdurrahman Wachid dalam Buddy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), hal. 546-549.